semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pulang dari Berau

 Pagi itu, badanku tak enak, semalam kurang nyenyak tidur karena Ahimsa rewel dengan alasan tak jelas. Ia ingin menggunakan bajunya yang masih basah, sedangkan tak ada cara untuk mengeringkan baju itu. Jadilah saya menerima takdir akan menempuh perjalanan panjang, Berau-Bontang, pada hari itu, Sabtu, 14 Oktober 2022, dengan kepala sedikit berat. 


untungnya, Indra Adi Putra Salam dapat tidur lebih nyenyak, ia pun dengan tanpa mengeluh menyetir seharian itu, jika dibilang ada lebih dari 12 jam di atas kendaraan, sebab kami berangkat pukul tujuh pagi lewat sedikit, dan tiba di kota Bontang, kurang dari pukul 21.00 malam. Yah, akhirnya kami meninggalkan Berau, setelah begitu lama, berhari-hari, berbulan-bulan mengalami sesak pikir, lantaran iklim pekerjaan yang kurang menyehatkan. 


Malam sebelumnya kami sudah memasukkan barang-barang ke dalam mobil, dua koper pakaian, satu keranjang buku yang menumpuk, buku-buku yang berserakan di bawah-bawah kursi mobil, gitar, hingga satu sangkar burung beserta burung Murai Batu di dalamnya. Saya sedikit khawatir dengan Murai ini, apakah ia akan selamat sampai di Makassar? Nah, itu alhamdulillah selamat, burung itu kini saya titip di rumah orang tua, bersama buku-buku yang ikut pulang ke Maros. Sebelum berangkat, saya, Riyami-istri saya, dan Swadeshi yang digendongnya, berfoto di depan rumah kontrakan, di belakang mobil Avanza merah. Berat hati rasanya, tapi juga lega. Campur baur. Sayang meninggalkan, tapi kepingin juga cepat keluar dari kota ini. 





Kami pun berangkat, mobil memutar ke arah jalan durian 3, Indra berkata, supaya kita melewati jalan ini untuk yang terakhir, atau untuk waktu yang lama. Sepertinya ada kenangan panjang dengan Durian 3 bagi Indra. Indra akan kembali lagi ke Berau pada akhir Oktober, saat itu ia hanya menemani saya pulang dan membantu menyetir, mungkin sebagai bentuk balas budi atau semacamnya. Sedih juga, karena selama ini Indra yang menjadi teman ngobrol, dialah satu-satu teman yang masih sama atau tidak berubah, setelah dihantam perubahan-perubahan, atau boleh disebut setelah hal-hal yang tersembunyi muncul di permukaan. 


Kami melewati perbatasan kota kecamatan, dan menyeberang ke kecamatan Teluk Bayur, suasana masih seperti suasana jalan-jalan pinggiran Tanjung Redeb, jejeran toko dan rumah toko (ruko), kadang-kadang diselingi perkebunan sawit, kadang juga alang-alang, pohon-pohon tumbang_mungkin untuk persiapan kebun sawit yang baru, lalu desa-desa kecil, dengan rumah jarang-jarang. Pukul 08.30 wita, kami singgah sarapan di sebuah desa kecil, sepertinya wilayah labanan. Ahimsa, terlihat lemas dan tertidur di kursi tengah, kepalanya sandar pada bantal. Ia kelelahan lantaran kurang tidur juga semalam. Dalam perjalanan, ia lebih banyak tidur. Sementara Ashim Swadeshi terlihat menikmati perjalanan. Kesempatan untuk bergoyang-goyang di mobil serasa di ayun, sembari terus menerus menyusu pada mama'nya. 


Saya tertidur sewaktu melintasi jalanan rusak di sekitar Marasa, mobil menjadi lambat dan terbangun dan tertidur, bangun dan tidur, sebentar-sebentar. Melihat alam di kiri dan kanan berupa hamparan hutan hujan, yang bagian jauhnya berupa bukit-bukit berhutan. Menurut Ami, istri saya, ia agak bosan dengan jalanan panjang melewati Kecamatan Kelay ini, mungkin ada sekitar 3 jam hanya menyusuri satu kecamatan, yaitu Kelay. Cuma, kebosanannya ini sedikit terobati dengan terlihatnya anak Orang Utan yang menggantungkan kedua tangannya di pohon pinggir jalan. Mobil Indra hentikan, untuk melihat lebih dekat Orang Utan itu, tapi ia dengan tangkas menjauh. Kemunculan Orang Utan itu barangkali adalah hadiah bagi kami, agar tak begitu bersedih hati, alam Kalimantan masih memberi restu, minimal ucapan selamat pulang kembali ke Kampung, meninggalkan alam Kalimantan. 


Terlihat dari jauh, kawasan kars Merabu, terlihat kokoh keabu-abuan, memanjang seperti terapeseum sama kaki. Kata orang, kawasan ini adalah kawasan indah di Berau, memperlihatkan pemandangan alam luas, batu besar yang terdapat goa-goa besar di dalamnya. Dalam goa juga ada lukisan tapak-tapak tangan, dan mungkin saja ada banyak hewan aneh dalamnya. Saya pun membayangkan kampung halaman di Maros, yang juga terkenal dengan alam kars-nya, serta hutan-taman nasional dan air terjunnya. Di Maros sudah menjadi tempat wisata, dengan penyewaan perahu melintasi sungai dengan jalur-jalur perbukitan kars. Tentunya, jika diamati dari jauh, kawasan Merabu ini tampaknya lebih megah pemandangan alamnya dibandingkan di Maros. Sebelumnya, pada September saya bersama keluarga juga berwisata di sungai desa Marasa, seru betul, kami menumpangi perahu bersama tim WWF Berau, menyusuri sungai dan berada di dekat tebing-tebing kars. Kami begitu senang saat itu, melihat sungai dan tebing membuat kami kembali bersemangat. Setelah hari-hari yang tampak sulit di Tanjung Redeb, saban hari menghabiskan waktu di warung kopi, membaca data, menulis cerita, dengan begitu banyak kejengkelan-kejengkelan. Tapi, kejengkelan ini lebih tepatnya sebagai ujian hidup. Sebab, hidup ini lebih pada penentuan pilihan. Saya memilih untuk berjuang sesuai dengan konsep-konsep kebenaran yang telah saya bangun, jika terlalu jauh bergeser saya tampaknya tak dapat mentolerir. 


Kami tiba di Wahau, kecamatan dari Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Pukul 13.00 wita, kami singgah di Warung Makan Sorti, Wahau. Kami memesan mie ayam pangsit, menurut penilaian saya dan istri, mie ayam ini cukup enak. Kami betul-betul menikmatinya. Rasa capek dalam perjalanan terlonggarkan di warung makan ini. Ahimsa tak begitu makan, ia hanya menghabiskan satu botol susu beruang. Saya dan Indra berfoto berdua, Saya pun memotret Ami dan Ahimsa yang sedang makan. Di wajah mereka tampak kelegaan, rona bahagia, di balik penat. 




Kami pun melanjutkan perjalanan, dalam perjalanan itu kami begitu banyak menemukan burung jalak di pinggir-pinggir jalan. Melewati kota Wahau, sepanjang jalan berjejer kebun-kebun sawit. Mungkin saja burung-burung ini memperoleh tempat hidup di sekitar kebun sawit. Jalak sebagai hewan pemakan serangga barangkali dapat bersimbiosis mutualisme dengan tanaman sawit, yang rentan terserang hama ulat. 


Jalanan panjang membelah daratan menuju kota Sangatta, ibukota Kabupaten Kutim. Jalanan lumayan bagus, hingga mendekati kota Sangatta, terdapat sedikit jalanan rusak. Pada area ini kami melihat cukup banyak kawasan tambang batu bara. Persoalan perkebunan sawit dan tambang batu bara ini boleh dikata begitu kompleks. Kita tak dapat menolaknya begitu saja, melihat cukup banyak tenaga pekerja yang diserap, dan melihat bukti sejarah seperti apa pertambangan telah bertahun-tahun membangun kota dan menghidupi sekian banyak orang. Hanya saja, pihak perusahaan harus betul-betul bertanggungjawab dalam penanganan kerusakan, menyisihkan sebagian anggaran untuk perbaikan lingkungan dan itu tidak sekadar lip service begitu saja, harus disertai kesungguhan. Pun orang yang terlibat dalam penanganan dana perusahaan untuk perbaikan lingkungan ini pun harus orang yang benar, bukan orang yang memanfaatkan program itu hanya untuk cari duit semata. 


Pukul 18.30 kami tiba di Sangatta, kami pun singgah di toko alfamart, untuk membeli roti pengganjal lapar dan popok untuk swadeshi. Tak lama lagi kami tiba di Bontang, di sana sudah menunggu kawan lama saya yang bernama Ariel. Dua jam kemudian kami tiba di Bontang. Ariel ternyata sudah memesankan satu kamar untuk nginap di Guess House Omah Ijo. Wah, terimakasih Om Ariel atas kebaikannya. Hal ini sedikit memudahkan saya, sebab, saat itu saya betul-betul mengalami keterbatasan anggaran. Ongkos untuk balik ke Makassar ini boleh dikata besar, ganti ban dan servis mobil, biaya bensin dan makan dalam perjalanan, belum lagi tiket kapal Balikpapan-Pare Pare. Setelah dihitung-hitung jumlah dana yang tergunakan selama perjalanan 15 Oktober - 19 Oktober 2022 ada sekitar tujuh juta rupiah. Bantuan Om Ariel untuk biaya penginapan dan juga makan malam, disertai ngopi-ngopi cukup membantu.





Penginapan Omah Ijo kami bilang cukup murah, sekitar Rp. 250 ribu permalam, dengan fasilitas lengkap berupa kasur, meja, dan kamar mandi. Ahimsa dan Ashim cukup menikmati malam itu, dengan tertidur nyenyak. Apalagi pada malamnya sudah disuguhi makan yang nikmat, berupa ikan gamis bersambal gammi, ini adalah menu khas Bontang. Kota Bontang ini lebih ramai dibandingkan Tanjung Redeb, dan cukup banyak tempat-tempat cantik di kota ini. Hidangan makanan maupun kopi-nya sepertinya lumayan enak. Kami betul-betul menikmati es kopi di malam itu, sambil ngobrol-ngobrol lepas bersama Ariel. Mengenang kembali kehidupan lama kami di sebuah lsm kehutanan di Makassar, khususnya kehidupan di rumah sekretariatnya di jalan menuju Antang, Makassar. Ariel pun memberikan satu paket oleh-oleh khas Bontang, jadilah kami membawa dua pemberian oleh-oleh, satunya lagi dari kantor YKAN Berau. 

 Esoknya, pada 16 Oktober 2022, di hari minggu, kami pun menyiapkan diri bergerak ke arah Balikpapan. Kami memperkirakan tiba pada sore hari. Untuk itu, kami berkeliling-keliling dulu di Kota Bontang, melihat suasana kota yang ceria. Melihat kota sepertinya menghibur kami, mengingat cukup lamanya kami tinggal di kota kecil seperti Tanjung Redeb. Sekadar melihat toko-toko, cafe-cafe, tugu-tugu kota, juga keramaiannya, cukup memberi sekeping kebahagiaan bagi kami. Saat bergerak ke pinggiran kota, kami pun singgah sarapan pagi. Wah, beruntungnya kami mendapatkan sebuah warung coto, hidangan ini lain dibanding coto/konro yang sering kami nikmati di Tanjung Redeb, lebih enak, kuahnya lebih kuat beraroma, dan dagingnya lembut. Kami betul-betul bersyukur.

........

Bersambung....

       

 





Related Posts

0 komentar:

Pulang dari Berau