Pada tanggal 15 Oktober 2022, kami melajukan mobil mengikuti jalur umum dari Bontang ke arah Kutai Kertanegara (Kuker). Sesekali masih terlihat hamparan kebun sawit, tapi sudah jarang-jarang. Yang terpikir saat melewati jalan panjang itu adalah kawasan tambang gas alam, dan juga pabrik pupuk kaltim. Sebab diketahui bahwa Bontang menjadi begitu kaya raya karena gas alam dan pabrik pupuk kimianya. Saya teringat dengang klub sepakbola yang mengenakan kaos Pupuk Kaltim, saya pun baru paham jika yang dimaksud adalah klub bola dari Kota Bontang.
Saya mengenang kembali landscape
kota Bontang yang berbukit-bukit dan terdapat dataran rendah, terlihat indah
jika kita mengendarai mobil untuk keluar dari kota, hamparan bukit-bukit hijau,
terlihat pula rumah-rumah yang agak tidak beraturan di dataran yang lebih
rendah. Sepertinya, tinggal di kota ini tak akan membuat warganya cepat bosan.
Jalanan ke arah kuker tidak
begitu buruk. Terlihat di kanan kiri jalan rumah-rumah panggung, sepertinya
dihuni oleh perantau keturunan Bugis-Makassar. Melihat suasana itu, terasa
berada di kampung Sulawesi saja. Saat kami singgah untuk membeli
bensin/pertalite botolan, saya menyempatkan bercakap-cakap, ternyata umumnya
penjualnya adalah orang Bugis, umumnya ditemukan antara orang Bone atau
Soppeng, ada juga yang dari Wajo, tiga daerah ini yang merantau banyak di
jazirah Kalimantan Timur.
Dalam perjalanan jalur
Bontang-Balikpapan, kami singgah sebentar di titik nol garis Khatulistiwa.
Berfoto-foto di sana. Lokasinya tak jauh di pinggir jalan, sepertinya berupa
bangunan baru. Kami lanjut lagi, melewati jalan berdebu di Muara Badak.
Berderet-deret mobil truk melintas perlahan, tidak saling mendahului. Mobil
menjadi begitu berdebu di jalan-jalan ini, hingga kami tiba di pinggiran kota
Samarinda. Jalanan sudah berupa jalan aspal, namun masih terdapat lubang-lubang
di jalanannya.
Masuk ke Kota Samarinda, suasana
pun menjadi lebih semarak, jalanan umum tak sepi kendaraan, rumah dan toko
berdempet-dempet. Kami putar-putar sebentar untuk mencari warung makan, mumpung
di Samarinda, kami mencari makanan khas Kalimantan, yaitu ikan patin bakar. Akhirnya
kami santap siang di Rumah Makan Anna, Jalan Diponegoro, Samarinda. Ternyata,
ikan patin yang dibakar berukuran besar, sehingga, satu potong bagian tengahnya
saja sudah menutupi satu piring. Menurut Mama’nya Ahimsa, ikannya enak banget,
lahap ia memakan ikan patin. Menurutku, ikan patin bakar ini masih kalah enak
dibanding ikan patin di warung-warung ikan Kota Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Tiba-tiba saja saya teringat rasa ikan patin bakar Banjarmasin, dahulu
beberapa kali menyantapnya saat penelitian tingkat sarjana di Kalimantan
Selatan.
Jam menunjukkan pukul 14.00 wita,
perjalanan Samarinda-Balikpapan tidak begitu lama, mungkin sekitar 2 jam saja.
Sehingga, kami mutar-mutar dulu di Kota Samarinda. Melihat aktivitas kota,
toko-toko, mall-mall-nya dari dalam mobil/jalanan. Melewati jalan-jalan
Samarinda, saya mengenang pada Mei 2019, Saya bersama Kak Asdar Marzuki melakukan
pelatihan kepada kelompok pembudidaya udang di Muara Pantuan, Kutai
Kertanegara. Kami menginap di hotel Aston Samarinda yang difasilitasi oleh
program pendanaan sosial Bank Indonesia Kalimantan Timur. Saat itu, saya
menyempatkan diri ngobrol di warung kopi dengan Ulla Mappatang dari Studi
Sastra Universitas Mulawarman. Ulla banyak bercerita mengenai sejarah dan
peranan perantau Bugis di Kutai Kertanegara, saya mendengarnya begitu saja,
karena merupakan hal baru bagi saya.
Mobil melewati jembatan panjang
Mahkota 2, menyaksikan sungai yang begitu lebar, sungai ini sepertinya sungai
Mahakam, saya pun teringat sungai Segah di Kabupaten Berau, tempat saya
melintasinya selalu setiap kunjungan lapangan ke kawasan tambak di Kawasan
tambak muara sungai Desa Pegat Batumbuk, Kecamatan Kepulauan Derawan, Kab.
Berau. Di sungai itu, saya melihat-lihat sekeliling, berjejer mangrove jenis
Sonneratia, pohon nipah berjejer tak henti, anak-anak bekantan bertengger di
cabang-cabang pohon perangat/pedada/sonneratia, ribuan kalelawar berterbangan,
hingga peristiwa naas terbakarnya mesin kapal katinting, yang sempat
mengistirahatkan saya dari aktivitas pemberdayaan selama hampir satu bulan.
Kami memasuki jalan tol
Samarinda-Balikpapan, menempuh waktu sekitar 1 jam 30 menit. Terlihat luas
lanskap Samarinda dan Balikpapan berupa pepohonan yang sudah jarang-jarang,
atau barangkali sudah merupakan hutan sekunder, terdapat pula beberapa rumah
dan bangunan terlihat dari jalan tol.
Memasuki kota Balikpapan, kami
langsung mencari pusat keramaian. Makanya, kami mengarahkan mobil ke salah satu
mall di Kota Balikpapan. Kami ke Pencacity, masuk ke dalamnya kami merasa betul
sebagai orang udik baru ke kota, mata saya berbinar-binar melihat pesona mall,
tapi segitu saja, saya Kembalikan lagi ke kesadaran diri, bahwa sepertinya
masuk ke mall ini hanya berupa untuk penormalan, atau penyesuaian kebiasaan
hidup, bahwa dulu waktu di Makassar, hal ini adalah biasa saja, atau masuk ke
mall adalah dalam rangka menormalkan pikiran bahwa kehidupan kota biasa saja.
Kami nongkrong di Koffie Batavia,
saya memesan es kopi susu, rasa ini memang enak, tapi kayaknya lebih enak es
kopi susu yang saya nikmati sewaktu di Bontang, tapi tak apalah, yang penting
sudah Kembali merasakannya lagi. Setelah dari Pentacity kami mencari penginapan
murah, kami pun menginap di The Luxe Guest House, semalamnya seharga Rp. 250
ribu, kasurnya lebih empuk dari Omah Ijo Bontang, hanya saja, malam itu Ahimsa
agak rewel, sehingga tidur menjadi kurang nyenyak.
Besoknya kami memanfaatkan waktu
untuk mencari satu spot wisata di Kota Balikpapan, sebab ternyata kami
diharuskan untuk menginap satu malam lagi, karena kapal very Kirana yang
dijadwalkan berangkat pada minggu malam itu, diundur menjadi berangkat senin
subuh, 17 Oktober 2022.
Sebelum ke penangkaran buaya, saya
mengunjungi rumah teman lama sewaktu SMA di Kab. Maros, yaitu Aisyah Mattaliu,
ia sudah lama menetap di Kota Balikpapan, sekitar 10 tahun. Asyah bersuamikan
Abdullah, juga kawan SMP dan SMA saya. Selama ini saya hanya memantau kehidupan
mereka melalui media sosial, seperti facebook. Senang rasanya melihat mereka
hidup bahagia di Balikpapan, memiliki tiga anak laki-laki. Juga mendengar
pendapat-pendapat Ica tentang saya dulu waktu SMA, serta cerita-ceritanya Ketika
pindah dari Poso ke Kabupaten Maros, ia ditempatkan di kelas 3G, kelas yang
jauh di bawah, berteman dengan anak-anak yang tidak begitu peduli pelajaran,
sehingga ia pun ranking 1 di kelas itu. Juga ceritanya waktu di kelas 2 SMA 1
Maros, ternyata saya pernah satu kelas, yaitu kelas 2 – 1, tapi kok saya lupa
ya.. sepertinya waktu di kelas 2, saya focus pada pertemanan laki-laki, tidak
begitu memperhatikan pergaualan teman-teman perempuan.
Kami pun berangkat ke Penangkaran Buaya, Kelurahan Teritip Balikpapan, perjalanan sekitar 1 jam dari kota. Sesampai di lokasi, kami pun memesan tiket, Rp. 20.000/orang. Kugendong Ahimsa melihat satu persatu kandang buaya, mulanya kami melihat ukuran buaya yang sedang, tapi di bagian tengah terdapat satu kolam beton yang terdapat buaya besar. Di sisi lain, terdapat kolam buatan berupa kolam tanah dengan rerumputan, di situ sedang mengintai satu ekor buaya besar, mungkin panjangnya ada 7 meter dengan lebar 1 meter lebih, jika di alam bebas, melihat buaya sebesar itu, kita pastinya sudah lari terbirit-birit. Terdapat pula kumpulan buaya yang sedang menanti penganan di kolam besar seluas lapangan upacara di kampung, di situ terdapat puluhan buaya yang sedang berendam, ada yang terbuka mulutnya, ada yang hanya kelihatan matanya saja. Saya pun berfikir, bagaimana jadinya jika saja dinding tembok kolam buaya ini jebol, pasti kami akan terterkam buaya. Ngeri membayangkannya.
Setelah puas mengamati buaya, kami duduk-duduk di teras balairung, kebetulan hujan turun, jadi gajah yang kami lihat sekenanya saja itu mengampiri balairung. Kami foto-foto dengannya. Gajah ini masih berusia 17 tahun, Namanya Evi. Kata pawangnya, Evi lahir di penangkaran buaya tersebut, dahulu induknya didatangkan dari Lampung. Beberapa hari kemudian, Ahimsa ditanya oleh seorang teman, siapa nama gajah itu, dia masih mengingat Namanya, Ahimsa menyebut : Epi. Hahaha..
Sekembali dari penangkaran buaya,
kami singgah makan siang walaupun sudah sore di Rumah Makan Torani. Ini karena
Ahimsa request makan ikan bakar, maka kami pun mencari rumah makan
seafood, kami mutar-mutar di kota Balikpapan, salah belok di jalanan utama,
dapat menyebabkan memutari jalanan cukup jauh. Di Torani, kami memesan kerang saos
asam, kacang panjang telur asin, dan ikan baronang bakar. Juara pavorit pun
jatuh di kerrang saos asam, Ami/istriku, tak habis-habisnya menikmati teguk
perteguk sajian kerang itu. Hingga kini sepertinya ia masih mengingat rasa dari
kerang itu. Mungkin karena cara masaknya atau mungkin karena kesegarannya.
Sepertinya, Kota Balikpapan menumpahkan cita rasa makanannya pada jenis-jenis
seafood. Ahimsa pun terlihat lahap memakan ikan bakar, sebelum-sebelumnya ia
agak kurang bernafsu untuk makan, alhamdulillah kala itu ia makan dengan sangat
berminat.
Setelah makan, kami kembali mencari
penginapan murah untuk hari kedua, kami istirahat cukup nyenyak pada hari kedua
di Balikpapan. Subuh, pukul 04.00 wita, kami sudah bergerak ke pelabuhan, mobil
pun dengan segera masuk ke dalam kapal Feri Kirana sekitar pukul 05.00 wita.
Kami adalah mobil pertama yang masuk ke dalam kapal, dan pertama pula yang
masuk ke dek kapal, untuk memilih Kasur tempat kami berbaring. Kami pun
mengambil kasur bawah berderet 4. Ahimsa pun dapat bermain-main dengan adiknya
di kasur itu. Di kapal kami sesekali berkeliling, melihat laut lepas dan
nongkrong di café kapal, malam hari kami menonton sajian karaoke, kami pun
sedikit menikmati kehidupan dalam kapal.
0 komentar:
Posting Komentar