Beberapa hari kami berharap bertemu, tapi kejadian baru pada kemarin, 3 November 2022. Zakarias Atapada / Mobi Pada atau biasa kita panggil Om zaka tiba di Homestay Cantik atau biasa kami bilang kantor pada pukul 11.30 wita. Saat itu, saya masih mendengar berita dari manajemen pusat kelautan organisasi WWF Indonesia, seputar keuangan dan aset. Terpaksa kami ngobrol putus-putus, lantaran tetap harus mendengarkan arahan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Om Zaka membawakan saya dua bungkus kopi, berasal dari kampungnya sendiri, Atengmelang, pada ketinggian 745 mdpl, Desa Lembur Tengah, Kec. Alor Tengah Utara, Kab. Alor. Kopi ini jenis robusta, yang kata om Zaka dikelola secara organik.
“Walaupun sudah tidak di WWF, saya tetap mempraktikkan prinsip-prinsip lingkungan. Kopi ini tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia”.
Sejak 2020 ia tertarik untuk menggeluti dunia kopi, saat itu ia masih aktif di program sosial WWF, ia melakukan pengorganisasian petani agar melakukan manajemen produksi. Sebelumnya kopi di kampungnya hanya utuk kebutuhan sehari-hari, petani menanam kopi untuk kebutuhan keluarga, kalaupun ada lebih, dijual seadanya ke pasar lokal.
Kopi pun sebenarnya bukan komoditas utama di kampungnya, sebab terdapat komoditas yang lebih mahal, yaitu vanili, sehingga warga membabat kopi karena dianggap mengganggu tumbuhnya vanili.
“Para petani ke pasar membawa kopi, dan di pasar mereka membeli kopi lain untuk dibawa pulang ke kampung. Saya mengajak masyarakat untuk mempertahankan stok kopi di kampung agar tidak kurang,” ujarnya lagi.
Saat ini ia telah mengembangkan produk kemasan,ada yang porsi 200 gram dan ada yang 500 gram, ada bungkus krem dan ada bungkus hitam. Saya membeli dua bungkus berwarna hitam. Di Kantor, setiap hari pun kami menyeruput kopi dari Om Zaka ini, menemani jam-jam sibuk kami mendengar berita/meeting ataupun mengetik perencanaan ataupun laporan, atau sekadar mencari-cari informasi. Lidah dan langit-langitku sudah merasa nyaman dengan rasa kopi Atengmelang ini.
Saya mendukung usaha Om Zaka dalam mempopulerkan kopi ALor, sebab, setelah seminggu di Alor, saya belum menemukan satu tempat ngopi yang enak di Alor, padahal suasana Kota Alor sangat kondusif untuk kita berimajinasi berada di suatu tempat, yang indah, dengan hamparan bukit-bukit hijau, dengan teluk serupa danau di depan kita. Maklum, insting kota saya, kebetulan lama di Makassar selalu kepengen dunia yang indah harus disertai rasa yang indah, baik itu kopi maupun makanan/penganan.
“Rencananya, saya bersama teman-teman akan membangun warkop/cafee di Kota Kalabahi,” ujar Zaka. Wah, sangat senang mendengarnya.
Waktu menunjukkan pukul 13.00 wita, kami masih di kantor, dan meeting belum usai. Om saka akan Kembali ke kampungnya pada pukul 15.00 wita, mengingat jalanan masih ada yang rusak, sehingga dapat ditempuh 1 jam setengah atau 2 jam, dan lampu motornya kurang bagus. Puji Tuhan, pukul 13.30 wita rapat usai, kami pun bergeser ke tempat yang lebih kondusif untuk ngobrol, yaitu Mama Resto, dia tiba lebih dulu karena saya harus membelikan istri dan anak makanan siang dan membawa ke penginapan, lalu menyusul om Zaka ke Mama Resto.
Di tempat itu, sambil memandang air teluk yang diam dan bukit menjulang, Om Zaka bertutur banyak. “Om Idham, saya kenal Om, Saya tidak bisa bicara terlalu banyak, tapi saya ingin mengatakan bahwa pendampingan itu membutuhkan waktu yang panjang, harus selalu untuk bertemu dan bersama mereka, biarkan mereka mempercayai kita dulu, bahwa kita ini berada di pihak mereka. Biarkan Bapak-Ibu itu memanganggap kita sebagai anak, tidak lagi memanggil kita sebagai Pak”.
Om Zaka saya kira melakoni pendampingan sesuai dengan ungkapannya, yaitu mendampingi dengan hati. Ia belakangan ini sering dicari-cari warga dampingan, karena tidak pernah lagi muncul.
Dulu, Om Zaka sering menjadi tempat curahan hati warga dampingannya, “Kita dengar saja yang positif-positifnya, yang negatifnya tidak usah di simpan,” katanya. Tambahnya lagi, dalam pendampingan itu, sebaiknya berangkat dari inisiatif mereka, kita memancing saja. Kelompok, komunitas, ataupun kita sering sebutnya program itu adalah milik mereka, bukan sekadar milik organisasi pendamping. Dan tindak keberhasilan kita jika mereka melakukan pengembangan organisasi secara mandiri.
Pada 2021 lalu, Om Zaka diundang ke Jakarta, oleh Kementerian Sosial RI, saat itu ia memperoleh penghargaan karena telah mengembangkan komunitas GESER (Gerakan Seribu Rupiah) di Kabupaten Alor. Melalui gerakan yang ia inisiasi melalui media sosial facebook, dengan menjalin komunikasi dengan kawan-kawan, menjelaskan persoalan-persoalan utama di masyarakat, akhirnya banyak pihak yang tergugah. Warga Alor pun menyumbang ke komunitas GESER semampunya. Tak disangka-sangka, program ini menggugah banyak orang, sebagai wadah penyaluran bantuan.
Jumlah dana disebut dengan jelas di media sosial, donator-donatur dan jumlah dana yang disalurkan juga disebut. “Di GESER tak ada ketua, yang ada adalah kordinator, dan kordinator di desa-desa, semua terlibat. Ini yang kita sebut gotong royong. Bukan gotong royong dalam artian sempit seperti kerja bakti. Tapi gotong royong, dalam bentuk sumbang ide-gagasan, sumbang tenaga, sumbang dana, dimana setiap orang bisa terlibat,” Om Zaka menjelaskan.
Bahkan, komunitas Geser ini pernah dilirik oleh Kick Andy, dan menyarakan terbentuknya Yayasan, hanya saja Om Zaka tidak setuju, sebab, jika sudah dalam bentuk yayasan, nanti orang-orang yang mau menyumbang seribu atau sepuluh ribu akan malu menyumbang. Padahal, inti dari program ini adalah wadah bagi orang yang ingin memberikan bantuan, siapa pun dan seberapa pun itu.
Sepertinya, tak habis-habis cerita Om Zaka, waktu sudah menunjukkan pukul 15.16 wita, nasi dan kuah ikan sudah habis di meja, tersisa satu potong kecil ikan goreng tepung sambal, saya pun meliriknya, namun sudah kekenyangan. Om Zaka minta izin pulang, katanya, nanti dua atau tiga hari lagi dia ke Kalabahi dan dapat bertemu lagi.
Saya pun bilang ke Om Zaka, Om, jika saya minta bantuan, tolong dibantu, saya membutuhkan ide dan pandangan Om Zaka untuk mendorong kembali Perikanan Alor dan mungkin Nusa Tenggara Timur.
0 komentar:
Posting Komentar