semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Menjadi Floating Mass atau Bibit Intelektual


Banyak cara untuk mendapatkan informasi, bisa lewat koran, majalah, buku dan televisi. Ada juga yang mencari informasi dengan berkunjung ke warung kopi sembari mendengar bincang-bincang politik tentang peluang dalam pemilihan umum atau tentang prilaku calon legislatif. Ada pula yang sekadar duduk-duduk di krumunan teman, dengan membuka hati, informasi pun berangsur-angsur masuk, baik itu gosip artis hari ini atau tentang kegelisahan mengikuti laboratorium fisiologi.
Belakangan ini saya pun aktif mencari informasi, tapi yang sifatnya lebih fundamental. Saya bersama seorang teman bernama Sasli, mengunjungi beberapa lokus informasi yang lebih privat. Sudah tiga lokus yang kami jadwalkan hadir saban minggunya. Pertama di rumah Kak Husnul, kedua di toko buku Papirus mendengarkan materi Kak Sabar, dan ketiga di Lephas Unhas bersama Kak Alwi. Ketiga orang itu telah aku anggap sebagai guru, pembimbing yang humanis, menuntunku ke pusat cahaya, tempat aku menemukan diriku sendiri. Dan untuk tulisan ini, cukup tentang kak Husnul saja.
Bersama kak Khusnul saya menemukan hubungan antara tuhan dan alam, dengan menggunakan logika degradasi dan gelombang cahaya ilahi. Bersumber dari kita suci Alquran, ia menjabarkan dimana posisi manusia terhadap alam. Sebelumnya ada pemahaman bahwa manusia punya hak kuasa terhadap alam dengan mengambil asumsi dari ayat alquran, berbunyi telah kujadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Atau ayat-ayat lain yang saling terkait, yang mempunyai sifat melegitimasi tindakan eksploitasi manusia terhadap alam.
Tapi, Khusnul menjelaskan dengan alur yang berbeda, ia berangkat dari tauhid. Menurutnya, jika kita punya tauhid, maka posisi manusia dan alam itu seimbang. Tak ada superior dan tak ada inferior, semua menyembah kepada-Nya. Sementara yang disebut sebagai khilafah pada ayat di atas adalah Nabi Besar Muhammad SAW, ia adalah pemimpin alam dan manusia, bahkan disebutkan alam juga menyebut namanya. Jadi manusia tak boleh menyombongkan diri sebagai khalifah, karena ia mesti mawas diri dan selalu menuruti perintah-Nya. But, logika ini masih khusus, belum umum diketahui. Orang awam malah menganggap bahwa alam ini diperuntukkan bagi manusia.
Indikator kesetaraan itu dilirik dari ayat yang menyatakan bahwa bumi, gunung, menyembah kepada-Nya. Persepsi ini malah melangkah lebih jauh. Khusnul menganggap bahwa hewan dan alam itu punya akal, karena tidak mungkin mahkluk itu dapat menyembah kalau tak mempunyai akal.
Analogi lain disejajarkan dengan teori evolusi Darwin. Khusnul menganggap bahwa dari model degradasi cahaya Muhammad mirip dengan degradasi cahaya atau kehidupan pada rentetan alur teori evolusi. Yang bermula dari hewan bersel satu, protozoa, bakteri, phitoplankton, hingga ikan dan kemudian manusia. Cahaya Muhammad sendiri sudah ada sejak nabi Adam, dan terkuantifasi melalui nabi-nabi lain hingga kembali ke Muhammad lagi. Kemudian berlanjut ke keluarga nabi, yang sering disebut-sebut berjumlah 12, dan imam yang terakhir dan paling fenomenal adalah Imam Mahdi, sampai sekarang imam belum turun atau masih bersembunyi dipersemayamnya.
Kata seniorku di identitas Unhas, logika lenyapnya Imam Mahdi untuk sementara ini sama halnya dengan peristiwa naiknya Nabi Isa ke langit dan kata orang akan kembali lagi ke bumi ketika kiamat telah tiba. Atau mirip dengan peristiwa beberapa pemuda atau biasa dikenal dengan Ashabul Kahfi dalam alquran. Para pemuda itu ditidurkan Allah pada sebuah gua, hingga beratus-ratus tahun kemudian baru dibangunkan. Jadi hal-hal gaib ini memang tak kasat mata, tapi tak bijak juga kalau kita menutup pintu percaya. Kita sendiri adalah sebuah keajaiban, diantara keajaiban-keajaiban lain. toh masih banyak misteri yang belum dapat dipecahkan oleh ilmupengetahuan. Jadi wajar saja kalau kita percaya.
Meski begitu, masih ada rasa curiga pula, artinya belum sepenuh hati. Saya harus terlebih dahulu membanding-bandingkan dengan pendapat yang lain. supaya dapat gambaran yang jelas duduk perkaranya. Pun tuhan selalu membuat ketentuan yang tak sanggup dijawab, seperti kenapa jumlah Imam yang maksum itu hanya 12 orang? Bagaimana defenisi surga dan neraka? Yang dari tinjauan filosofis Islam, menurut pemahaman saya masih tak adil. Kok neraka dikatakan surga terendah. Atau analoginya, sebuah tempat yang gelap gulita, tak ada cahaya.
Itu menurut senior saya, dan kebenaran akan selalu terkuak kapan kita mencarinya. Meski sekarang, waktu itu sangat mahal, sehingga yang menjadi urusan kuliah dan proyeklah yang menjadi prioritas. Bukan urusan membingungkan seperti di atas.
Kembali kepembahasan, Pada pertemuan berikutnya, dosen Manajemen Sumberdaya Perairan ini menjelaskan tentang akal dan revolusi. Penjelasannya sangat menarik dan runtun, betul ada benang merah yang dapat ditarik, juga pemahaman itu dapat memacu pikiran untuk segera berbuat, mengejar ketertinggalan, khususnya dalam hal menimba ilmu. Akal dapat dimaksimalkan, akal dalam artian struktur yang dikenal dengan otak. Karena akal dalam pengertian di sini lebih bersifat nonmateri, tapi dengan sempurna dapat mengendalikan materi. Ia adalah semacam logika dan rasionalisme. Kita dapat mencapainya dengan tahapan-tahapan yang runtun dan jujur. Perlu pula upaya agar dapat menuju pencerahan akal. Dan jika telah cerah, maka akal akan mengikat emosi kita untuk selalu berbuat sesuai dengan capaian akal kita.
Menuju pencerahan akal dimulai dengan observasi menggunakan panca indra atau disebut empiris, kemudian dilanjutkan dengan analisa nalar atau rasional. Tepatnya, menggunakan epistemologi barat untuk mengetahui sesuatu, mulai dari hipotesis, tesis kemudian sintesis, dikenal dengan istilah metodologi penelitian. Jika hasil diperoleh, itulah yang diikat oleh akal untuk dipercayai dan diimani. Tak ada lagi keraguan di dalamnya, sebelum ada penelitian terbaru yang dapat membantah sintesis tersebut.
Hal menarik lainnya, ketika dikaitkan dengan hati, yang mana lebih kuat, akal atau hati. Dari pembahasan saat itu, akal lah yang menjadi elan vital. Akal utama yang bersifat non materi dan menjadi sumbu dalam memperoleh pengetahuan dan menjalani hidup. Hati adalah penyelubung akal ini, menjadi penimbang-nimbang antara baik dan buruk. Setelah ditimbang oleh hati dan diindrai, akal kemudian menangkap informasi itu untuk ditetapkan dan diyakini. Fungsi akal dalam hal ini adalah mengikat makna. Kemudian mengaksentuasikannya dalam prilaku sehari-hari. Sehingga Das Solen akan selalu sama dengan das sein.
Beda halnya dengan akal an sich, akal yang menurut pengertian umum. Akal an sich berfungsi sebagai alat untuk menggeneralisasi realitas dengan bantuan prangkat bahasa, kemampuan untuk mengidentifikasi realitas, melakukan abstraksi, analogi dan dengan metode yang sistematis. Artinya, akal mampu untuk menandai realitas, walaupun realitas itu tak ada dalam nyata. Sementara jika dikaitkan dengan hati, akal dan hati berbedanya pada wilayah kerja saja. Hati tugasnya menganalisa sesuatu yang bersifat mistis, dan sesuatu yang tak dapat dicerna oleh akal. Seperti pengalaman tentang rasa dan cinta, pengalaman akan perasaan takut. Hal ini tak dapat diukur menggunakan akal, tapi cuma bisa dinikmati saja.
Hebatnya pada malam itu, fungsi akal tadi dikaitkan dengan taksonomi revolusi berbentuk piramida. Dalam struktur itu, pondasi piramida terdiri dari massa mengambang atau floating mass, kemudian di tingkat atasnya ada praktisi, ilmuan dan puncaknya diisi oleh para intelektual. Intelektual yang jumlahnya sangat sedikit inilah yang menjadi motor revolusi, yang membakar semangat golongan-golongan di bawahnya. Mereka dikatakan intelektual karena mereka mampu mengoptimalkan akalnya dengan optimal, akal yang dimaksud bukan sekadar akal an sich tapi juga akal murni yang kemudian telah mengikat makna menjadi ideologi dan keyakinan. Ia berprilaku sesuai dengan kedalaman pengetahuannya, dan tentunya berhasil menghalau segala godaan dunia yang menjijikkan.
Tentunya, setelah mendengarkan penjelasan itu, kita pasti tak mau sekadar menjadi floating mass semata, yang hidupnya selalu diombang-ambingkan oleh keadaan. Tak punya pegangan tetap dan mentalnya jatuh bangun. Dan menjadi seorang intelektual itulah yang menjadi harapan. Dan menuju ke sana mesti dengan semangat, ketekunan tinggi dan pantang menyerah. Menyerah pada keadaan tertentu membuat kita lemah dan tak berhasil mencapai tujuan, padahal keberhasilan mungkin tinggal selangkah lagi. Terakhir, siapa pun orangnya, ilmu itu datang pada orang ikhlas dan tawadhu.

Idham Malik




0 komentar:

Menjadi Floating Mass atau Bibit Intelektual