semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Manusia Laut dan Manusia Gunung

 Berlama-lama di Alor, sepertinya tak menimbulkan rasa bosan. Selalu saja ada yang memanggil-manggil untuk digali, baik berupa kekhasan alamnya, problematika kehidupan masyarakat pesisirnya, tentu juga dengan cerita-cerita rakyatnya, yang seakan-akan hidup dari mulut-mulut orang.

Saya bertemu dengan beberapa orang yang cerita rakyat dan cerita hidupnya bertaut, seperti simpul tali yang kadang longgar dan kadang terikat mati. Perbincangan ke arah folklore selalu tak disengaja. Misalnya waktu diskusi dengan Husein, sesepuh nelayan Kokar, yang juga mantan ketua Kelompok Beringin Jaya, yang lama terorganisir bersama program Yayasan WWF Indonesia pada Jumat, 18 November 2022. “Kami ini orang Alor Kecil adalah keturunan orang laut. Banyak hantu-hantu di laut. Hantu-hantu itu menjaga kami jika kami melaut. Pernah dulu ketika kami kecelakaan di laut, saya Cuma memegang air, ikan lumba-lumba dan paus datang menolong,” kata Husein.
Saya mendengarnya terkesima. Sepertinya hubungan Husein dan penghuni laut begitu dekat, sehingga ia dengan mudah memanggil teman-teman lautnya, yang menurutnya adalah leluhur-leluhurnya di laut. Ia pun menyebut sebuah nama ratu penghuni laut, Bernama Nining Eko Sari, penguasa laut yang bermarkas di perairan belakang Pulau Kepa, pulau yang berhadapan dengan kampung Alor Kecil. Dulu memang, Alor Kecil sebagai pusat kerajaan Alor, yang kemudian bergeser ke Kalabahi. Jadi boleh dikata, Alor Kecil ini sebagai kota tua di Pulau Alor.
Saya pun menimpalinya, “Apakah ini ada hubungannya dengan Nyi Roro Kidul?” Nah, menurut Husein, Nining ini adalah saudara atau ada hubungan dengan Nyi Roro Kidul. Katanya, Nining memiliki mahkota dan busananya seperti busana putri-putri raja. Saya pun memperlihatkan foto Nyi Roro Kidul yang sudah direstorasi, iya tak begitu tertarik, kemudian saya perlihatkan lagi foto Ken Dedes yang sudah direstorasi, “Nah ini, dia ada mahkotanya juga”.
Cerita Nining Eko Sari sepertinya meresap cukup dalam di kebudayaan penduduk Alor Kecil. Ceritanya seperti sudah di luar kepala, sebab selalu dipentaskan di tingkat sekolah dasar. Nama sekolahnya pun menjadi Sekolah Eko Sari. Kata Husein, Nining itu jelmaan dari ikan mulut panjang (ikan cendro-Tylosurus crocodilus). Ikan ini banyak ditemukan nelayan dalam jumlah melimpah. Pernah suatu waktu, saya melihat ikan ini dikemas dalam beberapa Styrofoam, untuk dikirim ke Kota Kupang.
Saya tidak tahu, apakah ini terkait, beberapa hari belakangan, saban sore menjelang magrib, ada beberapa hari saya sering memutar lagu/kidung Asmo Sejati yang menampilkan gambar-gambar Nyi Roro Kidul. Seperti mengalir perasaan tentram mendengar kidung itu.
Cerita tentang putri laut pun Kembali diceritakan oleh Zakarias, seorang pembudidaya rumput laut asal Kampung Aimoli, yang saya temui pada hari itu juga, ketika kami kebetulan bertemu dengannya di pinggir pantai, saat kami melihat-lihat pepohonan Sonneratia, Rhizophora dan Ceriops (jenis-jenis pepohonan mangrove). Ia tiba-tiba datang dari sisi yang lain, membawa bibit rumput laut. jadilah kami ngobrol-ngobrol lepas di bawah rindang pohon Kosambi.
“Dulu, saya hampir menikah dengan putri duyung. Suatu waktu saya bermimpi dijamu di kerajaan bawah laut. Saya bertemu dengan raja laut. ditanyalah saya, perempuan mana yang saya suka. Saya menunjuk putri raja, yang hitam manis. Saya diajak menikah di bawah laut, cuma saya menolak. Saya mau menikah di darat jika mau,” cerita Zakarias. Di situ banyak sekali hidangan, yang enak-enak di darat ada semua di situ, tapi Zakarias tidak makan. Jika ia cicip sedikit saja, mungkin saja ia akan bertahan dan tak kembali ke darat.
Tiba-tiba suatu siang, datang biawak tanpa ekor di kamarnya. Biawak itu mengeluarkan darah banyak di bantal. Kemudian, diangkatnya biawak itu keluar dan dibuangnya ke di rawa-rawa. Dalam mimpinya ia bertemu lagi sang Putri. Kata Sang Putri, wujud biawak itu adalah dirinya. Putri pun bertanya, kenapa kamu menolakku? Padahal saya sudah naik ke darat untuk menikah bersamamu. Zakarias tidak kehilangan akal. “Saya orang Kristen, tidak bisa menikah di rumah, harus menikah di gereja,” ujarnya.
Zakarias selamat saat itu, dia tak jadi menikah dengan putri duyung. Tapi, dalam ceritanya menambah gambaran mengenai suasana kerajaan bawah laut di perairan Aimoli.
Di Aimoli pula ditemukan satu buah moko/nekara berukuran besar, yang ditemukan melalui mimpi. Moko ini saya saksikan di Museum 1000 Moko yang bertempat di kantor Dinas Kebudayaan Kab. Alor di Kota Kalabahi. Moko adalah peralatan upacara yang digunakan pada masa perumdagian (zaman perunggu). Moko itu bertipe HEGER 1 ditemukan pada 20 Agustus 1972 oleh Simon J Oil Balol. Pada Sebagian nekara di museum itu, terdapat motif gajah dan katak, padahal gajah tak ada di Alor. Menurut keterangan petugas museum, benda-benda ini hasil barter dengan rempah-rempah berupa vanili, cengkeh, kenari, kemiri, kemungkinan yang membawa nekara ini adalah pedagang-pedagang dari negeri Vietnam dan Cina bagian selatan. Bukti keberadaan bangsa Cina juga ditemukan banyak porselin-porselin, serta adanya motif perahu bersimbol naga di Alor Kecil.
Di Aimoli, tepatnya di Tongke Lima saya menyaksikan tari gala soro khas suku Aboi, menurut keterangan seorang penarinya. Naskah lagu tarian itu baru saja ditemukan melalui mimpi. Jadi naskah lagu tari suku Aboi sempat lenyap dan tak ada orang yang paham. Baru beberapa tahun ini naskah itu ditemukan, jadi barulah lagu, model gerakan, dan makna lagu itu bisa dipelajari.
Saat itu, saya juga bertemu dengan Pak Pinder, dia adalah tukang urut yang sudah kemana-mana, seperti Kupang dan kota-kota di NTT yang lain. Pinder dapat mengobati luka patah tulang lebih cepat dari dokter. Saat pertemuan dengan nelayan Kokar terdapat kelakar, pemain bola yang cedera tidak dapat main, karena harus ke rumah sakit dulu, coba ke Pinder, langsung bisa main lagi.
Pinder membagi rumus-rumus bagi pasangan suami istri yang menginginkan anak perempuan. Tentang anak perempuan ini, saya tiba-tiba mengingat tukang instalasi listrik yang pada awal November lalu menambah stop kontak di rumah kami, Namanya Pak Daeng. Dia orang Alor asli, tapi nenek perempuannya adalah orang Bone, Sulawesi Selatan. Dia mengaku menikah hingga sembilan kali hanya karena mencari anak laki-laki. Tapi tidak dapat-dapat. Dari Sembilan istrinya itu, ia memperoleh 8 anak perempuan. Satu istri tak memiliki anak. Pak Daeng disuguhi kopi, masih ada sisa di kopi itu, “jangan biarkan anakmu minum ini sisa kopi, nanti dia pukul orang bisa pingsan,” serunya.
Di sisi lain, saya pun bertemu dengan Pak Darsono, di Desa Bana, ini adalah sosok lain dari Orang Alor, ceritanya bukan mistik, tapi terkait dengan kehidupan. Ia tumbuh dan besar di Bana, sebuah desa tempat nenek moyangnya hidup dari menanam jagung dan menangkap ikan. Sebelum aktif membudidayakan rumput laut, Darsono sempat merantau ke Malaysia. Kisah-kisah perantauannya inilah yang menjadi bumbu-bumbu cerita dan Kompas kehidupannya. Sewaktu di Bana, saya menginap di rumah beliau. Pada malam pertama saya terserang flu, mungkin karena kecapakean perjalanan jauh dari Baranusa ke Bana. Malam kedua saya minta dipijit oleh Pak Darsono. Jadi, kata Darsono, dalam hidup harus memegang tiga hal, yaitu kejujuran, kesabaran dan ketabahan. Jika itu dipegang teguh, selamatlah hidup. Aspek kejujuran ini begitu melekat, seperti di foto dinding yang menampilkan dirinya yang sedang berfose dan guntingan koran yang bertuliskan kejujuran dan kemuliaan. Saat ini ia dipercaya menjadi bendahara masjid, menjadi pengurus desa, dan di samping itu ia aktif menggerakkan arisan sekolah demi Pendidikan anak-anak pembudidaya rumput laut Desa Bana. Terhitung sudah 37 sarjana dari arisan sekolah/rumput laut.
Melihat Darsono, mendengar cerita Husein dan Sakariaz, saya pun mengingat Martin Takpala. Ia ahli cerita, bagi tamu-tamu yang penasaran di kampung adat takpala. Saat itu kami bengong saja di depan rumah-rumah adat, duduk bersila begitu. Pak Martin datang di samping kami dari kegiatan mengikat-ikat bambu atap rumah adat yang sedang direnovasi. Pak Martin menjelaskan konsep rumah Takpala yang bersusun empat, dimana lantai paling atas tempat menyimpan moko. Saya baru paham, ternyata di dalam atap rumput-rumput itu terdapat ruangan yang hangat, yang kalau malam penduduk dapat membuka baju sambil selonjor tidur beralaskan tikar. “Badan ini sehat bugar tidur di papan, justru kalau ketemu kapuk bisa sakit-sakit badan,” katanya. Konsep dia, badan jangan dikasih manja, tapi dilatih agar kuat. Hidup menyesuaikan dengan alam, memakan apa saja yang ada di sekitar kita. “Anak-anak dikasih makan jagung tumbuh dengan baik,” lanjutnya. Menurutnya, manusia dapat merubah alam, tapi, alam pun dapat merubah manusia.
Satu hal yang dapat disimpulkan bahwa masih banyak orang-orang Alor yang hidup bergantung dari alam, menjalankan betul etika alam. Sepanjang hidup mereka menghidup-hidupi alam, yang akhirnya alam juga menghidup-hidupi mereka. Itulah sebabnya, panggilan-panggilan alam, yang kita sebut mistik itu menjadi suatu yang lumrah di Alor. Tindakan berbau tanah dan beraroma garam.


Duduk-duduk dengan Zakarias

Bersama Martin Takpala di Kampung Adat Takpala




Related Posts

0 komentar:

Manusia Laut dan Manusia Gunung