Baru-baru ini saya membaca buku "Mutiara Di Padang Ilalang" karya Tedjabayu, cerita seorang penyintas Tahanan Politik 1965. beginilah sepotong ceritanya...
Pada 20 Oktober 1965, Tedjabayu yang saat itu masih berusia 21 tahun ikut menjaga Gedung Chung Hwa Tjung Hwi (CTCH), sebuah gedung pertunjukan milik organisasi etnis Tionghoa yang dipinjam Universitas Res Publika (URECA) Cabang Yogyakarta.
Ia bersama kawan-kawannya dari CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) turut membantu menjaga gedung itu dari gerombolan pelajar/pemuda yang hendak menyerang. Dalam tasnya pun ada kunci inggris peninggalan bapaknya. Kunci itu akhirnya diambil oleh Batalyon F (Brigade Infantri IV Purwokerto) yang baru saja pulang dari Operasi Dwikora ganyang Malaysia. Alhamdulillah, para pelajar yang ngotot meneriakkan "ganyang PKI" dari luar gedung itu berhasil dibubarkan oleh satuan tersebut. Ia bersama 125 orang rekan-rekan diangkut menggunakan truk, diantar ke kantor polisi. Di kantor polisi, ia pun menyebut identitasnya sebagai aktivis CGMI yang konsekuensinya adalah penjara selama 14 tahun.
Dalam perjalanan menuju Penjara Wirogunan, mereka masih sempat bernyanyi-nyayi, "Paling-paling akhir Desember".. mengingat para aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI) yang menuntut UU Peraturan Agraria hanya dipenjara beberapa bulan. Tragis, dalam perjalanan itu, ada seorang penggembira muda berusia 14 tahun, sempat ketinggalan mobil, dia memaksa naik karena mengira truk itu akan melewati kampungnya di Ledokratmakan, tahu-tahunya ia menjadi Tahanan Politik (Tapol) termuda.
Di penjara ini, jatah makan semakin lama semakin berkurang, bahkan para narapidana (istilah baru bagi Tedja waktu itu) bisa dihitung sampai 75 butir saja. Karena itu, jika mereka kumpul-kumpul, mereka pun saling bertukar cerita tentang makanan-makanan enak di luar sana, seperti apa rasanya Martabak Soboharsono, martabaknya Mas Sugiyono, "cepat dong ceritanya... nanti dulu, nanti nggak enak lho rasanya..."
Lama di penjara, mulai berlangsung pemeriksaan terhadap tahanan, banyak dari mereka yang pulang dengan wajah terdistorsi, apalagi jika pemeriksanya adalah Pak Loekman Soetrisno, yang ternyata dosen sastra UGM, atau mahasiswa kedokteran PDAP (Pendidikan Dokter Angkatan Perang), sadis betul. Sepertinya Loekman dan pemeriksa dari sarjana-sarjana UGM yang intelektual itu punya dendam terhadap apa saja yang berbau kiri. Mereka pakai alat apa saja untuk menyiksa, bahkan menggunakan aliran listrik. Kawan-kawan Tedja mengerang kesakitan, sambil mengumpat, "Jancuk, sial banget aku diperiksa si Loekman..."
Suatu hari, 24 Desember 1965, penjara kedatangan para tentara baru, yaitu CPM yang mulanya dikira RPKAD. tentara-tentara muda ini memukuli satu persatu tahanan, ada yang ditendang ramai-ramai, utamanya tapol etnis Cina. termasuk kawan Tedja Salmon Tiwo, anak muda dari Sulawesi Utara yang bermata sipit dan kulit kuning, ia dihajar, "Cina lu! Pengacau ekonomi lu! Agen Tju en lai, lu! Cinkolim lu! "Bukan pak, saya manado asli Pak!" "Oh, kalau begitu kamu Permesta ya? dulu berontak sekarang ikutin PEKAI lagi"..
Selepas tentara-tentara baru itu pergi, Tedja dan kawan-kawannya saling memandangi, melihat muka kawan-kawan babak belur dan penyok, berdarah-darah.. Tapi mereka semua tertawa ngakak-ngakak.. Tedja bilang dalam bukunya itu, ajaibnya, lukanya cepat sembuh, cuma masih ada rasa sakit jika dipegang, njarem..
Membaca buku Tedjabayu yang berjudul "Mutiara di Padang Ilalang" ngeri-ngeri sedap. Saya tidak sanggup membayangkan kesulitan-kesulitan, kesakitan, kawan-kawan sepenanggungan yang mati satu persatu. Hidup tak berpasangan atau jauh dari cinta di luar penjara. Intelektual-intelektual berfikir merdeka yang terkurung dan tak dapat berbuat sesuatu untuk negara yang dicintainya. Mereka betul-betul adalah mutiara yang berada di padang ilalang..
25 Februari 1966, Tedja bersama 500 tapol dipindahkan ke Nusakambangan, penjara alcatraz-nya Indonesia. Di penjara ini mandinya diatur oleh voorman (mandor), mereka telanjang bulat ke kolam. Mereka menggayung air saat voorman meniupkan pluit, pluit berikutnya mereka harus memakai sabun, pluit berikutnya mereka harus membersihkan badan. Si voorman bilang, "ingat, saya ini gustialahmu, tahu?" Oei Yan Tik, memperlihatkan wajah lucu, sebagian tapol tersenyum.
Ketika ia berada di Penjara Parmisan, Nusakambangan. Saban jam 6 pagi, pintu dibuka, para tahanan sudah berdesakan di dekat pintu untuk berebutan ke wc umum. Ruang jongkok terbatas. Karena itu, boker bareng dan beradu pantat. Mereka pun berlomba siapa yang paling keras kentutnya.
Cerita-cerita dalam buku ini penuh dengan kisah kemanusiaan, seperti apa manusia berjuang di tengah keterdesakan, sisi-sisi lucu dari kekelaman, bahkan sisi yang tak dipahami karena terlalu kaku melihat ideologi "sama rata sama rasa". Setiap kiriman dari rumah, walaupun itu tempe mendoan, harus dibagi rata pada semua isi kamar tahanan. Awalnya sebagai bentuk kebersamaan, kemudian menjadi kewajiban. bagi yang kurang membagi, akan dikatai kikir, apalagi orang itu beretnis cina, jadi rasis sudah.
Tedja menceritakan dua kisah heroik di penjara itu. Seorang kawan muda militan merasa dirinya tak kuat lagi untuk bertahan dari busung lapar yang dideritanya. Bau mulutnya seperti orang yang sudah mendekati ajal. Dia meminta ke Bung Tedja untuk memapahnya, "bakal ajaib kalau besok aku masih hidup. Aku mung kepingin pamit karo kanca-kanca wae". Tedja membawanya berkeliling penjara dari kamar ke kamar untuk menyalami satu persatu kawan-kawan. Setengah berbisik, dia bilang "Wis yo, teruskan perjuangan". Satu lagi kawan yang masih muda juga, menderita HO plus, merasa tidak kuat lagi, ia pun meneriakkan dengan keras "Hidup PKI!" dan menyanyikan lagu "internationale".
Belum lagi ceritanya di Penjara Ambarawa, apalgi Pulau Buruh... wah, bisa panjang.. hehehe.. mending kita tuntaskan aja. Para pembaca bisa cari sendiri bukunya, atau membaca artikel-artikel yang beredar di mesin pencari..
**
Tedjabayu adalah anak dari seniman terkenal, Sudjojono dan Mia Bustam, keduanya adalah pelukis dan aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Ia lahir di Jakarta pada 3 April 1944 dan meninggal pada 25 Februari 2021. Tedja ditangkap pada Oktober 1965, masuk penjara Wirogunan, Ambarawa, Nusakambangan, lantas dibuang ke Pulau Buru dan bebas pada 1979. Lahir dan besar di lingkungan kiri, membawanya terlibat dalam CGMI, yang dari wawancaranya lantaran tidak senang dengan perpeloncoan mahasiswa, CGMI melihat perpeloncoan sebagai tindak kolonialisme. Tedjabayu juga terlibat dalam gerakan reformasi untuk menuntut turunnya Soeharto dari pucuk pimpinan. Salah satu komentarnya di konten youtube, "Saya ikut perjuangan melawan Soeharto, sampai sekarang, sebenarnya tidak selesai, Soeharto masih hidup kok".
Dalam wawancara itu, ia berharap ada pengadilan resmi terhadap kasus tapol 65, ia tak berharap ada tuntutan hukum, tapi hanya berupa permintaan maaf secara tulus dan resmi dan mereka mengakui perbuatannya. Harapannya, dengan pengadilan itu ada rekonsiliasi antar sesama anak bangsa. Pesan dari Tedja, anak-anak muda saling memaafkan dan tetap sejarah harus dibuka..
Semoga almarhum diterima di Sisi-Nya.. C'est la vie, Dja! Inilah hidup... Begitu kata Mia Bustam, Ibunya ketika menjemputnya di Kodim Jakarta barat. Mia Bustam tak menangis, Ia menjabat tangan Tedja. C'est la vie...
0 komentar:
Posting Komentar