semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Bercakap-cakap dengan Nurdin Gogo, Penjaga Alquran Tua di Alor Besar

 

Siang itu, Kamis, 12 Oktober 2023, saya hendak ke Desa Aimoli, berkenaan rencana pelatihan rumput laut pekan depan. Tapi, saat melintas di wilayah Alor Besar, saya meminta Yanto Zainudin untuk singgah sebentar di situs Alquran Tua. Kami pun berbelok ke kanan setelah pohon beringin besar dan jalan Lorong sebelum masjid.
 
Motor Supra X kami parkir di belakang masjid, di bawah pohon, lalu Yanto bilang Alquran tua ada di rumah dekat situ. Kami pun masuk, disambut hangat oleh Nurdin Gogo, yang ternyata sudah kenal baik dengan Yanto. Kami dipersilahkan duduk. Saya pun melihat foto-foto di ruang tamu, terdapat foto seorang yang sepertinya orang penting, “Itu Sultan Mudaffar Syah, Sultan Ternate,” Nurdin bilang.
 
Saya pun meletakkan rokok kretek 153, ia mengambilnya satu, lalu ia meminta istrinya untuk membuat kopi. Perbincangan pun dimulai. Mulanya, saya menjelaskan kalau saya dari Makassar, bertugas di Alor untuk mengurus perikanan, sudah hampir setahun. Nurdin menyambut kami ramah, sembari mengatakan pentingnya kita untuk bersilaturahmi. Lalu, Ia pun bertanya, apa arti Makassar? Dengan hati-hati Saya bilang, ada beberapa versi, pertama Ma’kasar, yang berarti orangnya agak kasar, kedua, pernah ada cerita tentang penampakan nabi di sana, yang dalam Bahasa Makassar, “Mangkassara ki nabiyya”.
 
Nurdin punya cerita versi lain, “Dulu, ada Ulama Bone ke Mekkah, Namanya Puang Labila (semoga tidak salah ingat), setiba di depan kabbah, kalau ia memiringkan songkoknya, miring pula kabbah itu. Jadi ulama di sana menyebut orang itu Makkahkasar, atau Makkah yang agak kasar,” jelasnya.
 
Dia mengatakan, dulu ia pernah bertemu keturunan langsungnya Kahar Muzakkar, tapi ia tak menyebutkan namanya. Menyambut informasi itu, saya bilang kalau paman saya meninggal bersama sepupunya karena berjuang bersama tentara Kahar di hutan Wajo. Kemudian, kampung ayah saya di salah satu desa di Wajo, dulu dibakar habis, karena sempat menjadi markas pasukan Kahar. Kubilang pula, kalau di dekat kampung saya, yaitu di Tosora, ada makam ulama besar, Namanya Syech Jamaluddin Akbar Al Husaini, darinya lahir para Wali di Tanah Jawa.
 
Lanjut cerita, ia mengeluarkan pernyataan kalau di Indonesia Timur banyak wali yang tidak menampakkan diri. Ia memberikan ilustrasi, kalau penduduk se Indonesia Timur ini dikumpulkan, maka akan sebanding dengan jumlah orang Jawa. “Para wali itu, tidak suka tinggal di kota, tapi mereka suka menetap di desa, yang lebih damai,” kata Nurdin. Di desa, barangkali mereka dapat berfikir jernih dan jauh dari maksiat.
 
Saya pun bertanya, “Kenapa Islam di Alor tidak menyebar secara merata di Tanah Alor, sementara di Makassar bisa tersebar hingga ke pelosok-pelosok, kecuali Tanah Toraja saja yang dapat dikristenkan oleh Belanda,” tanyaku.
 
“Penyebaran agama Islam di Tanah Alor dijalankan dengan damai dan tenang, orang masuk Islam tidak dengan terpaksa,” jawabnya. Saya pun mengerti, kalau hubungan antara Islam dan Kristen di Alor seperti saudara, karena tak ada paksaan bagi mereka untuk memeluk agama. Salah satu kunci dalam kehidupan menurut Nurdin, yaitu bersabar. Para pendahulu, para nabi melakoni sifat itu. Saya tiba-tiba tercenung, “mungkin selama ini saya kurang bersabar dan diminta untuk bersabar,” kataku dalam hati.
 
Dari situ, perbincangan berpilin, tentang pengalaman Nurdin Gogo berhadapan dengan orang-orang Islam yang mencoba menyebarkan agama Islam dengan ngotot. “Pernah ada tiga orang ustads datang ke rumah ini, yang ingin berbicara agama. Jadi saya mendengar ceramah mereka hingga selesai. Cuma, saya mengajukan satu pertanyaan, Apa hakikat dari kopi yang ada di meja ini? Tanyaku. Salah satu dari mereka menyebut gelas. Lantas, bagaimana dengan unsur kopi, air, gula, kenapa hanya disebut buatkan kopi?” jelasnya.
 
Diskusi mulai rumit. Kopi saya hirup pelan-pelan dan saya tatakkan di bahu jendela. Nurdin Gogo mulai mengajukan contoh-contoh tentang hakikat (keberadaan). Tentang unsur-unsur, tentang angin yang membuat orang berfikir seperti angin, yang ke sana kemari tak jelas, atau seperti api yang selalu terbakar, tapi berbeda dengan tanah (bumi) dan air, yang selalu diam, tapi sekali bergerak, rumah bisa hancur, kota bisa banjir.
 
Dalam hidup ini, katanya, belajarlah seperti ikan, kenapa daging ikan tetap tawar walaupun hidup di air laut? Sepertinya Nurdin Gogo mengetahui saya anak perikanan. Hehehe..
 
Percakapan seputar unsur-unsur, ketika saya menanyakan kenapa Adam diciptakan dari tanah? Ia bilang, karena tanah itu dapat dibentuk, dan menjadi tampak. Tanah dapat pula berarti bumi tempat tumbuhnya tanaman dan melatanya hewan-hewan. Makanya Nurdin menyebut Adam, dalam hal ini manusia, sebagai Khalifah di muka bumi. Katanya lagi, Adam bertemankan Hawa, karena itu, ia diturunkan ke bumi setelah memakan Huldi. “Tahu artinya hawa?” tanyanya, saya jawab saja, “Nafsu”.
 
Karena nafsu itu, kita dapat bergerak, membangun sesuatu, mengerjakan hal-hal di muka bumi. Tapi, Tuhan merahasiakan banyak hal dari kita, makanya penyesalan selalu muncul di belakang. “Jika sudah tahu rahasia-rahasia Tuhan, maka kita tinggal menjalankan perintah-Nya,” ujarnya. Padahal, katanya lagi, Tuhan itu, suka kalau kita bekerja, mencari penghidupan, sembari tetap beribadah.
 
Entah bagaimana, pada bagian ini, Nurdin selalu menyebut-nyebut pentingnya menegakkan sholat. “Jangan sampai kita merasa sudah pintar, jadi sudah tidak mau sholat,” selorohnya. Badan saya tiba-tiba kaku, apakah ia menyinggung saya. Hehe..
 
Nurdin mengantar kita dalam penjelasan perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam Israj Mi’raj, Nabi diperjalankan oleh Malaikat Jibril yang menyerupai burung, naik ke Sidratul Muntaha, Nabi memperoleh perintah Sholat lima waktu. “Bayangkan, nabi saja, yang sudah dijamin tempatnya, masih saja menyelenggarakan Sholat,” terangnya. Saat itu, saya menelan ludah. Tak lama setelah itu, Yanto pun bergerak ke masjid sebelah rumah, menunaikan ibadah Sholat Duhur.
 
Masuk ke tema yang lebih sensitif, yaitu tentang Nabi Muhammad SAW. “Nabi adalah kekasih Allah, makanya dalam Sahadat, bersaksi mengenai Allah dan Muhammad. Tapi, apakah memang kita sudah bersaksi?” tanyanya. Pikiran saya terputar-putar, saksi diimajinasikan seperti saksi di persidangan. Saya tak menjawab dan diam saja. Karena memang tak bisa menjawab. Ternyata, Nurdin Gogo, juga tak memberi jawaban. Jadi, aman.
 
Karena ia kekasih Allah, maka semuanya diminta bersalawat kepadanya, bahkan malaikat, dan bahkan Adam yang saudara tua juga bershalawat. Allahumma Shalli Ala Muhammad Wa Ali Muhammad. Katanya, ruhnya sudah lama ada, karena ruhnya itu, bersama-di sisi Allah, terciptalah segala sesuatu di dunia ini. Lantas, saya bertanya, terus nabi yang abad ke tujuh itu bagaimana? Nurdin bilang, ia hanya penampakan fisiknya saja.
 
Lantas, saya bertanya, kenapa namanya Muhammad/Ahmad? Nurdin menjelaskan, secara kata perkata. Alif artinya berdiri, Ha artinya rukuk, Mim artinya sujud, dan Dal artinya duduk tahiat. Haduh, baru tahu saya, ternyata bisa dihubungkan seperti itu. Mendengar jawaban itu, seperti ada perasaan lega.
 
Di Tengah-tengah perbincangan, tiba-tiba Nurdin Gogo masuk ke dalam kamar. Dia lalu membawakan kami Alquran tua itu. Alhamdulillah. Beruntung banget saya hari itu. Saya pun membalik-balik halamannya. Saya melapal isinya sedikit, lidah agak kelu. Sepertinya saya harus melatih lidahku untuk membaca kitab suci ini. Begitu berdosa saya. Bersyukur dapat menyentuh pusaka dari abad ke 16 itu, yang dibawa oleh Iang Gogo, bersama 4 orang saudaranya, dari kesultanan Ternate, menumpangi Perahu Tuma’ninah.
 
Lengkap sudah keberadaan di Alor setelah menyentuh kertas demi kertas, yang kata Nurdin, kalau tidak salah berasal dari pohon Kalumpang, yang bahan bakunya antara dari Jawa atau Sulawesi. Saya tiba-tiba mengingat satu kampung di Mamuju, yaitu Kampung Kalumpang. “Sebagian kecil kertas itu sudah diambil oleh peneliti, untuk diukur umurnya,” kata Nurdin.
 
Tiba-tiba ada mobil parkir depan rumah, azan duhur juga dari tadi berkumandang. Saya pun terakhir menanyakan namanya, dia sebut Nur, belakangan saya tahu namanya Nurdin. Dia mengaku keturunan 14 dari Iang Gogo. Saya pun memutar lagi ceritanya tadi, tentang Syehk Siti Jenar, yang katanya juga keturunan 14 dari Nabi Muhammad SAW. Nurdin percaya, kalau Siti Jenar tidak dibunuh oleh Sunan Kalijaga. “Mana mungkin mereka saling bunuh?” serunya.
 
Setelah rombongan tamu, yang sepertinya para peneliti masuk ke rumah, saya pun memohon pamit. Lamat-lamat saya berfikir, sembari dibonceng oleh Yanto ke arah Alor Kecil untuk mencari makan siang. Saya terpikir argument dari Prof. C. A. Van Peursen, tentang Alam Berfikir Ontologis, penjelasan-penjelasan Nurdin Gogo, terkait dengan hakikat benda-benda, dan juga hakikat Tuhan dan Nabinya, memberi satu pembebasan kepada manusia, karena memperoleh sebuah pengertian. Pembebasan bukan sekadar “merasa ada sesuatu” pada alam berfikir mitis yang merasa bebas saat turut berpartisipasi dalam tarian dan nyanyian berbasis cerita-cerita mitos, tapi melangkah pada “Memahami sesuatu”. Mengerti, memahami sebab musababnya dan hakikatnya, itu lalu terasa sebagai suatu pembebasan dan penebusan.
Dalam perjalanan kami di atas motor, tiba-tiba kunci motor terlepas, kami mencari-carinya bolak balik Alor Kecil dan Kelurahan Sebanjar, tapi kunci itu tak juga ditemukan. Kunci itu pun menjadi gaib, tersembunyi. Jadilah Yanto mengendarai motor hingga ke Kalabahi dan berharap motor tidak mati dalam perjalanan. 
 
Salawat kepada Muhammad, dan berkah selalu kepada Nurdin Gogo..
 
 

 





0 komentar:

Next Posting Lama
Bercakap-cakap dengan Nurdin Gogo, Penjaga Alquran Tua di Alor Besar