semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Ahimsa dan Kemerdekaan

Hari ini, pertama kali Ahimsa merasakan semarak kemerdekaan, pada usianya yang masih Batita, 2 tahun tujuh bulan. Ia hanya mondar mandir membawa balon merah dan beberapa bendera merah putih mini plastik di antara keasyikan para ibu-ibu srikandi, yang ia pungut-pungut di tanah dan panggung.


Seperti apa sebenarnya situasi sebelum dan pasca proklamasi, apakah bapak-bapak/ibu Bangsa kita turut menggunakan pendekatan tanpa kekerasan? Atau justru memancing kekerasan?

Ini butuh pembacaan lebih serius saya kira untuk menjawabnya. Sebab, saat itu Bung Karno dan Bung Hatta bermain-main di antara peristiwa beruntun, yaitu kekalahan Jepang dari Perang Dunia 2, kembalinya otoritas Belanda melalui sekutu Inggris, dan munculnya kekuatan dunia baru, yaitu Amerika Serikat.

Suasana batin kedua proklamator yaitu memanfaatkan situasi itu untuk mencari jalan keluar paling aman dengan meminimalisir kekerasan, yang tampaknya menjadi jalan yang akan dan sedang ditempuh kaum muda. Kaum muda di beberapa tempat telah melucuti pos-pos gudang senjata Jepang, kaum-kaum yang lebih beringasan telah membunuh tuan-nona Belanda yang didapatinya di jalan, ataupun di rumah-rumah mereka. Bahkan laskar-laskar di beberapa tempat, mengambil tindakan sendiri, mengangkat pemimpin sendiri, dan menggelorakan perlawanan 100 persen.

Saya membayangkan situasi saat itu demikian rumit, Soekarno-Hatta tak dapat berbuat banyak, kecuali membangun pondasi negara-bangsa, melalui penguatan ideologi pancasila, perumusan undang-undang, dan membangun lembaga negara yang terbilang gemuk. Dan struktur pemerintahan masih berbau nippon, ada yang bilang sangat western. Bagaimana tidak, pegawai-pegawai utamanya adalah rata-rata didikan Londo.

Lantas, dimana Ahimsa di sana? Apakah ada perlawanan tanpa kekerasan? Saya kira ini dapat ditunjuk dengan menyebut Sutan Sjahrir. Dialah yang berperan dalam mengembalikan daulat Indonesia melalui meja perundingan. Sjahrir beberapa kali menjadi perdana menteri, sekaligus merangkap menteri luar negeri. Melalui jabatannya itu, ia bak menjadi juru bicara yang handal dalam menekan Belanda karena telah melakukan agresi militer di tengah situasi dunia yang kepengen damai-damai aja pasca ambruk-ambruknya dalam perang dunia 2. Sjahrir membaca, warga dunia sedang letih-letihnya, tak pantas bagi Belanda untuk melancarkan agresi. Sjahrir pun negosiasi lintas negara, Amerika-Inggris, untuk menekan Belanda yang lagi teguh-teguhnya melancarkan militerisasi.

Menurut Rudolf Mrazek, penulis biografi Sjahrir, ia berhasil melancarkan serangan argumen ketidakpatutan penggunaan kekerasan pasca perang dunia 2, di forum-forum dunia, khususnya pada Amerika Serikat, yang tiba-tiba menjadi kekuatan super power dan pembela negara-negara berkembang. US dengan kekuatannya pun menekan Belanda untuk menghormati kedaulatan negara baru, Indonesia, sebagaimana pun lemahnya.

Saya kira, Sutan Sjahrir, secara sadar atau tidak sadar telah meniru atau menggunakan strategi yang sama dilakukan oleh Mahatma Gandhi yang menumbangkan Inggris dengan menggunakan logika moral Inggris sendiri, bahwa Inggris sebagai negara beragama, bermoral dan taat hukum, tak sepatutnya melakukan kekerasan di hadapan para warga India yang lemah dan tak berdaya. Situasi tak berdaya yang dieksploitasi Gandhi berhadapan dengan kekerasan fisik Polisi/Tentara Inggris dalam menangani ketidakpatuhan-ketidakpatuhan sipil, menjadi argumen moral mengenai hilangnya legitimasi Inggris sebagai negara bermoral.

Saat-saat ini, Saya lagi merenung-renung, apakah Ahimsa ini efektif, dalam membela hak-hak petambak, hak-hak orang kecil yang tak terlihat, hak-hak pekerja yang atas nama efektivitas program justru tak menjadi efektif..

Selamat Hari kemerdekaan dari Ahimsa dan Papa-nya Ahimsa.. Merdeka







0 komentar:

Ahimsa dan Kemerdekaan