semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Wallace, Menembak Orang Utan di Borneo

Setelah melalui perjalanan menyusuri Kalimantan Timur, dari Balikpapan menuju Berau, melewati rimbun sawit di sepanjang Sangatta hingga Wahau, hamparan ladang eksploitasi gas alam di Bontang, hutan-hutan yang mulai digrogoti dimana-mana, pohon-pohon tumbang dan mati. Tumbuhan mangrove di pesisir Muara Badak, jalan-jalan berdebu disertai iring-iringan truk pengangkut kelapa sawit. Menyaksikan satu dua pohon raksasa yang kesepian di perjalanan ke Tabalar, serta ke Kawasan Bulungan. Burung-burung jalak yang tampak jinak di pinggir-pinggir jalan menuju Sangatta, landak besar yang hampir saya tabrak di jalanan Gunung Tabur. Burung besar mirip murai yang melintas di depan kendaraan di pemukiman di Tanjung Redeb, serta kepakan air dari ekor buaya yang membuat saya kaget di sungai Tabalar Muara, membantu saya mengingat kisah Alfred Russel Wallace di pedalaman Kalimantan.


Wallace berada di Borneo, sebutannya dalam buku Kepulauan Nusantara (The Malay Archipelago) pada 1854 hingga 1856. Memulai kehidupan Borneo di rumah sejawatnya, Sir James Brooke, di kota Sarawak. Tapi ia menghabiskan begitu banyak waktu bersama begitu banyak suku Dayak, pekerja etnis Cina, menyusuri hutan-hutan lapuk untuk mengkoleksi serangga, reptil, hingga menembak-nembaki cukup banyak Orang Utan.


Pada Maret 1855, ia berada di tambang batubara dekat sungai Simunjon, di timur Serawak. Di situ, ia mulai menemukan sedikit serangga dan burung, tapi Wallace begitu senang ketika menemukan anggrek dari genus Coelogyne. Karena itu, ia memutuskan membangun rumah di situ, selama 9 bulan ia lalu Lalang mencari serangga. Ia berhasil mengumpulkan 2000 spesies serangga untuk seluruh borneo, dan pada Kawasan tambang dan hutan sekitarnya ia menemukan sekitar 1000 spesies baru. Kawasan sekitar tambang batubara tersebut cukup banyak kayu lapuk, tua dan tumbang. Bagaimana tidak, saat itu memang cukup banyak pembukaan kawasan hutan.


Golongan kumbang yang banyak ditemuinya yaitu Rhynchophora yang merupakan jenis kumbang pemakan kayu. Jumlah jenis ini mencapai 300 jenis di Borneo, dan 270 merupakan jenis baru. Wow. Sedangkan kupu-kupu, tidak begitu banyak. Satu dari yang paling indah adalah Ornithoptera brookeana. Diambilnya dari nama James Brooke, untuk kupu-kupu langka bersayap panjang dan runcing, berwarna hitam beludru dan terdapat bintik-bintik hijau berkilauan.


Ia pun menemukan kodok terbang, jari-jarinya panjang dan berselaput. Kodok ini dapat melompat dari pohon yang tinggi, menggunakan selaput pada sela-sela jarinya. Jari-jari itu tidak sekadar digunakan untuk berenang, tapi juga untuk terbang. Hal ini menambah stok bukti ajaran darwinisme.


Di samping koleksi mamalianya yang memukau, lima ekor bajing, dua harimau, gymnurus rafflesia, sejenis perkawinan babi dan kucing hutan, ia pun akhirnya berkenalan dengan mias, nama lokal dari Orang Utan (Simia satyrus).


Ia pertama kali melihat hewan besar berbulu merah itu bergelantungan di pohon pada satu minggu pertama di area pertambangan. Pada dua minggu berikutnya, ia mendengar lagi ada mias bergelantungan, ia segera mengambil senapan. Ia menembaknya saat hewan itu bersembunyi di dedaunan. Pada tembakan kedua mias itu nyaris mati. Pertemuan berikutnya dengan misa lain, ia menembaknya lagi, terjatuh dari pohon, tapi tidak begitu terluka. Orang Dayak yang barangkali di sewanya untuk menemani berlari mendekati mias itu untuk diikatnya di kayu. Tapi, hewan itu terlalu kuat untuk orang Dayak, jadinya mias menggigit tangan orang Dayak dan luka parah. Hewan itu Kembali memanjat, Wallace pun menembaknya, tepat di jantungnya.


Pertemuan-pertemuan berikutnya dengan Orang Utan juga berakhir tragis, bagi Mias. Wallace selalu berhasil menembaknya, terjatuh dan mati. Kemudian tubuhnya ia awetkan. Beberapa diantaranya dibeli oleh Museum Derby. Hingga suatu waktu ia bertemu dengan induk Orang Utan bersama anaknya yang sedang digendongnya. Wallace pun menembak sang induk hingga terjatuh ke dalam lumpur, sang anak selamat dan tidak terluka. Anak mias ini masih sangat kecil, dan belum mempunyai gigi. Wallace pun mencoba merawatnya.


Ia memberinya air campuran beras dengan bulu angsa sebagai sedotan. Ditambahkannya gula dan santan, dengan harapan menambah kandungan gizi. Namun, Kesehatan bayi mias menurun. Ia seperti kelaparan dan kekurangan energi, sering kali menangis selayaknya bayi manusia. Apalagi bila ditinggalkan sendiri, bayi itu akan menangis, dan akan tenang jika digendong. Ia menidurkan bayi itu di kotak kecil beralaskan tikar lembut, memandikannya setiap hari pada pancuran air. Bayi mias sangat senang saat dikeringkan dan bulu-bulu rambutnya disisir dengan lembut menggunakan tangan. Namun, usia mias itu bersama Wallace hanya beberapa minggu, kedua giginya yang baru tumbuh pun lepas karena kekurangan gizi. Tidak adanya susu, dan hanya diganti air beras membuatnya keseringan diare. Setelah demam naik turun, dan munculnya bisul di kaki dan kepala. Bayi mungil itu pun mati dan membawa kesedihan bagi Wallace. Padahal, ia ingin memelihara dan membesarkannya hingga membawanya ke Inggris.


Aktivitas tembak menembak Orang Utan ini terus berlangsung, dibantu teman-teman Dayak dan Cina-nya. Waktu itu, Wallace belum memperoleh tekanan moral ketika menembak Orang Utan. Aktivitas membunuh hewan itu dalam rangka penelitian, untuk dikirimkannya ke museum-museum di Inggris. Mungkin, jika Wallace adalah generasi yang sekarang, lain lagi ceritanya. Barangkali ia akan seperti Prof. Dr. Birute Galdikas, yang mendedikasikan hidupnya selama 50 tahun untuk Orang Utan.


Wallace beberapa kali melintasi sungai hingga menyempit dan hanya dapat dilalui oleh perahu kecil. Dilihatnya lah begitu banyak kera dari jenis Macacus cynomolgus, Semnopithecus hitam dan kera bekantan (Nasalis larvatus). Hal ini mengenangkan saya pada aktivitas lalu lalang sungai Segah, dari Tanjung Redeb menuju muara Salodang di kepulauan Kampung Pegat Batumbuk. Pada tumbuhan Pedada/perangat (Sonneratia caseolaris) di sepanjang pesisir Pulau Besing, nongkrong kera ekor panjang dan juga bekantan. Pada sore hari kelelawar terbang melintasi sungai, jumlahnya barangkali ribuan. Pernah suatu ketika saya naik katinting dari jalur saluran air tambak di Tabalar Muara, bertengger di pohon Pedada burung hantu berukuran besar, sayangnya dia tidak menggunakan kacamata. :D


Tak dapat saya lupa ketika saya sedang beraktivitas dalam rumah jaga tambak di Tabalar Muara, tiba-tiba terdengar kicau burung yang asik, ternyata di bawa rumah sedang melompat-lompat burung Kucica Kampung/kacer (Copsychus saularis). Saya menengoknya lagi, ternyata ada dua ekor, sepertinya bersama pasangannya, barangkali saat itu sedang musim kawin. Di rumah jaga Batumbuk, kami sedang duduk-duduk di bawah rumah jaga/rumah kayu. Kebetulan di kotak Styrofoam terdapat ikan kakap yang membusuk, ikan itu dikerumuni lalat. Tiba-tiba, burung Kipasan Belang (Rhipidura javanica) datang, menangkap satu-satu lalat itu, dibawanya ke sarang yang letaknya tak jauh dari rumah jaga tambak. Ia datang berkali-kali, seru juga melihatnya. Saat itu, pemikiran bahwa komunitas burung pemakan serangga sangat penting keberadaannya di Kawasan tambak, sebab masing-masing hewan berperan untuk menjaga kestabilan ekosistem. Kemudian, sering kali saya mengamati burung Raja Udang (Alcedo meninting) terbang sambil terkekeh-kekeh. Burung ini memangsa udang-udang liar di sungai, dan mungkin saja juga dalam tambak. Hal ini berarti ia akan memangsa udang-udang liar yang sedang tidak fit/loyo atau penyakitan. Tentu ini adalah bagian dari cara kerja seleksi alami, agar masing-masing spesies yang bertahan adalah spesies yang kuat, sehingga dapat menurunkan genetik tubuh yang kuat pula.


Alfred Russel Walace (8 Januari 1823 – 7 November 1913) adalah penemu teori Evolusi melalui seleksi alam Bersama Charles Darwin. Temuan dan koleksi-koleksinya di Nusantara, termasuk di Borneo, memberi sumbangsih untuk pencetusan teori evolusi, melalui surat yang dikirimnya ke Charles Darwin (Letter from Ternate). Hal inilah yang mendorong Charles Dawrin mempublikasikan gagasannnya melalui buku Origin of Species (Asal Usul Spesies). Di samping gagasan seleksi alam, Wallace juga mengidentifikasi pembagian fauna menjadi dua bagian, yaitu bagian barat faunanya berasal dari Asia, dan bagian timur faunanya mencerminkan Australasia, ini disebut garis Wallace. Tentu, pengalaman Wallace di Kalimantan ini, menjadi inspirasi menarik bagi para pegiat lingkungan yang beroperasi di wilayah Kalimantan. Menjadi pertanyaan besar, apakah orang Kalimantan sendiri masih mengenal atau ada yang mengenal Alfred Russel Wallace?







Related Posts

0 komentar:

Wallace, Menembak Orang Utan di Borneo