"Kesalahan itu dari amal, orang nabrak itu hanya supir.
Orang yang tak pernah jadi supir itu tidak pernah nabrak," kata Said Aqil
Siradj.
Kalimat Pimpiman Nahdatul Ulama itu menyentak saya. Katanya,
kesalahan itu lahir pada orang yang beramal, yang telah melakukan sesuatu.
Kalimat itu boleh disebut sebagai obat pereda bagi kami, yang telah berusaha
melakukan perbaikan lingkungan dengan rehabilitasi mangrove, namun selalu
terbentur oleh kendala - kendala sosial, kendala teknis, dan hal - hal yang tak
terduga akibat miss informasi dan kesalahan dalam koordinasi dan
pengorganisasian.
Penanaman di Teluk Pare adalah keputusan yang keliru, sebab
kondisi lahan yang kurang layak untuk penanaman mangrove.
Kami telah mencoba melakukan penanaman mangrove di kawasan tambak,
bekerjasama dengan perusahaan udang yang ingin memperoleh sertifikat budidaya
udang ramah lingkungan. Bagi kami, Ini menjadi tantangan, sekaligus sebagai
sarana untuk lebih dekat dengan masyarakat dan alam.
Tapi setelah beraksi dalam rentang waktu sekitar setahun, banyak
hal yang sebelumnya tak dapat kami duga. Yang ternyata menjadi hambatan utama
untuk mendorong perbaikan lingkungan sekitar tambak, yaitu sekitar muara
sungai, saluran air, ataupun pesisir pantai dekat tambak.
Hewan Ternak; sebagai hambatan pertama, yang membuat kami
frustasi berkali - kali. Tuntutan menanam mangrove di lokasi yang telah
ditentukan, membuat kami kompromi untuk tetap menanam di lokasi tersebut.
Namun, berkali - kali menanam di lokasi tersebut. Memaksa kami untuk segera berhenti,
atau berfikir dua kali untuk menanam. Sebab, lokasi tersebut kaya akan hewan
ternak, dalam hal ini kambing. Kambing paling senang dengan daun mangrove,
sebab ada rasa asin asinnya. Telah dilakukan pemagaran untuk menghalangi
kambing. Tapi, pagar ternyata dapat digeruduk oleh kambing, yang jumlahnya bisa
berjumlah 30 ekor. Kami mau membuat pagar kawat, tapi tidak memperoleh
persetujuan oleh masyarakat yang biasa lalu lalang di daerah tersebut. Selain
itu, jaring yang kami gunakan sebagai pagar, ada yang diambil sama masyarakat.
Konsekuensi dari kendala ini, yaitu berubahnya rencana, yang
sebelumnya hanya menanam di satu kawasan, terpaksa mencari lokasi lain di
berbagai tempat. Yang memiliki dampak negatif maupun dampak positif. Dampak
negatifnya, kurang awasnya penanaman setelahnya, lantaran kurangnya koordinasi
dan tekanan, desakan waktu penanaman. Sehingga, penanaman dilakukan di lokasi
yang kurang tepat, yaitu di pesisir Teluk Pare, yang notabene tidak layak
lokasi tanam. Alasannya, lokasi tersebut tidak mengalami surut total, sehingga
tidak memberi kesempatan bagi akar mangrove untuk bernafas. Selain ada waktu -
waktu tertentu, ombak begitu besar sehingga dapat merusak mangrove.
Mulanya, diperkirakan lokasi kawasan budidaya di Suppa lebih
aman di Pallameang, lantaran tidak ada kambing, tapi hanya beberapa ekor sapi.
Selain itu, telah ada pengalaman menanam mangrove sebelumnya di saluran air,
yaitu sekitar 350 bibit, yang sejauh ini masih aman tanpa gangguan. Namun,
ternyata berdekatan dengan hari H penanaman, pemilik - pemilik lahan di Desa
Tasiwali'e belum bersedia saluran - saluran airnya ditanami mangrove. Makanya,
rekomendasi akhir yang timbul di kepala teman - teman, dan juga memperoleh
dukungan dari tokoh lokal, bahwa opsi berikutnya yaitu di pesisir Teluk Suppa.
Beberapa bulan kemudian, kekhawatiran itu terjawab, mangrove yang ditanam di
Teluk Suppa, sudah banyak yang mati. Tentu ini, menjadi pukulan bagi tim
penanam mangrove, untuk lebih awas lagi.
Sisi positifnya, banyaknya bibit yang harus ditanam, serta
melebarnya jelajah lokasi tanam, mengharuskan adanya gerakan mangrove yang
bersifat massif. Gerakan tersebut akhirnya melibatkan pemuda - pemudi yang
sebelumnya telah berperan sebagai volunter penanaman mangrove. Gerakan tersebut
benama Garda Mangrove, yang telah dilaunching pada 26 Juli 2018, bertepatan
dengan Hari Mangrove Sedunia.
Gerakan Garda Mangrove ini berkomitmen untuk menghijaukan atau
mengembalikan ekosistem mangrove di pesisir Pinrang dan Pare-Pare. Ikhtiar ini
dimulai dengan diskusi - diskusi, pelaksanaan seminar lingkungan, serta
pendalaman teori tentang mangrove, sebelum memulai penanaman mangrove. Tentu,
pengalaman - pengalaman sebelumnya menjadi peringatan, agar tidak melakukan
kesalahan yang sama. Kelemahan - kelemahan sebelumnya, akan ditambal sulam
untuk keberhasilan penanaman mangrove berikutnya.
Selain itu, poin penting berikutnya, yaitu tidak terburu - buru
melakukan penanaman mangrove secara massal. Tapi, terlebih dahulu dilakukan
penelitian lokasi, untuk memastikan bahwa kawasan tersebut cocok untuk ditanami
mangrove, serta tidak ada hambatan hama kambing-sapi, dan memperoleh
persetujuan dari masyarakat sekitar. Penanaman tidak lagi berdasarkan target
waktu, tapi berdasarkan alasan rasional, yaitu adanya lokasi yang layak tanam.
Tidak masalah telat, asal selamat.
Hal ini pula yang akan mendorong kami untuk selalu diskusi untuk
mempertajam pengetahuan tentang lingkungan. Peran teori sangat penting, peran
pengalaman orang lain sangat berguna. Ini lagi - lagi mengingatkan kami, bahwa
amal tanpa ilmu, melahirkan bencana. Makanya, kami ingin terlebih dahulu
menguatkan dari aspek ilmu dan teori. Sambil terus menerus melakukan pendataan
di lapangan.
Harapan kami, perjuangan kami dalam menanam mangrove memperoleh
respon dari masyarakat dan kalangan elit, agar kerja - kerja kami bersifat
berkelanjutan, sekaligus dapat mendorong pihak lain untuk melakukan aksi
serupa. Kendala - kendala kami pun dapat menjadi pembelajaran bagi komunitas -
komunitas mangrove lainnya.
Ke depan, kami pun komitmen untuk mencatat semua proses, agar
tindakan - tindakan kami ini terekam dan berguna bagi gerakan kami di masa
depan.
Plant Your Hope..
0 komentar:
Posting Komentar