Kita telah bersama-sama memamerkan bendera merah putih berkibar, di lapangan, di depan rumah, di dekat toko atau bahkan di depan kolam ikan.
Kita barangkali mengenang jasa pahlawan, beberapa wajah dengan tutup kepala atau blankonnya ada di depan mata kita, Ahmad Yani, Soedirman, Hasanuddin, dan beberapa tokoh yang lazim menjadi nama jalan di negeri ini.
Saat ini barangkali kita sudah duduk-duduk di warkop, menyeka keringat sehabis upacara beberapa jam yang lalu. Abu rokok sudah berserakan lagi di samping sepatu hitam kita. Indonesia pun melempem, kita pun melempar bahan cerita mengenai terik, isu pidato yang kurang menarik, ataupun tingkah-tingkah lucu pameran baris-berbaris dua-tiga hari lalu.
Olehnya itu, pada catatan kali ini saya tidak ingin mengungkit rasa haru ataupun bentuk bela negara, walaupun dengan sangat sadar saya mengenang sebuah tulisan yang menejelaskan secara sendu seperti apa teks proklamasi dibuat. Soekarno lagi demam-demamnya, Bung Hatta masih bimbang antara memasukkan banyak nama dalam penandatanganan teks proklamasi. Kedua orang ini hanya tidur sebentar menuju pagi, pukul 10.00 Wib, Bung Karno membaca teks penegasan kemerdekaan di Jalan Pengangsaan Timur. Teks tersebut cukup ringkas, hanya berisi penegasan dan pengambilalihan kekuatan di bawah tangan rakyat-pemerintah Indonesia. Tak ada penjelasan ideologi, dan cita-cita. Pancasila belum lahir di situ.
Pada catatan kali ini, saya hanya ingin mengulas sekilas mengenai nasib petambak-petambak tradisional Kab. Berau, yang rasa-rasanya, setelah Indonesia 77 tahun merdeka, mereka belum begitu merasakan manfaat yang sama dirasakan oleh petambak-petambak di daerah dan provinsi lain.
77 tahun merdeka, petambak Kab. berau masih bergumul dengan masalah produksi udang yang rendah, berkisar 5-10 persen. 77 tahun merdeka, di satu wilayah dengan luas 7000 hektar lahan, hampir semuanya masih menggunakan pestisida tiodan dan kesulitan mengakses pestisida organik, 77 tahun merdeka, mereka masih bergantung pada benur dari jauh, yaitu Surabaya dan Tarakan, itu pun dengan fasilitasi pengumpul udang, sehingga mereka tak dapat merdeka memilih benur yang bagus, 77 tahun merdeka, mereka minim dampingan dan berjuang sendiri untuk bertahan hidup..
Lantas, apa yang harus dilakukan agar para petambak tersebut juga dapat merasakan angin segar kemerdekaan? Pertama, mendorong perbaikan kualitas udang pasca panen, dengan skema yang saya namakan "Dari Kualitas ke Kuantitas". Hampir semua pengumpul udang windu saat ini di Berau mengirim udang ke gudang pengolahan udang di Tarakan dalam bentuk tanpa kepala (head less), hal ini berpengaruh pada penurunan mutu udang, sebab head less berarti udang akan lama di tampung di pos/gudang kecil di kampung agar sampai pada kuota tertentu, dengan kondisi es yang telah bercampur air, sehingga cukup banyak kejadian udang tiba di pos besar di Tarakan ataupun gudang pabrik sudah dalam keadaan reject/upkir/turun kualitas, sehingga harganya menurun. Untuk itu, butuh tim yang kuat yang dapat menjalankan skema ini, melakukan penanganan udang secara cepat di tambak pasca panen, melakukan penanganan secara cepat dan sesuai dengan SOP (perbandingan es dan udang 50%), serta pengiriman segera ke Tarakan, agar kualitas udang yang sampai di Tarakan masih kualitas premium dan tetap dengan kepala (head on). Gerakan Kualitas ke Kuantitas ini berimplikasi pada gaya kerja petambak yang didorong untuk peduli kualitas dibanding kuantitas, yang setelahnya justru memicu kuantitas, karena petambak merasakan manfaat secara ekonomi dengan meningkatnya harga tawaran. Para pendamping akan lebih mudah melakukan sharing informasi kepada petambak tersebut, agar mengikuti panduan-panduan budidaya yang benar agar hasil produksi dapat meningkat.
Kedua, mendorong penyediaan usaha medium untuk benur tokolan/gelondongan di kampung-kampung petambak Berau. Saat ini hampir semua benur yang ditebar ke dalam tambak yang luasnya berhektar-hektar itu adalah benur Post Larva (PL) 8-12. Ukurannya sangat kecil dan dengan mudah dimangsa hama/predator yang masih ada berkeliaran dalam tambak. Selain itu, secara fisik agak sulit menyesuaikan karena perbedaan kondisi di hatchery dan tambak, apalagi salinitas tambak banyak yang kurang payau atau agak tawar. Sehingga, penyediaan kantong-kantong bisnis gelondongan/benur tokolan yang sudah berukuran 2-3 cm atau bahkan 4-5 cm akan sangat bagus untuk mencegah kematian dini pada udang, dan udang diperkirakan dapat bertahan dengan sintasan yang lebih baik.
Ketiga, mendorong kerjasama stakeholder/parapihak untuk mengelola kawasan akuakultur dengan konsep berkelanjutan dan peduli ekosistem, pada FAO dibahasakan dengan EAA (Ecosystem Approach to Aquaculture). Saat ini pengelolaan kawasan perikanan terjebak dalam kamar-kamar kedinasan, pihak kelautan dan perikanan mengklaim memiliki kewenangan, begitu halnya pihak kehutanan dan lingkungan hidup memiliki kewenangan. Belum lagi stakeholder utama di kampung, yaitu pemerintah desa, Rukun Tetangga, para pengumpul, penyedia benur, petambak itu sendiri, serta tingkat hilir yaitu industri udang. Saat ini berjalan begitu saja, sesuai dengan mekanisme pasar yang bebas. Namun, ada baiknya jika masing-masing stakeholder tersebut duduk bersama lalu mendiskusikan isu-isu akuakultur, menetapkan prioritas isu, mendiskuikan analisis resiko, daftar program masing-masing, kebijaksanaan masing-masing, dari situ menjadi bahan untuk membangun perencanaan bersama kawasan akuakultur yang adil dan berwawasan lingkungan. Harapannya dengan tata kelola seperti ini lahir sebuah asosiasi petambak yang independen dan dapat berfikir kritis untuk peningkatan produksi udang dan kesejahteraan para petambak.
***
Dari ketiga langkah itu, masing-masing langkah sedang on going, praktik "Kualitas ke Kuantitas" sedang gencar-gencarnya, sebentar lagi kami melakukan pengiriman ke Tarakan untuk menguji teori ini, apakah betul-betul berdampak di masyarakat. Langkah kedua, telah kami uji sebelumnya bersama YKAN, yaitu pemeliharaan benur PL 12-15 selama 30 hari dengan jumlah 30.000 dengan tingkat hidup/sintasan hingga 55% atau 16.500 ekor dengan ukuran 5-7 cm. Sistem tokolan ini dapat direplikasi oleh siapa pun yang berminat. Sedangkan langkah ketiga, sedang saya rancang, telah terdapat pemahaman yang sedikit mendalam mengenai konsep EAA dan telah diperoleh kesimpulan-kesimpulan sementara mengenai kondisi sosial, praktik budidaya, legalitas, lingkungan pada masing-masing kampung, sebagai bahan diskusi dengan para stakeholder yang ada di Berau. Meski begitu, keberhasilan langkah ketiga ini tergantung dari chemistry yang akan terbangun pada masing-masing stakeholder, dukungan penuh pihak pemerintah, ketersediaan untuk terbuka dan berbagi pada masing-masing stakeholder.
Demikianlah tiga langkah yang harus ditempuh agar petambak dapat merdeka. Meski ada langkah-langkah berikutnya yang juga harus dipikirkan, seperti mengurangi penggunaan pestisida kimiawi, perbaikan kualitas tanah, dll...
0 komentar:
Posting Komentar