semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Anwar Shaikh

 Belum lama ini terdengar kabar kalau Salman Rushdie ditikam berkali-kali di bagian leher dan dada, 12 Agustus di Chautauqua. Syaraf salah satu mata putus, begitu juga dengan syaraf tangan. Penyerangnya seorang anak muda keturunan lebanon bernama Hadi Matar, sang pelaku ini pun mengaku tak bersalah, dan mengeluarkan komentar bahwa ia membenci Salman Rushdie karena telah menghina Islam.


Sejak terbit buku kontroversialnya, berjudul 'Satanic Verses' pada 1988, ia mulai dikejar-kejar, apalagi setelah fatwa hukuman mati Khomeini pada 1989, hidupnya harus dikawal polisi, dan terpaksa berganti nama menjadi Joseph Anton, perpaduan dua nama, yaitu Joseph Conrad dan Anton Chekov, dua penulis panutannya.

Menarik dilihat catatan Thariq Ali dalam buku Benturan Antar Fundamentalis, yaitu tentang Anwar Shaikh yang luput dari pemberitaan di negeri pancasila ini. Menurutnya, argumentasi Anwar Shaikh lebih menakutkan dibandingkan cerita-cerita dalam novel Rushdie.

Thariq Ali yang melintang kemana-mana bertemu dengan para intelektual pun tidak mengenali Anwar Shaikh, baru setelah ia bertemu dengan seorang profesor hukum islam dari Universitas Swedia, ia memperoleh informasi tentang Anwar. Profesor itu menanyainya apakah mendengar Anwar Shaikh, Thariq mengaku tak mengenalnya, profesor itu pun tampak terkejut.

Anwar Shaikh menjadi perbincangan pada tahun 1990-an di sebuah harian Urdu bernama Daily Jang. Surat-surat kecaman/marah, orang-orang garis keras di Lahore, bahkan ummat Islam di Stockholm, Copenhagen, Berlin, Paris, Amsterdam, bahkan London dan Glasgow terbakar amarah dengan edaran famflet-famflet dan cerita mulut ke mulut tentang Anwar Shaikh. Apalagi setelah ia menerbitkan buku Eternity (Keabadian) pada 1994. Menurut Thariq Ali yang membaca bukunya itu, Anwar Shaikh bak Mu'tazilah yang terus menerus mempertanyakan validitas wahyu, menentang sifat ketuhanan Alquran. Sebuah respon dari Daily Awaz London : ANWAR SHAIKH DARI CARDIFF ADALAH PENGHIANAT DAN PANTAS DIBUNUH.

Tapi, apakah ada orang membunuhnya? Ia tak seperti Rushdie yang menulis novel, Shaikh adalah orang Islam yang mengenal subjeknya dengan jelas. Mr. Abdul Latif di Oldham, pada Daily Jang 19 Agustus 1997 menulis, "Sebenarnya adalah bahwa kita, umat Islam, memprotes buku Rushdie yang terkutuk secara bodoh karena Rushdie sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan Anwar Shaikh. Rushdie menempa kepalsuan-kepalsuan untuk membuat novelnya menjadi menarik dan kita bisa memuaskan anak-anak ini berdasarkan landasan ini. Anwar Shaikh, sebaliknya, telah mendasarkan karyanya pada kutipan-kutipan dari Alquran al Karim dan hadis yang merupakan landasan kita."

Umumnya, para koresponden dari Eropa memang mencerca Anwar Shaikh, tapi tidak menuntut pembunuhan atasnya, justru mereka menuntut sebuah bantahan yang otoritatif. Ulama pun menunjukkan sikap hati-hati, "Rushdie dan Shaikh termasuk dalam kelompok yang sama. Umat sebaiknya tidak mengorganisasi protes agar Anwar Shaikh tidak menerima popularitas internasional".

Repotnya, Rushdie dianggap orang jauh, cetakan Rugby School dan Cambridge, sedangkan Shaikh adalah orang dalam, tepatnya musuh di dalam. Ketika Thariq Ali bertemu dengannya, ia dengan penuh kepercayaan diri, berkata : "Mereka tidak akan pernah berhasil menyumbat mulutku, karena aku berbicara untuk jutaan Muslim yang bisu".

Anwar Shaikh telah melakukan dekonstruksi terhadap bangunan arsitektural teologi Islam berupa menara kembar - Alquran dan Nabi, yang harapannya ambruk secara bersamaan. metodenya seperti cara Spinoza dalam membongkar perjanjian lama, yang kemudian dikucilkan oleh para rabi senior. Shaikh menilai bahwa wahyu telah membuat si penerima wahyu menjadi bersifat Ilahi, keagungan Tuhan menjadi tergantung pada penerima wahyu. Ia menilai bahwa nabi, dan bukan Allah yang berada pada inti Islam. Argumen ini menurut Thariq Ali seperti argumen Ibn Rawandi bersama Mu'tazilah pada 1000 tahun yang lalu.

Lantas, siapa Anwar Shaikh? Ia lahir pada 1928 di Lahore, sejak dini ia menghafal Alquran dan memahami hafalannya. Pada 1947, sebagai seorang pemuda tanggung berusia 19 tahun, ia dibuat marah oleh pembersihan keyakinan (confessional cleansing) di Punjab, dimana begitu banyak minoritas di masing-masing daerah yang dibunuh atau baku bunuh, antara Muslim, Hindu dan Sikh. Lantaran terbakar amarah akibat kematian banyak kaum muslim, ia pun turut turun ke jalan-jalan Lahore dan akhirnya membunuh tiga orang Sikh, dengan pentungan dan satu orang dengan skop. Ia pun menganggap tindakannya adalah jalan Jihad, dimana saat itu ia berfikir, dengan melakukan itu, ia akan dianugerahi tujuh puluh perawan dengan payudara menonjol, serta anugerah kejantanan hingga 84 tahun. Di usia itu, menurutnya wajar ia terpengaruh pemikiran seperti itu.

Namun, tak ada yang dapat menghakimi dia setelah membunuh tiga orang. Ia pun dihantui rasa bersalah. Ia tak dipenjara, dan tak dapat terbebas dari rasa bersalah. Karenanya, ia merantau ke Cardiff pada 1956 dengan hanya mengantongi 25 lira, ia bekerja sebagai buruh, kemudian menjadi kondektur bis, lalu menginvestasikan tabungannya pada usaha properti. Ia terbilang sukses. Namun, peristiwa berdarah itu terus menghantuinya. Itulah sebabnya, ia menghimpun begitu banyak buku di perpustakaan pribadinya, khususnya yang bertemakan Alquran dan hadis. Ia terus membaca hal-hal itu, termasuk hal-hal lain seperti Spinoza, Freud, dan Marx. Lalu, ia pun menantang orang-orang untuk berdebat. "Dimana pun dan kapan pun mereka ingin, aku akan berdebat dengan mereka. Mari kita lakukan itu di depan 100 persen audiens muslim. Mari kita lakukan di radio dan televisi. Tapi mereka tidak mau. Mengapa?" Thariq Ali mengatakan, barangkali ia tidak ingin memberinya publisitas.

Ketika ia menerima telepon ancaman secara terus menerus, ia hanya berkata, usia ku sudah enam puluh delapan tahun, dan telah menjalani perawatan hati dan tujuh kali operasi. Ia merasa, apa pun yang terjadi, ia akan mati secara terhormat. Ia pun berkata pada Thariq, "Aku menulis tidak hanya untuk hari ini, tapi untuk esok. Aku tidak ingin anak-anak kami melakukan apa yang pernah aku lakukan pada 1947".

Anwar Shaikh meninggal di Cardiff pada 25 November 2006. Dan kita di Indonesia, saya kira jarang atau tidak pernah mendengar namanya. Kita lebih gampang mengenali Salman Rushdie. Saya pun tak dapat tahu tentang Anwar Shaikh jika tak membaca karya Thariq Ali.

**

Terlepas dari gambaran kacau buku Satanic Verses, (saya kepengen banget baca bukunya, mudah-mudahan bisa ketemu kelak), tak selayaknya kita membiarkan aksi-aksi sepihak kekerasan terhadap manusia, seperti penusukan pada Salman Rushdie. Semoga Rushdie dapat kembali sehat, dan penikamnya mendapatkan hukuman yang setimpal.







0 komentar:

Anwar Shaikh