semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Melihat Ahimsa di Pantai

 Sabtu sore, 5 November 2022, Ahimsa menghadap ke laut. Saya tak tahu apa yang dia lihat, mungkin hamparan luas, mungkin laut serupa arena luncuran, beserta bukit-bukit sebagai tangga yang dapat ia daki.

Sebelumnya, ia menggaruk-garuk pasir, sedang menggambar gurita, dengan banyak sekali tentakel, mata besar dan mulut kecil. Ia pun mengumpulkan karang-karang yang patah, ia menyebutnya sekenanya sebagai karang otak dan karang kipas. Terus ia mencari dalam lubang-lubang, kumang-kumang kecil, yang berjalan di pasir, membentuk jalur serupa jalan ular.
Ia tengkurap, bertahan diantara buih dan ombak-ombak kecil. merayap dengan ketakutan, dan berdiri, melompat-lompat. Melihat tingkahnya kita merasa bahagia, begitu pula dirinya sendiri, yang menemukan laut sebagai sekeping surga.
Melihat Ahimsa di pantai, saya teringat cerita Goenawan Mohamad tentang Sjahrir di Pantai. Ia melatih raganya dengan berenang, bermain dengan anak-anak, melatih anak-anak banda dengan lagu Indonesia Raya. Ketika masih di Boven Digul, dia melintas-lintasi sungai. Sampai ada kecelakaan fatal akibat buaya, Sjahrir hanya berenang di tempat yang aman.
Dari buku Rudolf Mrazek, Sjahrir melatih tubuh mudanya, yang saat itu ia masih berusia 25 tahun, tapi sudah menjadi interniran bersama puluhan tahanan politik Hindia Belanda terlebih dahulu akibat pemberontakan kaum komunis pada 1926. Sharir dibuang di Digul dan kemudian di Banda, karena politik antikerjasamanya dalam Pendidikan Baru (PNI Pendidikan), bersama rekannya yang lebih tua, Moh. Hatta.
Berbeda dengan Moh. Hatta, yang mengisi waktunya dengan membaca dan menulis tema politik, Sharir menghabiskan waktunya bermain bersama anak-anak, keluyuran bertemu tapol-tapol lain, yang cuma sebentar-sebentar, ia terus bergerak, berjalan. Agenda rutinnya lebih berupa menulis surat kepada Maria, istri Belandanya, yang juga mantan istri teman Belandanya.
Kedua, saya membayangkan masa kecil Sylvia Earle, oceanographer, ahli tanaman laut yang fenomenal. Dari National Geografic dijelaskan bahwa Sylvia sudah menghabiskan 7000 jam di bawah laut. Ia memiliki pemikiran radikal terhadap laut. Menentang keras praktik-praktik penangkapan yang berlebihan, perusakan terumbu karang yang dalam rentang waktu 60 tahun begitu drastis, yang ia bilang hanya dalam masa hidupnya lebih dari seperdua karang dunia hancur. Terlalu banyak kepingan yang hilang, "kita kehilangan kepingan/keragaman hayati begitu saja, dan kita tidak tahu cara memasang kepingan itu lagi," katanya dalam film dokumenter, Mission Blue.
Seorang mewawancarainya dan bertanya, "apakah bisa diceritakan kenapa Sylvia begitu tertarik dengan lautan?" Sewaktu kecil, Sylvia tinggal dekat dengan hutan di New Jersey, ia dibebaskan oleh kedua orang tuanya untuk berada seharian dalam hutan, dan hanya bermain, sering kali sendirian. Saat berusia 12 tahun, bersama orang tuanya ia pindah ke Florida, awalnya ia tak begitu suka, lantaran sangat menyukai tempat sebelumnya. Tapi teluk Meksiko Florida adalah laut yang luas, menjadi tempat mistis yang menarik kedua orang tua Sylvia.
Di pantai itu, Sylvia kembali bermain, menyentuh air dan pasir, dan melihat rumput laut yang dibawa air ke pantai, seperti pergi ke taman satwa. Dalam dokumenter itu, Sylvia muda mengorek-ngorek batu, mencari kepiting-kepiting kecil, lalu melepaskannya ke laut, hingga terpungkang-pungkang.
Ketika tumpahan minyak berlangsung di laut, Sylvia di garis terdepan, dengan lugas menyatakan bahwa kita habiskan miliaran untuk membawa kita ke angkasa, tapi kita mengabaikan lautan, dan sangat merugikan kita. Dia tak takut menyalahkan institusi-institusi yang mestinya bertanggungjawab, James Cameron menyebutnya Joan of Arch-nya lautan.
Saat ini, saya bekerja di bidang perikanan pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah kab. Alor, di bawah lembaga WWF Indonesia. Mendampingi pembudidaya rumput laut dan nelayan. Kawasan konservasi laut ini, atau dikenal dalam bahasa Inggris adalah Marine Protected Area (MPA). Sylvia Earle adalah yang pertama tama menggagas MPA, yang ia sebut sebagai sebuah misi, Mission Blue. 'Melindungi lautan dengan cara yang sama dengan melindungi daratan'. Pada tahun 1872, Amerika sudah membentuk sistem taman, yang katanya sebagai ide terbaik amerika.
Dalam ceramahnya disebutkan bahwa 12% daratan di seluruh dunia terlindungi, tapi hanya 1% dari lautan yang terlindungi di seluruh dunia. Dari situ, ia menggagas terlindunginya pula tempat-tempat yang masih dalam kategori baik kondisi karangnya, yang disebutnya sebagai loka harapan. Tujuan untuk harapan.
Dan, buih pemikiran Sylvia berlabuh di Alor, pada 16 Juni 2015 lalu, ditetapkan kawasan konservasi daerah dengan luas 27.669,345 hektar, dengan 13.108 hektar kawasan terumbu karang. Tugas kita adalah melindungi kawasan ini agar tetap baik dan berfungsi maksimal untuk menunjang keanekaragaman hayati di laut. Tentu, bersama nelayan dan juga petani rumput laut, yang tetap diberikan kebebasan dan wewenang untuk memanfaatkan lautnya.
Melihat Ahimsa di Pantai. Melihat ia mencari tudai dan bintang laut, yang ditemukan adalah kumang. Ia pun berceletuk ingin mencari gurita. Wah.. itu ada dalam laut.. Potongan-potongan karang mati yang ditemukannya itu dibawa pulang, dicucinya lagi di kamar mandi, berlama-lama di kamar mandi. Sepertinya itu bak surga, surga bagi Ahimsa, dan bagi Earle.
Melihat Ahimsa di Pantai....








Related Posts

0 komentar:

Melihat Ahimsa di Pantai