Sebenarnya, cukup
lama saya berikhtiar untuk menuliskan tema ini, apa yang dapat kita peroleh
dari petambak tradisional? Kira – kira, Apa yang telah disumbangkan petambak
tradisional bagi kehidupan di tempat
lain, pada kultur lain? Selain tentu, produk – produk budidaya, seperti ikan, rumput
laut dan udang.
Hal pertama yang
menjadi catatan bahwa petambak tradisional tinggal di desa, tepatnya desa
pesisir. Sebagaimana warga desa, petambak tradisional juga otomatis menyerap
kultur pedesaan, yaitu adanya rasa tanggungjawab sosial kepada komunitas,
kepada tetangga, serta kepada tamu. Sebagai tamu, kita memperoleh pelayanan
yang baik dari petambak tradisional. Kita pun dapat berdiskusi panjang lebar
dengan mereka, tanpa ada prasaan khawatir bahwa waktu mereka terambil. Kita pun
masih dapat menyaksikan pesta pesta besar, yang melibatkan keluarga petambak
tradisional, warga desa berkumpul bersama untuk menikmati hidangan yang disajikan
oleh tuan rumah. Semangat solidaritas masih nampak, meski juga terasa
solidaritas itu mulai sedikit terurai, akibat menguatnya semangat mengejar
kepentingan individu masing-masing.
Pada petambak
tradisional itu, masih terlihat ikatan kerjasama antar petambak, meski
kerjasama yang dimaksud tidak seperti bayangan ideal kita. Kerjasama petambak
terlihat dalam pengaturan air, mereka ramai – ramai menjaga air pada saat
kondisi pasang tinggi, mereka takut jikalau pasang akan menghantam pematang
tambak, sehingga udang dan ikan yang dipelihara kabur ke laut. Jarang terlihat
adanya konflik dalam masyarakat petambak dikarenakan pembagian air. Barangkali,
lebih dikarenakan lokasi tambak terletak di daerah pesisir, sehingga air tercukupi.
Pada kondisi –
kondisi inilah petambak bersua satu sama lain di Kawasan tambak. Mereka pun
berbagi cengkrama, yang berisi gossip – gossip terbaru, tentang kawan – kawan petambak
yang lain, tentang masalah – masalah yang dihadapi bersama, seperti masalah
cuaca, masalah kegagalan panen, masalah penyakit. Meski, dari perbincangan itu selalu
menyisakan tanya, sebuah pencarian tak berkesudahan, dan selalu dihadapi
sederhana, yaitu dengan tertawa dan senda gurau.
Pada petambak
tradisional, kita belajar menerima keadaan yang begitu menghimpit. Keterbatasan
pengetahuan dan fasilitas justru tak membuat mereka menyerah. Malah, mereka
terus berusaha hingga tak ada lagi jalan keluar. Kita dapat membayangkan perjuangan
tak kenal mereka menghadapi musim – musim paceklik, ketika Kawasan tambak
dihinggapi wabah penyakit, dimana mereka hanya dapat mengelus dada. Apakah ini
adalah kekuatan yang lahir dari kondisi serba terbatas? Pengolahan lahan pun
menjadi jalan terakhir agar dapat bertahan hidup.
Jika dilihat
dari strata sosial, kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa para penggarap tambak
tradisional masih banyak yang berstatus paling rendah di masyarakat. Ini masih
berupa asumsi kasar dan butuh penelitian agak serius untuk mengungkap lapisan –
lapisan sosial di masyarakat desa petambak. Memang, banyak juga petambak yang
mengolah lahan sendiri, sehingga dengan mudah melakukan perbaikan – perbaikan tambak
agar tambak dapat memproduksi udang maupun ikan dengan lebih baik. Namun, tak
dapat dipungkiri, bahwa jauh lebih banyak petambak hanyalah penggarap, hanyalah
penyewa lahan yang kebingungan harus memulai dari mana untuk memperbaiki kondisi
lahan. Pada akhirnya, mereka menjalankan begitu saja aktivitas, dengan harapan
besar memperoleh hasil sementara yang baik, kemudian berharap lagi untuk siklus
berikutnya, agar juga berhasil baik, walau kadang – kadang kenyataan tidak
sebaik apa yang diharapkan.
Untuk itu, untuk
menghormati petambak tradisional, kita dapat mengurai apa – apa saja perjuangan
mereka, agar kita memahami dimensi pekerjaan dan usaha mereka.
Berdasarkan pemahaman
saya dalam beberapa tahun terakhir, hidup petambak mula – mulanya baik – baik saja.
Mereka berusaha sebagaimana biasa, mengikuti tradisi yang sudah ada, yaitu perbaikan
konstruksi lahan pada bagian pematang, dilanjutkan dengan pengeringan lahan sekali
dalam setahun. Kemudian dimulailah siklus pertama dengan pemeliharaan air,
dilanjutkan dengan pemeliharaan komoditas budidaya, lalu panen dan pasca panen.
Namun, hasil yang diperoleh tidak begitu banyak lantaran teknologi yang
digunakan masih sangat sederhana, dan motivasi petambak dalam pengolahan lahannya
tidak begitu tinggi. Cita – cita atau visi bertambak para petambak tradisional
mula – mulanya, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari.
Makanya, upaya perbaikan
petambak tradisional sangat tergantung pada visi yang diidap oleh rata – rata petambak
dalam Kawasan tersebut. Jika visinya hanyalah visi subsisten, kemungkinan untuk
perbaikan infrastruktur maupun manajemen budidaya akan sangat lambat. Tapi,
ketika visi kemajuan, visi perkembangan, mulainya terbangun perbandingan dalam
kepala petambak tradisional, bahwa mereka dapat memperoleh lebih, mereka dapat
membeli sesuatu, mereka dapat membiayai lebih banyak orang, akan memotivasi
mereka untuk berusaha memperbaiki tambaknya. Perubahan visi ini pun dapat
dipengaruhi oleh stimulasi – stimulasi dari luar, pengaruh cerita – cerita sukses
petambak – petambak lain, pengaruh masuknya teknologi masuk desa, yang dibawa
oleh orang dari luar, dan mulai diterapkan oleh orang dalam, tentu akan membongkar
pandangan mereka. Untuk itu, kita dituntut untuk mendeteksi perubahan pelan yang
tidak begitu terlihat ini.
Aksi reaksi
berlangsung, terdapat petambak yang menemukan metode khusus untuk memperbanyak
produksi, terdapat pula orang – orang pintar yang sekolah tinggi di kota,
kembali ke kampung. Memberi contoh, mengajak diskusi – diskusi. Orang – orang pintar
ini pun tak datang dengan kepentingan kosong, tapi penuh dengan kepentingan.
Mereka melihat peluang ekonomi di desa. Sembari membantu petambak tradisional
untuk manajemen budidaya, orang – orang pintar ini menawarkan banyak hal, baik
itu bibit, baik itu pupuk, baik itu obat – obatan. Mereka pun biasanya memberi
contoh, dan biasanya berhasil. Sebagian petambak pun terpengaruh, dan lama
kelamaan, menjadi kebiasaan umum petambak, bahwa untuk memelihara ikan maupun
udang, harus pakai ini, pakai itu, dengan dosis begini, dosis begitu. Hal ini sesuai
teori Antony Giddens, strukturisasi, awalnya dimulai dari tindakan – tindakan praksis,
aksi – aksi kecil, lalu diserap oleh kebudayaan, kemudian menjadi budaya yang
tertrukturisasi dalam masyarakat.
Perubahan –
perubahan lamban pada rentang waktu tertentu, lalu menjadi cepat pada periode lain,
adalah dinamika tersendiri dalam kehidupan budidaya perikanan skala tradisional.
Perubahan ini dimulai dari keinginan untuk peningkatan produksi, yang awalnya
hanya tebar begitu saja, ambil bibit dari alam. Lalu, tiba – tiba bibit dari
alam menjadi terbatas, diperolehlah bibit dari perbenihan. Mulailah terbentuk
jejaring dunia perikanan, yang terspesialisasi, terdapat pengusaha yang
konsentrasi di perbenihan, penguasaha yang konsentrasi pada produksi pakan,
produksi pupuk organik, bahan – bahan kimia lain, yang merupakan respon dari
masalah yang diperoleh pembudidaya akibat produksi massal. Terbentuk pula
jejaring pasar, tiba – tiba banyak permintaan dari luar. Tiba – tiba petani di sebuah
desa kecil di Pinrang, terhubung oleh supermarket mewah di Tokyo Jepang. Masing
– masing orang terhubung oleh relasi kebutuhan atau perdagangan dunia. Ini
menuntut spesialisasi – spesialisasi lain. Pemilik – pemilik modal yang cukup
berani, akhirnya mengambil peran untuk menghubungkan petani dan konsumen di
berbagai belahan dunia. Broker – broker kelas kakap ini pun mendorong
pemerintah, untuk memproduksi tenaga sumberdaya manusia yang handal, yang
cakap, dan punya soft skill di bidang budidaya. Maka diproduksilah sarjana – sarjana
perikanan yang membantu industry, perusahaan – perusahaan besar untuk memproduksi
komoditas perikanan menjadi lebih besar lagi, modal pun terakumulasi berkali –
kali lipat.
Sedangkan untuk petambak
tradisional, apa yang terjadi? Tiba – tiba di suatu waktu, petambak yang tidak
tahu membaca sekalipun dapat menanam mangrove berdampingan dengan manajer
perusahaan dari Jepang. Petambak yang sehari – hari berurusan dengan kolam udang
itu, tiba – tiba saja masuk media, difoto, diwawancarai, dipelajari, dan
ditampilkan di siaran – siaran televisi. Mahasiswa – mahasiswa perikanan, yang
memperoleh suntikan teori dari dosen – dosennya, pun berdatangan ke desa budidaya
tradisional. Di sana mereka belajar mengoceh, belajar membandingkan apa yang
ada di teori, dan apa yang di kenyataan. Mungkin. Informasi yang berulang –
ulang, baik dari dosen, pengusaha, LSM perikanan (Lembaga Swadaya Masyarat)
bidang perikanan tersebut, membekas dalam kepada petambak tradisional. Lalu,
ada contoh – contoh yang diterapkan oleh pemerintah lokal melalui penyuluh -
penyuluh, meski contoh – contoh itu kurang berhasil, mereka pun pelan – pelan belajar.
Setidak – tidaknya, menyesuaian dengan pakem - pakem umum. Maka lahirlah
inovasi – inovasi. Meski inovasi – inovasi ini tetap dikoreksi dan mesti
dikoreksi terus menerus.
Pada proses pemeliharaan air ini, terdapat
inovasi – inovasi sederhana dari petambak, seperti metode pengkayaan pakan
alami phronima, hewan sejenis udang – udangan berukuran kecil menggunakan dedak
fermentasi diperbanyak jumlahnya dalam tambak, sebagai asupan pakan utama untuk
pertumbuhan udang. Dengan penerapan teknologi phronima ini, terdapat
konsekuensi – konsekuensi, seperti jarangnya dilakukan pengapuran tambak, sebab
terdapat pendapat di masyarakat petambak di Pinrang, bahwa pengapuran dapat menghalangi
pertumbuhan phronima. Hal ini akhirnya bersifat kontradiktif, di satu sisi
phronima meningkatkan pertumbuhan udang, namun di sisi lain, upaya perbaikan
lahan menjadi seret, dan ini ke depannya akan berbalik arah menuju penurunan
produksi budidaya.
Terjadilah titik
balik, kegagalan panen berturut – turut. Hal ini membuat petambak tradisional
menderita. Tapi tunggu dulu, dari penderitaan ini mereka kembali belajar untuk
mencoba hal – hal baru. Kegagalan satu komoditas, misalnya udang windu, mulai
dicobalah udang vannamei. Udang vannamei membutuhkan peningkatan teknologi,
sesederhana pun itu. Pembudidaya mesti menambah pakan buatan pada tambak.
Pembudidaya mesti belajar menghitung – hitung, jumlah pakan, dan jumlah hasil
yang diperoleh kelak. Jangan sampai rugi, jangan sampai tekor. Pengetahuan pun
melebar, bahkan ada petambak yang mencoba menaikkan padat tebar, konsekuensinya
adalah penggunaan kincir air. Pembudidaya pun terpaksa belajar dan menambah
wawasan mengenai kincir air, kata gaulnya learning
by doing. Mereka pun bertemu dengan orang – orang baru, praktisi - praktisi
teknologi mendatangi mereka, mengajar prinsip – prinsip budidaya maupun
teknologi, meski tidak semua mampu diserap oleh petambak yang berpendidikan
rendah itu.
Di sisi lain,
terdapat pihak – pihak yang khawatir akan menurunnya kualitas lingkungan hidup Kawasan
perairan budidaya udang maupun ikan. Perwakilan – perwakilan lsm pun menuntut
adanya perbaikan lingkungan. Perbaikan teknologi yang tanggung itu, lalu adanya
peringatan untuk waspada terhadap penurunan mutu air akibat eksploitasi tanah maupun
air. Petambak pun mulai tersesat dalam hutan wacana itu, wacana peningkatan produksi
dengan teknologi, wacana perbaikan lingkungan. Meski kemungkinan, ketersesatan
itu tidak lama, sebab, akhirnya mereka pun sadar, bahwa lingkungan harus dijaga,
lingkungan adalah benteng pertahanan produksi mereka.
Di sinilah ketegaran
petambak tradisional, berhadapan dengan perubahan – perubahan alam, dimana
mereka sangat bergantung oleh alam atau daulat alam. Lalu, datanglah teknologi
yang menegaskan daulat manusia terhadap alam. Meski kemudian lahir konsekuensi –
konsekuensi dalam bentuk dampak – dampak yang di luar pemikiran para petambak
sebelumnya.
Di tengah –
tengah perputaran informasi yang demikian cepat, sedangkan kondisi alam yang
begitu – begitu saja, serta kondisi permodalan yang bergerak lambat, akibat
kurang mampunya menyesuaikan dalam hal pengelolaan modal, ini menimbulkan kebingungan
– kebingungan dalam pemikiran petambak tradisional. Mereka dikepung oleh
semangat perubahan yang begitu menekan, di antara keterbatasan – keterbatasan infratruktur,
keterbatasan kualitas benur, serta keterbatasan modal, serta tuntutan yang
keras untuk perbaikan kualitas lingkungan.
Dari kondisi –
kondisi itulah kita dapat belajar dari ketahanan mental petambak, keteguhan
batin mereka untuk terus berada dalam situasi situasi sulit. Makanya, saya kadang
berceloteh kepada anak – anak muda yang biasa ngopi – ngopi dengan saya, kalau
mau belajar dewasa, belajar bertanggungjawab, belajarlah pada penderitaan
petambak tradisional.
0 komentar:
Posting Komentar