Soekarno, Persiden pertama Republik Indonesia, tidak habis-habis. Cerita tentangnya tidak hanya diperoleh dari pidato-nya yang bertebaran di youtube, atau dalam catatan-catatan sejarawan, mulai dari Cindy Adams, Kapitsa M.S & Maletin N.P, Ramadhan KH, tapi juga dari ceramah-ceramahnya pada 7 universitas di Indonesia, diantaranya Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Hasanuddin, IAIN Jakarta, Universitas Padjajaran, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Sayang sekali cuma 7 yang diterbitkan, padahal Soekarno memperoleh honoris causa di 26 universitas, baik dalam dan luar negeri. Tak terkecuali universitas-universitas bergengsi, seperti McGill University, Berlin University, Warsawa University, Bucharest University, Lomonosov University, Sofia University dll. Dari seluruh gelar itu, 16 diantaranya untuk bidang hukum, 3 bidang kemasyarakatan, 3 bidang teknik, 3 bidang agama Islam, dan 1 bidang sejarah.
Di UGM, ketika Bung Karno membuka pidato, ia dengan jujur mengatakan bahkan meragukan kenapa ia menerima predikat setinggi Honoris Causa, "Saya bukan ahli pengetahuan. Saya bukan yang orang namakan een geleerde (ilmuan). Saya belum pernah menulis sesuatu buku yang pantas orang namakan satu prestasi wetenschappelijk (ilmiah). Saya belum pernah menyusun satu teori atau mengupasnya secara analisisis dalam-dalam. Pembawaanku bukan pembawaan yang bespiegelend (menekuni ilmu). Pembawaanku adalah pembawaan yang justru kurang puas dengan ilmu an sich".
Tapi, pada 19 September 1951 itu, ia mengungkapkan motifnya, kalau baginya ilmu pengetahuan itu akan berharga jika digunakan untuk mengabdi pada praktik kehidupan manusia. Hubungan antara ilmu dan amal, kennis dan daad, karena menurut seorang sarjana "kennis zonder daad is doelloos. Daad zonder kennis is richtingloos"/ilmu tanpa amal sia-sia. Amal tanpa ilmu adalah sesat.
Bung Karno pun mempertegas tugasnya, adalah untuk mengaktivir pada collectief will (kemauan kolektif) rakyat, untuk membangkitkan dan menggerakkan collectief daad (tindakan kolektif). Sesuai dengan trilogi yang dibuatnya pada 1923 : nationale gaest - nationale will - nationale daad. Jadi, jika orang lain membongkar dan menghimpun suatu teori, ia lebih pada membakar dan membangkitkan, atau yang dia sebut mengaktivir colectief will dan daad itu tadi.
Pada penganugerahan Honoris Causa dalam ilmu teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 3 September 1962, ia pun masih dalam kondisi mempertanyakan, kenapa mendapat anugerah itu dalam ilmu teknik, sementara ia bukan seorang ahli ilmiah teknik, yang mengetahui detail dan perhitungan-perhitungan yang njelimet itu. Tapi, menurut Prof Rosseno dalam pidatonya, Bung Karno adalah orang yang 'there is no gap between idea and act'.
Bung Karno mengingat saat Universitas Berlin memberi honoris causa di bidang teknik, karena Bung Karno dapat membuat jembatan yang hebat, yaitu a bridge beetween nations. Jembatan ini hanya dapat sempurna jika juga diberi technical means kepada bangsa-bangsa itu untuk bergaul satu sama lain.
Tecnical means yang dimaksud, yaitu teknik untuk membuat hidup manusia lebih nyaman. Kita membuat lampu, kita membuat kapal udara, membuat kayu pentung untuk membunuh hewan liar, dan dapat dimakan. sepotong kayu itu adalah teknik. Tapi, tujuan dari teknik bukan sekadar nyaman tadi, tapi juga untuk mengadakan suatu masyarakat adil dan makmur di tanah air Indonesia, satu masyarakat tanpa 'exploitation de l'homme par l'homme.
Bung Karno meminta mahasiswa ITB untuk seek and reseek, think and rethink, mencari, mencipta, berani membuka jalan baru, seperti revolusi dengan menggempur, menghilangkan yang tua dan membangun yang baru. Nah, "revolusi itu mencari saudara-saudara. Tidak ada revolusi yang sudah ready for use. cari sendiri, tidak ada satu revolusi atau dua revolusi yang sama. Revolusi tidak bisa dijiplak." Bung Karno pun sempat menanyakan hal ini ke Ho Chi Minh, "Apakah saudara memerdekakan Vietnam utara dengan peperangan, apakah menggunakan ilmu peperangan sebagai yang kita kenal di kalangan militaire literatuur?" kata Paman Ho, "Oh tidak, kami mempunyai sendiri, ilmu kemiliteran. Dan itu diperoleh dari kegiatan mencari. Paman Ho mencarinya pada in the school of life. Bukan pada textbook.
Pun pesan Bung Karno kepada mahasiswa-mahasiwa teknik, bukan sekadar memiliki cipta, tapi juga dedication of life. Kita bukan sekadar ingenieur-ingenieuran. Tapi, dedication of life kita adalah membuat Indonesia gemah ripah loh jinawi, masyarakat adil dan makmur.
Begitu halnya ketika Bung Karno menerima gelar Honoris Causa dalam ilmu pengetahuan kemasyarakatan dari Universitas Indonesia, Jakarta, 2 Februari 1963. Ia menyitir Marx ketika berkata dan menolak pandangan Ferdinand Lasalle yang menganggap historie agar supaya berubah, cukup didirikan di atas alam idealisme saja. "Tidak, tidak cukup dengan idealisme saja, idealisme itu dicorkan dalam satu machtsvorming, dicorkan dalam satu penumpukan tenaga manusia. Dicorkan dalam satu strijd, satu strunggle, diilhami satu cita-cita".
Ia pun setuju dengan kitab Karl Kautsky yang berjudul "Der Weg zur Macht" Jalan menuju kekuatan itu, dengan menggerakkan massa, dengan membuatnya menjadi banjir gelombang, dengan tiga syarat "ons groots verlenden" masa silam yang gemilang; "ons duister heden" hari sekarang yang gelap; dan akhirnya "de wekende, lichtende toekomst" yaitu hari kemudian yang cemerlang dan memanggil-manggil. Bung Karno menggembleng rakyat, dengan memberi iming-iming, memberi gambaran cita-cita masa gemilang, adil dan makmur, exploitation de l'homme par l'homme.
Menarik pula pidato Bung Karno di universitas Hasanuddin, ketika memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dan pengetahuan masyarakat khusus bidang ilmu politik hubungan antarnegara, Ujung Pandang, 29 April 1963.
Di situ ia berbicara tentang teori materialisme mulai dari Feurbach, hingga materialisme historis Marx. "Dulu saya ingat salah seorang mahaguru saya, barangkali saudara belum pernah dengar, namanya itu, barangkali sudah, mahaguru saya bernama Karl Marx (hadirin tertawa-Red). Feurbach bilang kalau pikiran tak lain dan tak bukan adalah secretarie dari materi. Sedangkan Marx bilang geraknya sejarah ditentukan oleh perubahan keadaan-keadaan materil. Bung Karno apakah hanya interpretasi sejarah? Pengikut Feurbach, atau juga change history? sebagai pengikut Marx. Dengan tegas Bung Karno berkata, saya lebih senang mencoba mengubah sejarah bersama-sama dengan rakyat.
Ia pun menjelaskan bangkitnya nasionalisme di Asia-Afrika, bangkitnya sebuah selfconsciusness, sebagai antitesa dari imprealisme dan kolonialisme. Sebagai misal Hasanuddin, di sini bangkit melawan Speelman. Speelman menyebut Hasanuddin adalah ayam jantan muda "de jonge haan", De jonge haan van het oosten". Rakyat Sulawesi tidak bangkit hanya karena selfconscious saja, tapi karena imprealisme yang merampas dan menindas.
Demikianlah sedikit penjelasan dari ceramah-ceramah Bung Karno di empat universitas di Indonesia. Sangat menarik penjelasan-penjelasan Bung Karno ini, yang dapat mendorong kita untuk colective will hingga colective daad. Sayang saja, jika warisan intelektual ini hanya tersimpan di gudang, dan tidak kita gali dan cari, untuk kita menemukan cara-cara, teknik, atau metode kita dalam mengatasi persoalan-persoalan kehidupan kita sehari-hari.
0 komentar:
Posting Komentar