Petambak itu seperti masa lalu, kaya dan dalam, banyak hal yang bisa digali dari sana. Bayangkan kisah peramu atau pemburu, yang mengejar rusa menggunakan semua pengetahuan tentang alam. Mereka begitu kuat, begitu cekatan, begitu dekat dengan apa yang di hadapannya. Dalam perburuan itu, mereka sangat kompak, saling kenal satu sama lain, memahami perasaan dan pikiran masing – masing. Apa yang mesti saya lakukan? Saya ke arah mana? Agar kijang itu terpojok, agar kelinci babi itu masuk perangkap. Begitu halnya dengan petambak. Masih banyak lapis – lapis tradisi yang hadir di sana. Tradisi selalu menyimpan pengetahuan.
Praktik bertambak mengalir dari tradisi pertanian, dari pinggir sungai ke pinggir pantai, dari daratan tinggi ke daratan terendah. Pengolahan lahan adalah dasarnya, untuk dapat membuahkan ikan – ikan, yang berkali – kali lipat, dari segi berat dan jumlah. Manajemen pengolahan lahan juga meniru pertanian, seperti dimulai dengan persiapan lahan, pemeliharaan, panen, dan pasca panen.
Petambak tak lain adalah petani untuk komoditas ikan atau udang, atau rumput laut. Meski begitu, petambak melangkah lebih jauh, dalam hal pengurusan air. Petani sudah untung jika memperoleh air, melalui pengorganisasian irigasi, tapi petambak lebih dari itu, bukan hanya kuantitas, tapi juga kualitas. Petani berurusan pada mahluk hidup tumbuhan, yang berangkat dari unsur X, dengan unsur - unsur berkembang dalam dirinya, tapi petambak lebih dari itu, berurusan dengan mahluk hidup hewan, untuk X + Y, yang tumbuh dan bergerak, yang memiliki perasaan jauh dari tumbuhan. Hewan air, adalah gradasi menuju manusia, dari level bawah, yaitu tumbuhan. Manusia sendiri adalah gradasi menuju Manusia Tuhan.
Hanya manusia-lah, dalam hal ini petambak, yang bisa mengorkestrasi hewan – hewan air, untuk bertawaf dalam kolam petak tanah. Petambak lah, yang bisa mempercepat tumbuh kembang hewan air, melalui penyediaan pakan buatan, mendorong udang untuk terus menerus makan. Konsumerisme udang adalah gaya hidup terpenting, sebab makan adalah kuntji produksi.
Hanya petambak pula yang dapat merekayasa udara, mendorong oksigen masuk ke dalam air, agar udang dan ikan tidak sesak nafas, walau berdesak – desakan hidup bersama yang lain. Petambak memaksa udang dan ikan untuk hidup bersama, bahagia dan susah ditanggung bersama. makan bersama, berak pun bersama. Berarti petambak ini sudah berhasil menerapkan cita – cita Marxisme pada hewan air, bahwa masa depan kita adalah kolektivisme, hidup bergumul riang gembira, pangan dibagi rata, masing – masing orang berkontribusi sebesar – besarnya bagi masyarakat dan memperoleh imbalan hanya sesuai yang dibutuhkan secara pribadi.
Udang – udang pun rela diperlakukan semena – mena, oleh petambak tradisional. Bayangkan, pada kondisi lahan yang buruk, dengan kandungan bahan organik yang tinggi, udang tetap ditebar, dibiarkan hidup dengan air yang bau dan beracun. Udang pun tak bisa mengeluh, petambak cuek bebek, membiarkannya hidup dengan pangan seadanya, berupa campuran antara tumbuhan – tumbuhan kecil dan hewan – hewan kecil. Udang pun diajarkannya untuk dapat menerima keadaan, mental mereka dilatih untuk tahan terhadap setiap kondisi. Tentu, ini pelajaran moral yang berharga, bukan?
Manusia petambak mungkin kurang mampu merasakan penderitaan hewan air, nasihat baik bagi hewan air, “Tidak masalah kamu menderita, yang penting itu adalah kamu tumbuh besar”. Kolam adalah instansi Pendidikan moral bagi udang, untuk tidak memedulikan perasaan sendiri, demi menyelamatkan perasaan petambak. Sebab, jika gagal tumbuh atau udang mati massal, hati petambak serasa ditusuk – tusuk paku, pikiran mereka menjadi keram, hingga tak mampu berfikir normal selama beberapa hari.
Petambak ibaratnya Dewa bagi hewan air, petambak menyediakan lahan tambak sebagai ruang hidup - labensraum, dengan dinding – dinding tebal sebagai batasnya, petambak merekayasa tambahan oksigen, pakan, serta keterpenuhan aspek fisika, biologi, dan kimia hewan air bagi hewan air. Hingga, udang maupun ikan tidak sadar bahwa petambaklah yang penentu segalanya, ibarat Tuhan, udang makan jika ada makanan dari petambak, udang bergairah jika ada air baru masuk ke dalam tambak. Udang pun hanya menjalani takdirnya, tanpa bisa protes. Tidak ada jalan keluar, selain melanjutkan hidup yang pahit ini. Tapi ini, sesuai dengan kata – kata Nietczhe, “Segala sesuatu yang tidak membunuhmu, menguatkanmu”.
Hubungan antara petambak dan hewan air seperti hubungan benci dan rindu, yang saling berormosis di antara keduanya. Kadang – kadang, petambak memberi sepenuhnya perhatian kepada hewan air, tapi hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan. Lahirlah benci. Tapi, ada juga petambak memperoleh hasil yang besar dengan usaha yang biasa – biasa saja. Sehingga, kondisi – kondisi seperti ini kadang dirindukan oleh petambak.
Jika dipikir - pikir bersifat materialis, yaitu, kecintaan dimunculkan oleh keberhasilan produksi. Atau dipengaruhi oleh eksistensialis, dimana keberhasilan panen udang sebagai manifestasi kehadiran Ada. Atau mungkin lebih pada dialektika historis yang sedikit magis, hubungan aksi reaksi berbasis intensitas tekanan waktu, yang kadang – kadang sulit diprediksi. Keuntungan memang bisa diatur, tapi belum menjadi kuasa total manusia petambak untuk menentukan. Masih ada unsur x yang bernuansa spiritual. Makanya, manusia petambak tidak boleh sombong, masih banyak kemungkinan – kemungkinan lain, petambak hanya melebarkan kemungkinan, tapi bukan sebagai penentu keberhasilan total. Dimensi spiritual hadir di sini, manusia petambak, hanya berusaha, udang dan yang Lainnya yang menentukan. Bisa saja udang melakukan bunuh diri untuk massal, hanya untuk menunjukkan eksistensinya pada petambak.
Terakhir, sebagai penutup sementara, Petambak dan hewan air adalah sama – sama mahluk yang mendiami dunia materialis ini. Manusia petambak, punya kebebasan lebih besar dari hewan air, walau sebenarnya hewan air mungkin lebih bahagia dari manusia, sebab tidak diberkahi pikiran dan hati, yang dapat menjerumuskannya pada nafsu ganjil, yang menimbulkan bencana.
Sehebat – hebat manusia, lebih hebat udang, manusia dilarang memakan sesama manusia, sedangkan udang boleh memakan sesama udang.
0 komentar:
Posting Komentar