semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Hersri Setiawan

 Hersri bercerita lirih sekaligus lugas pada bukunya, Memoar Pulau Buru. Saya membacanya berhari-hari di sela-sela waktu, dari lembar ke lembar. Ia kembali dari Ceylon (sekarang Sri Langka) pada 24 Agustus 1965, karena di-persona-non-grata-kan oleh pemerintah Rahwana itu, lantaran negara itu tiba-tiba dikuasai oleh militer proneokolonialisme. Pada masa itu, kurang betul orang mengenalnya, hanya dia yang mengenali orang-orang, apalagi para aktivis partai kiri dan aktivis kebudayaan rakyat. Karena itu, ia berhasil lolos dari incaran para intel, yang bekerjasama dengan para pelajar dan mahasiswa untuk menciduk para aktivis buruh, tani, pergerakan sosial dari rumahnya masing-masing, atau tempat persembunyiannya.


Sebelumnya ia sempat berkantor di Kolombo sebagai wakil pengarang Indonesia pada Biro Pengarang Asia-Afrika di Sri Langka pada 1961-1965, sebelum itu iya ditempatkan sebagai salah satu pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) Cabang Jawa Tengah pada 1950-an. Di LEKRA pun ia mengaku tidak lama aktif, sehingga, waktu di Pulau Buru, dia hanya mengenal satu dua atau bisa dihitung jari aktivis yang di-Buru-kan dari Jawa Tengah.

Baru pada akhir 1969 ia dijemput oleh dua intel tentara, yang dengan bahasa pasemon-untuk dimintai keterangan. Nyatanya, ia tidak boleh berhubungan dengan siapa pun, baru setelah diwawancarai tiga orang dalam jangka lama, ia baru bisa dikirimkan barang-barang keperluan sehari-hari, selain sepatu, alat baca tulis, dan barang tajam. Selama di tempat penahanan itu, ia pun diperintah untuk melakukan "korve", tugas kerja, seperti membersihkan saluran air, rumput, dan memperbaiki jalan.

Tahun 1970, ia pun dipindahkan ke Penjara Salemba, Jakarta. Di penjara ini, ia tidur di ruang berukuran 2x2,5 meter bersama 5 orang tahanan lain. Sehari-hari memakan bulgur (gandum yang ditumbuk kasar) bersama nasi dan 70 butir jagung rebus, dalam sebuah piring aluminium yang sudah licin dan amis.

Di penjara ini pula ia selalu mengikuti kelas, yaitu "pendalaman Pancasila", sebuah pemahaman yang betul-betul baru, diluar konsepsi TUBAPI Jubir Manipol Usdek Ruslan Abdul Gani atau juga tanpa dibayangi pikiran-pikiran Muhammad Yamin dan Bung Karno. Pendalaman ini harus ia telan. Begitu halnya dengan perintah agama, bagi yang beragama Islam, harus shalat lima kali sehari, kristen harus ikut kebaktian, di samping tugas-tugas kebersihan, menyapu dan menggosok WC.

Pada 1 Agustus 1971, terjadi regulasi tahanan antara Rumah Tahanan Salemba dan Rumah Tahanan Tangerang, maka dipindahkanlah ia ke RTC Tangerang. Ia ditempatkan di sebuah sel sempit dan lebih rendah, berlantai beton, baunya pesing bercampur amis karat besi. Ia pun tidak bisa bicara banyak di sel ini, karena berbicara adalah salah satu konsinyes/larangan berat. Apalagi jika ada petugas. Ia pun harus makan nasi yang direndam dalam air hijau bening dengan beberapa lembar daun bayam, yang baunya anyir dan membuatnya mual. Pertama ia makan itu, ia muntah, dan terpaksa berbaring lemas karena demam dan perut kosong dan akhirnya terselamatkan oleh kiriman gula merah dari teman blok sebelahnya sebagai pernyataan perkawanan. Ia betul-betul tidak ada selera untuk menelan makanan itu. Tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak makan, maka tidak akan hidup. Ia pun hidup betul-betul menderita dalam penjara bersama banyak orang dalam satu sel sempit. Teman-temannya sudah berselimut kulit dengan sedikit daging. Sebab, sebelumnya mereka dikenai isolasi berat selama 8 bulan, lantaran kejadian kematian seorang tahanan Coro (kecoak). Dalam memoar itu, disebutkan bahwa setiap hari, terdapat 5 atau lebih tahanan mati, sehingga dibentuklah korve di antara tahanan untuk bertugas mengecek, mengambil, dan menguburkan tahanan yang meninggal.

Setelah beberapa lama di RTC Tangerang, tibalah keputusan dari pemerintah untuk mengangkut mereka ke Pulau Buru, yang merupakan gelombang ke sekian sejak pemberangkatan pertama kali pada 1969 untuk tahanan-tahanan kelas kakap, yang mana mereka ditempatkan di satu kawasan tandus yang dipenuhi padang ilalang (savana), makanya disebut Savanajaya.

Karena suatu alasan khusus, para tahanan ini diperlakukan khusus dalam pemberangkatan ke pulau Buru. Mereka diangkut menggunakan truk hingga ke Pelabuhan Tanjung Priuk, lalu selama dalam perjalanan mereka pun menikmati sekilas kehidupan bebas. Mereka memperoleh lauk yang berbeda, nasi putih selembut sutrera, ditutupi oleh rendang atau daging goreng, kemudian telur sebutir penuh tanpa dipotong/dibelah enam atau delapan. Belum lagi extra vouding berupa teh manis, susu, bubur kacang ijo. Selain itu mereka disajikan alunan musik lagu-lagu keroncong dan aliran musik lainnya. Baru saja, setelah 5 tahun dalam tahanan, ia merasakan kenikmatan seperti itu, kenikmatan yang berjudul "Proyek Kemanusiaan Orde Baru" yang didukung oleh pihak internasional.

Setiba di Pulau Buru, mereka disuruh melompat dari sekoci untuk berjalan ke daratan, untung airnya hanya sampai pinggang. Sebagian bawaannya menjadi basah, kecuali bawaan yang dia angkat dengan kedua tangannya. Setelahnya, mereka duduk berjongkok di depan kantor Koramil selama berjam-jam untuk menunggu perintah. Baru pada tengah hari mereka memperoleh perintah untuk berjalan ke satu tempat bernama Jiku Kecil, yang kemudian berjalan lagi ke unit pemukiman yaitu unit XIV Bantalareja.

Di Bantalareja inilah mereka bertugas untuk melaksanakan proyek pembangunan baik berupa kebun maupun hamparan sawah, yang sebelumnya berupa rawa-rawa ataupun sebagian tertutup hutan.

Setiba mereka di unit/barak yang luasnya 6x30 meter, dengan dua bohlam masing-masing 15 watt. Mereka semua dalam kondisi kelelahan. Mereka pun masuk ke dalam kelambunya masing-masing. Dalam proyek kemanusiaan ini mereka diberi sebuah kelambu, tikar, seperangkat alat makan (misting) baju dengan nomor masing-masing. Di bagian lantai, masih becek karena belum adanya saluran pembuangan air. itu berarti besok mereka harus korve untuk membuat saluran pembuangan ke rawa-rawa, dengan membabat hutan/land clearing. Cuma, sebelum tidur mereka pun apel dulu, nah saat apel ini selalu saja ada kasus yang menyebabkan mereka terkena hukum renteng. Apalagi di grup mereka terdapat dua orang yang terbilang aneh, satunya ditambah karena gagap. Sehingga, ia selalu salah ucap mengenai atau mengucapkan sesuatu dengan nada aneh. Ditambah ia tak dapat menahan tawa bagaimana pun ia menahannya. Karena itu, mereka pun harus push up, koprol, atau semacamnya.

Kejadian-kejadian lucu campur haru selalu saja terjadi saban harinya. Dan Tonwal betul-betul menikmatinya. Sepertinya mempermainkan manusia lebih enak dibandingkan mempermainkan kerbau. Apel, kerja, apel lagi, tidur kelelahan, itulah kejadian setiap hari, ditambah hukum rente jika ada sesuatu yang berbeda dari permintaan tonwal.

Suatu waktu, seorang tahanan bernama Sawal diminta oleh Danton untuk membuat "taman bunga". Ia kerjakan tugas itu sepenuh hati, seorang diri. Sekian jalur gundukan tanah sudah dipenuhi kembang cengger, asar sore, dan mawar. Bunga Anggrek hitam digantung di tiang-tiang tulang pagar. Gundukan itu pun dibuatkannya pagar dari bilah-bilah bambu, agar tidak diganggu ayam.

Pada sore hari, terdapat lonceng berbunyi tanda bahaya, mereka semua dikumpulkan. lalu, danton bertanya, apa yang ose-ose lihat? Hei! Tuli semua? kasih tangan, siapa yang tahu..?" Basuki Efendy yang koordinator pun menceritakan yang dilihatnya, berupa gundukan-gundukan tanah yang dipenuhi bunga, dan rapi. Tapi dibalas danton dengan makian "Diam, abunawas! dasar PEKAI! Parlente!" Berapa gundukan semua?" Dalam benak para tahanan politik (tapol), untuk apa ya dihitung, dengan pikiran dongkol dan penuh tanda tanya. Kemudian, ditanyalah Sawal, berapa gundukan tanah itu. Sawal menjawab, "tujuh, Pak!" Mengapa tujuh?" Sawal tak menangkap pertanyaan ini, mengapa tujuh? ia tak dapat menjawab. Karena tak dapat menjawab, ia pun menjadi bancakan untuk dipermak. "Gundukan itu ada tujuh" kata mantri pertanian. Apa itu bilangan tujuh?" semua orang masih terdiam dan bingung. Lalu mantri Kesehatan pun berteriak, "Abunawas, kamu semua, itu jumlah jendral tujuh pahlawan revolusi yang kamu bunuh di lubang buaya!" Apel pun bubar dengan kasus tujuh. Gundukan itu pun kembali diratakan, dan Sawal pun digotong ke rumah sakit.

**

Cukup banyak cerita dalam buku ini, seperti cerita GTM (Gerakan Tutup Mulut) dan jaringan telur katak, cerita tentang dinamika antara kaum tua dan kaum muda, antara cetakan salemba dan cetakan Tangerang, perebutan pengaruh kepemimpinan sesama tapol, hingga tapol-tapol coro/kecoak yang menjadi musuh dalam selimut, jadi tukang lapor demi memperoleh keleluasaan/kekuasaan dari penguasa. Kebanyakan coro ini dalam memoar pulau buru tidak kembali ke Jawa, dan menetap di Pulau Buru. Mungkin karena malu, atau takut kawan-kawannya menuntut balas.

Selepas dari pulau Buru, ia pun berangkat ke Belanda untuk menjadi penulis, editor dan penerjemah. Ia pernah menjadi penyunting untuk "Ensiklopedia Indonesia" sebanyak 7 jilid yang diterbitkan oleh PT Ikhtiar Baru-Van Hoeve. Antara 1987 dan 2004, Hersri tinggal di pengasingan di Belanda. Pada tahun 2004, Hersri pulang ke tanah air dan kini tinggal di Jakarta dan Yogyakarta.







0 komentar:

Hersri Setiawan