Melihat tema pokok kumpulan tulisan ini, saya merasa agak tersentak. Rasa kantuk dalam menjalani kehidupan modern yang sudah terskemata itu terantuk sebentar. Pengetahuan-pengetahuan berguna? Tema ini sudah sedemikian usang, tapi kok terasa segar. Bayangkan, saat-saat ini, dan saat-saat kemarin, kita tak lagi pernah diceramahi tentang pengetahuan-pengetahuan berguna. Kita lebih sering mendengar, carilah pengetahuan, yang mana pengetahuan itu dapat memberimu makan, pengetahuan itu dapat membuat kamu menjadi kaya, dengan menutupi suatu pengetahuan lain, kalau dengan cara-cara itu, berarti kita juga melakukan intrik, kebohongan, penipuan, kepada orang lain, kepada publik. Hal ini menjadi satu perspektif tersendiri, bahwa hidup untuk saat ini dan yang datang, kumpulkan duit sebanyak-banyaknya. Tak peduli cerita-cerita orang, tak peduli karya kamu tak dikenang.
Saat-saat ini ada pula yang
menyitir bahwa pengetahuan yang berguna itu yaitu pengetahuan yang sesuai
dengan presedur. Jadi, jika ingin berguna atau kata lain selamat, jalani saja
sesuai prosedur. Tidak peduli relevan dengan kondisi lapangan ataukah tidak.
Orang-orang begini bertebaran di mana-mana, karena pertama tidak punya
kemampuan untuk menyelesaikan persoalan secara kreatif, kedua ada kekhawatiran
berlebihan jika tidak sesuai aturan. Pemikiran-pemikiran seperti ini haruslah
kita lawan kawan-kawan? Kenapa, karena pengetahuan tidak akan berguna, dan
tidak akan berdampak, sebab bertentangan dengan kenyataan. Orang-orang ini juga
menjadi terlalu cepat puas. Orang-orang dengan mentalitas cari aman ini akan
membawa kita bukan pada persatuan, tapi pada disintegrasi, sebab cukup kental
dengan sektarianisme dan primordialisme, mentalitas kelompok-cara berfikir
kelompok, akibatnya kehilangan moralitas karena semangat yang diantar adalah
semangat menang kalah, penyelesaian bukan secara fair play, tapi dengan
keroyokan, kesopanan meredup, dan nilai-nilai moral menjadi lebih pada semangat
Machiavellian. Pusat penilaian hanyalah pada apa kata/pendapat bos, bukan pada
apa kata/pendapat penerima dampak. Yang benar adalah yang menurut saya, jika
mendengar menurut orang-orang lain, ya tutup mata dan telinga saja.
Itulah sebabnya,
pengetahuan-pengetahuan berguna memang perlu untuk diangkat-angkat lagi. Agar,
kegiatan-kegiatan yang memang tujuannya untuk memberi nilai tambah/manfaat bagi
masyarakat, tidak terkorupsi oleh Tindakan-tindakan yang seakan-akan berguna,
tapi pada dasarnya tidak berguna, karena sejauh ini selalu dipimpin dan
dijalankan oleh orang-orang yang mungkin saja juga tidak berguna, atau dalam
bahasa lain adalah kumpulan orang-orang pandir dan bebal.
Coba bayangkan, sebagai contoh
nilai proyek sebesar Rp. 1 miliar, tujuannya untuk peningkatan produksi udang
atau rumput laut, dikerjakan selama 1 tahun oleh sekitar 5 orang. Tapi karena
kekeliruan-kekeliruan, kesalahan-kesalahan berulang, ketidakmampuan untuk
analisis dan refleksi, maka gagal-lah proyek itu. Oleh karena tidak dapat
menunjukkan dampak yang signifikan, baik bagi dirinya sendiri sebagai pribadi
dan kelompok, juga bagi orang-orang lokal yang diharapnya terkena dampak. Atau
anggaplah, ada koordinator yang sudah 5 tahun menjalankan program, secara
kuantitas banyak sekali, tapi jika kita telusuri satu persatu dampak dari
proyeknya, begitu kurang yang memuaskan, terus kita tanya orang-orang yang
terkena dampak, juga tidak menunjukkan kepuasan, bahkan lebih menunjukkan
komentar negatif. Tapi orang-orang ini mendapat respon yang baik dari
organisasinya. Nah, dapatlah kita berfikir, seperti apa kerugian yang kita
peroleh dengan berperannya orang-orang pandir dan bebal ini.
Rata-rata orang-orang yang
menerapkan pengetahuan yang tidak berguna, dan juga hidupnya tidak berguna itu,
akan sangat sulit menerima masukan, koreksi apalagi kritik. Sikapnya selalu menunjukkan
sikap bebal, atau keras kepala dengan kadar yang lebih tinggi. Menolak ide-ide
baru, menolak sistem dan manajemen yang baik. Menganggap segala tindakan yang
bertujuan untuk peningkatan kesadaran dan juga tindakan langsung yang
menunjukkan dampak, tapi tidak berasal dari dia sebagai tindakan perlawanan,
dan tendensius menyerang pribadinya.
Olehnya itu, sepertinya cukup
boleh jika kita menggali dan menggali lebih dalam, ada apa dengan orang-orang
sekarang? Apakah mereka yang bekerja di wilayah yang dalam kondisi
berkembang-masyarakat berkembang. Barangkali, orang-orang ini kurang asupan
literasi, atau jika orang-orang ini adalah lulusan universitas bahkan ada yang
bergelar master, pada dasarnya bukanlah sarjana yang berpredikat intelektual,
atau sekadar sarjana, bachelor-bachelor saja. Ilmu dan kredensi itu, dipakai
betul-betul untuk mencari hidup, dus, belum lagi jika suasana mendukung untuk
saling menyelamatkan diri dalam sebuah perantauan.
Saya mengingat artikel
Mangunwijaya pula bahwa dasar penyelamatan sumberdaya manusia kita harus
dimulai dari bangku Sekolah Dasar. Boro-boro kita memikirkan proses di ruang
kuliah, jika sejak di bangku sekolah memang sudah diformat untuk menjadi
penurut, menjadi pasukan yang patuh. Sistem pendidikan kita menciptakan suasana
menghafal tanpa pengertian yang memadai. Bahkan, suasana pendidikan mendorong
anak didik untuk taat pada komando, sedangkan bertanya dan berfikir kritis
adalah tabu. Nah, sudah diperoleh salah satu akarnya, kenapa begitu banyak
orang pandir dan bebal di negeri ini, bahkan mereka-mereka itu menempati jabatan-jabatan
penting.
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Sebaiknya tidak terjebak dengan permainan-permainan picik orang pandir, sebab mereka-mereka ini akan selalu punya cara untuk menjatuhkan orang-orang yang berada pada jalur yang benar. Makanya, kita penting melihat cara-cara Bung Karno dalam mengaktivir semangat bangsa, melalui trilogi yang didengungkannya pada 1923: national geest – national will – national daad/mengaktivir semangat nasional – kemauan nasional – Tindakan nasional.
Sehingga kita perlu menjalankan saja tugas dan tanggungjawab kita dengan sebaik-baiknya. Perlihatkan pada orang-orang pandir itu, bahwa masih tersisa di muka bumi orang yang teguh pada prinsip, metodelogi, dan akal sehat. Kedua, tidak memberi ruang lebih luas kepada orang pandir untuk menjadi pemimpin/penguasa, sebab, jika pimpinan adalah orang pandir, biasanya bawahannya juga orang-orang pandir juga, atau ia memilih bawahan yang lebih pandir atau jika tidak pandir, minimal adalah tipikal pekerja yang manut-manut. Ketiga, mendorong semangat intelektualitas/geest, untuk mengungkit kemauan/wil untuk merubah sesuatu, lalu harus ada Tindakan/daad yang betul-betul berarti, yang diperoleh dari kalkulasi yang matang, hasil perdebatan yang Panjang, dan melalui metodelogi yang rasional dan terbukti dapat memberi dampak yang seluas-luasnya bertujuan untuk menjadi berguna, dalam artian menuju masyarakat adil dan makmur. Keempat, jika tidak sanggup bertahan, lebih baik menghindarlah/menyingkir dari mereka. Sebab terdapat sebuah ayat mengatakan, “Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri”. Tuhan saja tak dapat mengubah, apalagi kita-kita ini saudara-sadara… Sekian.
0 komentar:
Posting Komentar