Sejak tiba di nusa kenari pada Jumat pagi, 28 Oktober 2022, tubuh seperti dibaluti selapis demi selapis rasa haru. Akal tak dapat menjawab ini, emosi melebur-lebur, lapangan di dalam dada pun dibanjiri rasa damai. Mungkin saja dari laut berarus rendah yang berwarna biru muda dan tertumbuk pada tepi bukit, ataupun pada tepi pulau-pulau bak Pulau Ternate yang menjulang Gunung Gamalama.
Seperti air terjun Pindai, yang mengalir terus tak habis-habis, saya pun dibuat yakin kalau-kalau keindahan alam dapat menimbulkan efek drama pada jiwa kita. Aroma teluk ini membuat kita menjadi sedikit melankoli atau bagi kebanyakan orang Alor sendiri terlihat begitu bergairah. Entah mereka menyadari itu atau tidak. Atau itu hanya efek penambah dari kuatnya warisan kekerabatan sosial, yang sudah ditata, ditetak, diatur, agar semua orang memperoleh tempat, saling berbagi, dan hidup harmoni.
Efek halusinasi ini belum reda, seperti sakit flu yang tidak sembuh-sembuh. Hidungku meler, jika boleh dibilang telah mengeluarkan darah karena bahagia. Apakah ini akan berakhir? Saya tidak tahu, saya ingin menikmati ini dari hari ke hari, detik ke detik, saat saya mengendari motor dari rumah di dekat pantai di Kadelang menuju kantor di jl Dahlia, sedikit melewati kota, saya melewati jalan di dekat laut, melihat air yang sedang surut ataupun sedang pasang. Ketika sedang surut, tampak mama-mama mencari kerang-kerang ataupun ikan yang terdampar di pulau-pulau air, terperangkap di antara batu, ketika pasang, memori terkenang akan suasana pantai Losari tahun 1990-an, yang boleh dikata lebih cantik lagi dari memori itu.
Saya pun membaca lagi kisah Sjahrir, yang terperangkap rasa kagum dengan indahnya lautan bagian timur negeri ini. Revolusioner muda itu, yang baru saja pulang dari Amsterdam dibuang ke Boven Digoel, dalam perjalanan ia menulis catatan, “kadang-kadang warna agak muda dan tembus cahaya bagiakan induk mutiara, kadang-kadang biru yang sangat tua, selalu indah murni – pulau-pulau putih dan hijau, berbaring begitu rapi, terhampar di laut yang biru, bermandikan sinar surya keemasan, dan kadang-kadang berwarna perak.”
Pulau ini tak hanya terkenal akan keindahannya, tapi juga oleh keramahannya. Tak begitu sulit kami memperoleh rasa akrab dengan orang-orang Alor. Ketika kami mencari rumah kontrakan, penduduk lokal membantu kami menunjukkan jalan menelusuri dari Lorong ke lorong, hingga ketemu rumah yang dianggap cocok. Kami pun dipanggil paman dan bibi, yang bagi kami itu sapaan yang manis.
Pada 27 November 2022, sebulan kami di negeri seribu moko ini. Bagi saya yang sedikit sulit akrab, menjadi gampang bersosialisasi dengan penduduk-penduduk lokal, seperti nelayan dan pembudidaya rumput laut. Karakter mereka yang blak-blakan, jujur, tampak tegas, tapi selalu diselipi humor, menjadi bumbu-bumbu dalam komunikasi kami. Apalagi saat ini mereka sedang diselimuti awan gelap, dimana nasib lagi tak menentu, hasil-hasil rumput laut mereka tak terjual atau boleh dikata mungkin sebagai sejenis perlawanan kecil, dengan menampung begitu saja hasil rumput laut, sampai ketemu dengan harga yang cocok. Tentang pembatasan pasar ini, mereka protes keras, tapi, mereka harus melanjutkan hidup, sebab sebagai warga, mau tak mau mereka terpaksa sementara ini ikut arus. Dayung-dayung, senar-senar dan mata pancing, harus ditembusi lagi dengan potongan belo-belo (ikan layang), agar dapat tertangkap kerapu ataukah kakap. Dari situ, mereka sedikit bisa menutupi kebutuhan hidup.
Pada sebulan ini kami menempati satu rumah kecil dari bahan batako, plesternya kurang sempurna. Ketika kami menggoreskan tangan kami ke dinding, pasir-pasirnya akan berjatuhan. Kami harus hati-hati memaku dinding rumah, sebab potensi retak cukup besar. Rumah kami tak ada plafon, jadi lantai rumah kami langsung berhadapan dengan atap seng, yang pada siang hari, jika tak ada angin yang menyelip melewati batas dinding rumah bagian atas, maka terik itu menghangatkan rumah. Karena itu, membuat kami biasa berjalan-jalan di siang hari, sembari duduk-duduk di bangku-bangku menghadap ke pantai, sembari menyeruput es kelapa muda. Pada saat-saat itu pula kita bisa menyaksikan pertarungan paman-paman dalam bermain catur, berserta komentar-komentar kocaknya.
Di depan rumah kami, terdapat halaman luas, boleh dikata halaman, boleh pula dikata jalur umum, tempat orang jalan kaki melintas. Di situ, anak-anak bermain lempar batu dan bekejar-kejaran, di situ juga Ahimsa menggali-gali pasir, membuat bangunan-bangunan dari batu. Di halaman itu pula istri saya biasa bercanda dengan tetangga rumah, cerita keseruan anak-anak sekitar rumah. Sedangkan, di dalam kamar rumah yang berisi lemari buku, sebuah meja dan kursi, yang jendelanya menghadap ke halaman depan, saya biasa duduk-duduk, membaca catatan-catatan, dan sesekali berbaring melihat jejeran foto-foto.
Hanya saja, kami pun harus sedikit bersabar pada beberapa hal. Pertama, anak kami terbiasa dengan kamar tidur ber-AC, sejak tinggal lama di rumah kami di Kabupaten Maros, terpaksa menggunakan kipas angin saja. Kedua, nyamuk di sini lumayan banyak. Ketiga, kami sebenarnya merindukan makanan-makanan Makassar
Di Alor, kami tak mendapatkan coto dan konro sesuai selera kami. Tak ada sop lidah, tak ada mie titi, tidak ditemukan pisang ijo, dan tak ada warung kopi yang enak.

Tapi, karena itu pula, barangkali, hidup menjadi lebih sehat, sebab, jadwal ngopi tentu berkurang, di Alor ini terpaksa saya membuat kopi sendiri, itu pun kopi hitam. Makanan lebih alami, karena bahan baku dibeli sendiri di pasar, apalagi ikan-ikan di sini jauh lebih segar. Di sini juga istri saya belajar tawaddhu menggunakan kompor minyak. Sebab, ternyata kompor minyak masih sangat populer di kota ini, dan tak ada gas 3 kilo dijual di toko-toko. Saya pun mulai sesekali memasak, jika istri tampak kerepotan.
Begitulah sementara hidup kami di Alor, dalam sebulan, semoga kami tetap bahagia di sini.
0 komentar:
Posting Komentar