semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Bersama Buku-Buku

 Sejak Desember 2021, saya agak direpotkan oleh buku-buku. Bagaimana tidak, saya mesti memindahkan buku-buku ku yang jumlahnya telah lebih 1000 atau mungkin sudah 2000, saya tidak menghitungnya baik-baik, dari rumahku di Maros ke rumah kontrakan yang baru di Kab. Berau, Kalimantan Timur. Pada 21 Desember 2021, saya cuma membawa 1 tas jinjing, mungkin berisi 30-40 buah buku. Pada bulan berikutnya, Januari 2022, saya kembali lagi ke Maros, karena istri akan melahirkan, lagi-lagi ketika perjalanan Maros Berau yang kedua, saya kembali menenteng 1 tas jinjing berisi buku. 


Ibuku agak jengkel dengan bawaanku ini, karena boleh dibilang berat, untuk ditenteng. Kemudian pada pertengahan maret saya kembali ke Berau lagi, rencananya ingin mengambil mobil untuk kuseberangkan ke Balikpapan melalui Pare-Pare, nah, saat membawa mobil ini bersama dua teman, yaitu Indra dan Vabian, juga berisi begitu banyak buku. Buku-buku itu hingga diselip-selipkan di bawah dan kantong-kantong jok mobil. Hingga, khawatir, mobil kesulitan jalan karena keberatan, lantaran buku-buku. Nah, urusan buku ini tidak berakhir di situ, ketika saya kembali lagi ke Makassar pada Mei 2022, untuk menjemput istri dan anak untuk diterbangkan ke Berau, lagi-lagi berurusan dengan buku. Satu tas jinjing buku turut dibawa lagi, bersama koper-koper berisi pakaian. Saat di loket pengambilan tiket, ternyata ada kelebihan bagasi, sehingga harus mengeluarkan sebagian isi buku. Jadilah saya memasukkan cukup banyak buku ke dalam tas gendong, dan sebagian ditenteng dengan menggunakan tote bag/jinjing. 


Kami pun terpaksa jalan cepat ketika di bandara kota Balikpapan, sambil menggendong anak-anak, dan saya mendapat tambahan berat karena juga harus menjinjing buku dan menggendong tas ransel. Jadinya, tibalah sebagian buku-buku pilihanku di rumah kontrakan di Berau, di Gang Mesjid Agung, Jalan Cempaka II, Kelurahan Gayam, Kec. Tanjung Redeb. Jadilah rumahku saat itu, pada ruang tamunya, terdapat dua lemari berisi buku. Sekitar setengah dari bukuku di Maros, saya pindahkan ke Berau. Akhirnya, senang juga melihat buku-buku itu terpajang, sambil mengambil satu buah untuk kubaca-baca, dengan model berbaring, atau duduk bersila, atau duduk di kursi. 


Tak disangka, jika usia buku itu di Berau tak cukup lama, pada Oktober 2022, saya pindah tugas ke Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Karena itu, urusan terpenting buku-buku lagi. sebanyak 9 kardus dikirim ke Alor pada 5 Oktober 2022, sebagian sisanya, yang juga cukup banyak itu, diangkut lagi dalam mobil avanza, yang saya bawa pulang ketika pulang bareng keluarga dari Berau ke Makassar, pada 15-19 Oktober 2022. Haduh, sampai di Maros, buku-buku itu pun terpaksa disimpan di rumah orang tua, karena rumahku akan dikontrakkan ke orang lain. 


Nah, sebelum berangkat ke Kupang, pada 25 Oktober 2022, lagi-lagi, 1 dos buku dikirim ke Alor, kali ini memang harus dikirim karena berisi buku 'Air Mati Perikanan' yang baru saja dicetak. Nah, gelombang kedua buku ini belum tiba hingga hari ini, sepertinya akan tiba di pekan depan. 


Beberapa hari terakhir, saya pun menata buku-buku yang tiba di Alor ini di rumah kontrakan yang baru. Beruntung, karena pemilik kontrakan mau meminjamkan satu lemari kaca miliknya, sehingga buku-buku itu memperoleh tempat. Meski begitu, tak juga cukup, jadinya bagian atas rak buku itu tetaplah tertumpuk buku-buku. Kemudian masih terdapat satu kardus besar yang belum memperoleh tempat. Kubelilah lagi satu meja kerja, jadinya pada meja kerja itu, sebagian ruangnya tertumpuk buku. Bergembiralah hati ini. 


Kali ini saya pun tak dapat mengerti, kenapa harus membawa buku-buku? Apakah lebih baik buku-buku itu disimpan saja di rumah orang tua di Maros? Atau bawa sekenanya saja, yang penting-penting. Namun, kupikir-pikir, ada yang kurang jika tak membawa banyak buku, sepertinya ada rasa senang begitu saja melihat banyak buku, dan juga tentu saya agak dimudahkan untuk memilih bacaan sesuai keinginan, atau sesuai kebutuhan.


Dengan peristiwa buku-buku ini, saya jadi mengerti kenapa Mohammad Hatta tak bisa lepas dari bukunya. Pada 1932, ketika Bung Hatta kembali ke Hindia Belanda, ia pulang bersama 16 peti bukunya. Bahkan, ketika ia diungsikan ke Boven Digul pada 1935, ia tetap membawa 16 peti bukunya itu, kemudian pindah lagi ke Banda Neira, juga tetap bersama 16 peti buku itu. Bisa dibayangkan bagaimana ia betul-betul kerepotan untuk packing buku sewaktu masih di Penjara Glodok, harus bolak-balik penjara selama 3 hari untuk packing buku. Belum lagi ketika buku itu tiba di Boven Digul, harus diangkut ke rumah yang sudah disiapkan oleh penguasa Hindia Belanda. Beruntung karena ada orang Kaja-Kaja yang mau dibayar untuk mengangkat buku.


Gara-gara buku ini pula Bung Hatta berpisah rumah dengan Bung Sjahrir ketika masih satu rumah di Banda Neira. Alasannya, karena anak-anak angkat Sjahrir bermain-main dekat rak buku, dan menumpahkan air sehingga buku Hatta menjadi basah. Sjahrir pun memiliki alasan untuk pindah rumah, katanya, agar anak-anak bebas bermain dan tidak mengganggu ketenangan Hatta dan buku-bukunya.   


Buku-buku itu menjadi temannya, dan tempat ia menghabiskan waktu, dan membuat waktu menjadi berguna. Dengan buku-buku ini pun ia manfaatkan untuk membuat buku saat beliau di Boven Digul, lahirlah "Alam Berfikir Yunani", yang nantinya dijadikan mas kawin untuk meminang ibu Rahmi. Lewat buku-buku ini juga, Bung Hatta melatih/mengajar para interniran soal-soal sejarah, politik, sosial di Boven Digul, bersama Sutan Sjahrir. 


Saat ada perintah dari Pemerintah Hindia Belanda untuk memulangkan Bung Hatta dan Bung Sjahrir kembali ke Batavia menggunakan kapal terbang Catalina, terjadi perdebatan antara Hatta dan Sjahrir, antara membawa 3 anak angkat Sjahrir atau peti-peti buku. Akhirnya Hatta mengalah, dan hanya membawa satu atlas Bos yang diselipkan di kopor pakaian. Buku-buku ini akhirnya kembali lagi ke pangkuan Bung Hatta, setelah ia menjadi Wakil Presiden. Jumlah buku Bung Hatta ditaksir berjumlah 8000 buku. Satu rak buku di rumahnya berisi buku-buku tentang Mahatma Gandhi, begitu hormatnya Bung Hatta kepada Gandhi.     


Yah, begitulah, seperti Hatta, ternyata cukup sulit berpisah dengan buku-buku. 






Related Posts

0 komentar:

Bersama Buku-Buku