semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Ada Ruang di Antara Kita


Ungkapan “Tiada Ruang tanpa waktu, tak ada waktu tanpa ruang” ternyata tak hanya berlaku dalam realitas filsafat Budha, tapi juga terdapat dalam realitas bahasa. akumulasi renungan Shidarta Gautama yang berlangsung lebih dua ribu tahun lalu itu bukan hanya merasuk dalam fisika kuantum yang terbukti menjungkirbalikkan paradigma sains lama Newtonian-Descartes, tapi juga menjadi energi dalam kata-kata.
Dalam realitas fisik, waktu itu berkaitan dengan ruang, dimana waktu melambat jika menembusi dimensi ruang dalam kecepatan tertentu. Kecepatan cahaya menurut Einstein dapat menahan laju waktu. Sementara pada ruang berbeda akan menghasilkan realitas waktu lain. Misalnya saat kita ke bulan, jumlah hari dan pekan itu pastilah berbeda, sebab gaya gravitas bulan berbeda jauh dibanding bumi.
Nah, pada realitas bahasa inilah yang menarik. Kata tak akan menjadi hidup kalau tak diberi ruang. Kata akan menjadi hambar jika sekadar menusuk dan memberi makan rasio matematis, tanpa ada tendeng aling persepsi abstraksi. Kata akan mati tanpa ada interpretasi.
Maksudnya, dalam berkata-kata, perlu ada tampilan ruang. Menyisihkan kata-kata logis dan menempatkan analogi sebagai pendamping dan penyeimbang. Analogi dalam bayangan kita dapat dipersepsikan sebagai pengandaian yang memberi efek ruang. Kalau dalam bahasa jurnalistik disebut sebagai deskripsi, yaitu penggambaran suasana, karakter dan tempat. Bisa pula dikatakan sebagai bahasa sastra, puisi yang sarat makna. Kata-kata yang bersayap ini membuat orang melakukan pemaknaan, dan itu tergantung kedalaman renungan dan pengalaman. Pendengar pun merasakan kenikmatan pikiran, rasa bercampur dengan rasio, menimbulkan decak kagum. Adonan yang pastinya lesat. Inilah mungkin yang disebut retorika, yakni seni berbicara, kemampuan untuk membolak-balik antara logis dan analogis.
Realitas analogis ini terekam indah dalam kitab-kitab suci agama samawi (baca: agama langit). Dalam alquran, injil, taurat sangat jarang diketemukan kata-kata ilmiah yang logis, tapi dominan merupakan deskripsi yang lembut, pengandaian dan pribahasa. Seperti “bidadari bermata jeli” dalam salah satu ayat di surah Alwaqiah. Jika saja kitab suci itu menggunakan bahasa ilmiah, mungkin para nabi akan kewalahan mencari pengikut, dan pastinya kehidupan di bumi ini akan kacau belaka.
Ya, tampaknya, kehidupan kita miskin akan analogi. Rasa kita kalah akan ego rasio yang juga telah bersifat dikotomi. Seni dianggap sebagai sempalan ilmu yang tak berguna, tak punya nilai ekonomi. Kita seakan-akan hendak menguasai realitas dengan kemampuan logis lewat ilmu yang bersifat determinis, statis, dan parsial. Sehingga justru semakin mengeraskan jiwa semata. Kecendrungan berakhir pada menyimpulkan dengan apologi obyektif, memaksakan kehendak, tanpa sedikit pun memberi ruang untuk interpertasi. Dalam mengungkapkan perasaan pun kita tak menempatkan ruang, kata “I love you” telah kita anggap sebagai dewa Cupid yang akan memanah hati sang pujaan. Padahal, kata tersebut menimbulkan efek kuasa terhadap mereka yang kita cintai, dan mungkin malah membuat pujaan hati shok seperti dihujamkan belati. Dan kini, beberapa kalangan yang paham lingustik telah mencarikan padanan baru untuk ungkapan cinta, menjadi “Im in love with you”, saya bersamamu di dalam cinta. Ada ruang di kata itu. Sama halnya ungkapan masyarakat Majusi, Persia, “Ada tuhan dalam kata-kata”.
Efek dari kemiskinan analogi ini akhirnya menjadi mata rantai dari gejala-gejala sosial yang menyimpang. Kriminalitas meningkat, kekerasan dalam rumah tangga, pemukulan guru terhadap murid, juga kekerasan pikiran, dimana selalu menganggap diri benar dan yang lainnya salah. Cinta terkikis, implemantasi dari hati seperti rasa sayang dan kasih melempem jauh. Yang menguasai adalah egoisme dan nafsu. Keinginan untuk menang sendiri dan mengacuhkan yang lain. Merekayasa kehidupan sosial menjadi hantu hutan rimba, dimana homo homini lupus (manusia menerkam manusia lainnya) bisa saja terjadi.
Tentunya, membendung hal itu, ruang harus dihadirkan kembali. Rasa dan cipta dirajut bersama, kemudian menumbuhkan hati dengan keindahan-keindahan analogi dan pribahasa. Seyogyanya, seni, sastra dan budaya bukan lagi menjadi kelas dua, tapi berjalan bersama sains dan teknologi. Karena dalam sastra budaya itu karakter dibangun, peradaban didirikan.
Mau tak mau, paradigma ruang ini mesti diintroduksi pula dalam kampus. “Ruang” menjadi ruh dalam menjalankan lokomotif akademik. Ruang pun menjelma dalam metode pembelajaran atau biasa dikenal sebagai Student Center learning, karena dalam SCL Dosen memberi ruang kepada mahasiswa, mereka bebas berekspresi, mendirikan analisis dan menginterpretasi. Sehingga ruang-ruang dialektika terbangun kokoh. Arena-arena tempat mahasiswa berpetualang juga dihadirkan tanpa ada rasa pesimis dan khawatir. Biarkanlah mereka bertarung, dengan asumsi berbeda itu satu dan berbeda itu indah.
Ruang adalah kehidupan. Fastabiqul Haerat..

Idham Malik
Mahasiswa Perikanan 2004




0 komentar:

Ada Ruang di Antara Kita