semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Kebebasan Memilih hingga Kaum Idealis


Tanggal 29 Mei saya ke sini, bersama dua kawan dan dua dosen, ya sekadar survei lokasi penelitian sekaligus PKL. Sebelum ke sini, ada perasaan bangga sekaligus curiga, ada senang ada sedih, semua beraduk, silang-singkarut, bersangkut paut. Tentu, ada logika pada masing-masing perasaan itu, ada causa dari setiap fenomena. Meski begitu, tak ada jawaban pasti antara ya atau tidak, karena realitas kali itu tak berjarak atau bertempo. Atau bisa dikatakan berada dalam lingkup totalitas yang holistik, berupaya mengungkit pikiran terdalam saya dalam bentuk perasaan yang bercampur aduk.
Sebentar saja di sana, sekitar dua jam lebih. Kehadiran saya di sana baru dalam tahap melihat dan belum menandang. Melihat dan merasakan lewat indra mata, telinga dan kulit. Makna realitas itu belum sampai di dalamannya korteks otak, sekadar singgah di selaput tipisnya untuk menyerap obyek dan dikekalkan dalam memori, yang tak jelas letaknya di mana.
Obyek yang sempat aku tangkap adalah petakan-petakan tambak berukuran kurang lebih 3000 m2. Terik mentari membantu syaraf sensorik ku untuk meneruskan gerakan air yang mengkilat-kilat, box crab black yang diselimuti debu, kepiting-kepiting malang yang sudah berselimut lumut, serta pekerja lokal yang emoh diajak ngomong itu sampai ke kamar-kamar neuron. Syaraf-syaraf kulitku membantu aku untuk menghayati lekukan-lekukan kayu, butiran-butiran tanah, serta ademnya air dalam tandon (penampungan air). Ya, kalau sudah begini, saya melenggang ke penghulu paham empirisme, David Hume, yang menihilkan realitas, menganggap segala hal adalah hasil reaksi antara obyek dengan indra manusia. Yang eksis adalah indra, yang menghasilkan kesan.
Berbicara dalam ranah empirisme, kita harus menggambarkan gerak sejarah menuju ke pendulum materialisme, tesis baru dari empirisme modern tapi sangat berbeda dalam memandang obyek. Menurut pengikut materialisme, obyek bukan sekadar benda mati, tapi juga energi-energi yang dihasilkan pada pola hubungan kerja alam, manusia, ataupun masyarakat. energi yang berupa tenaga yang dikeluarkan dalam memperoses itu adalah obyek, sehingga terdapat saling kena-mengenai antara yang satu dan yang lainnya. Tapi, lagi-lagi yang menjadi nomor satu adalah benda, barulah pikiran. Pusing juga pikirkan yang beginian, tapi menurut saya, yang terlebih dahulu ada pikiran atau ide, barulah ide ini yang mempengaruhi benda.
Kesan lain adalah anomali hubungan antara pemilik modal dengan pekerja, atau dengan pimpinan wilayah. Memahami hubungan ini butuh keringat dan perhatian karena sedikit rumit. Ya, perusahaan kepiting ini bisa dikatakan sukses dari segi keuntungan an-sich, tapi untuk memperkukuh dasar kemanusiaan dalam segi kebebasan berfikir dan berkreativitas sedikit tersumbat. Logika kadang tidak dikedepankan, yang menyunyuk hidung adalah permintaan (owner). Untuk hal ini saya tak boleh bercerita banyak, karena menyangkut manajemen sebuah institusi, apalah keberatan saya tidak akan berpengaruh, salah-salah bisa masuk bui, macam Prita (kasus pencemaran nama baik RS. Omni Internasional).. hehe..
Sesuai dengan pemahaman baru saya bahwa di dunia ini tak ada keburukan dalam artian eksistensial. Hanya kebaikanlah yang melingkupi bumi, karena segala sesuatu yang tampak ini adalah wujud dari kebaikan paripurna. So, dari sini dapat ditarik benang merah, bahwa dari segala kekurangan yang tampak, terdapat kebaikan, baik bagi mereka ataupun bagi saya. Hukumnya di sini adalah keburukan relatif yang di dalamnya tersembunyi kebaikan. Atau keburukan bagi dirinya sekaligus kebaikan bagi selainnya, atau kebalikannya. Konkritnya, dari peristiwa itu, saya dapat belajar banyak soal manajemen dan pengelolaan perusahaan. Kedengarannya cukup pragmatis n individualis juga ya.. ya, maklum begitulah sisi lain saya.
Mengenai sisi lain tadi, saya pikir ada dalam setiap manusia normal, bukan nabi. Manusia dengan kesadaran sederhananya mengerti akan fakta dan kecendrungan-kecendrungan dalam dirinya. Manusia yang tak munafik, atau kata lainnya yakni realistis. Pun dasarnya hidup kita ini adalah kebebasan. Dengan kebebasan, perjalanan kita akan penuh makna, lantaran terdapat peroses pembelajaran terus menerus dari pilihan-pilihan hidup kita. Manusia adalah mahluk yang otonom yang berkehendak, tak menjadi budak oleh manusia lainnya. Jika tak demikian, maka sia-sialah hidup ini diciptakan, kalau yang mengatur adalah sesuatu yang absolut semata, tanpa ada hak ciptaan untuk bergerak mengatur sejarahnya.
Kalau disepahamkan dengan logika Hegel bahwa sesuatu yang absolut itu adalah ide atau rasio bolehlah, karena arah gerak sejarah sendiri ditentukan oleh pikiran. Rasio yang berselimut dalam aksioma-aksioma filsafat dan sains, sejak masa Adam, bergulir ke Ibrahim (filosof yang menemukan tuhan), Daud, penguasa jagad bersuara indah, Yusuf, Isa si tukang kayu yang penuh kasih, Muhammad, yatim piatu yang berhasil menegakkan masyarakat madani. Atau dari Sokrates manusia logis, Plato bapak teori ide, Aristoteles pemeta ilmu, Newton penemu gravitasi, Faraday penemu gaya medan magnet, edison si lampu, Guttenberg penemu mesin cetak, James Watt dengan mesin uapnya, Joule yang mendefenisikan ketetapan benda, Lavoiser bangsawan Prancis penemu kekekalan massa yang ikut terpenggal kepalanya di gulloitoine, Max Planck penyelidik teori kuantum, Einstein yang berimajinasi melaju bersama cahaya, hingga Bill Gates yang membalik dunia dengan teknologi komputernya.
Ya, ada kaitan erat antara rasio dan materi. Hasil pikiran manusia inilah yang menggaris sejarah. Membuatnya berdialektika, melompati masa dan kejayaan-kejayaan silam. Sebuah kreasi sederhana dapat meruntuhkan paradigma, bangunan paham yang runtuh oleh sentilan pada inti (core) paradigma, sebuah pertanyaan yang tak terjawab, anomali.
Hubungan tadi kadang di bolak-balik oleh kaum materialis yang mengklaim punya kebenaran sendiri dengan dialektikanya. Menurutnya Materilah yang mempengaruhi rasio. Benda yang mempengaruhi nurani. Eksternal ke internal, kita bergerak sesuai hukum alam sekaligus hukum masyarakat. So.. begitu rumit silang sengkarutnya, jadi kita mesti pintar-pintar memetakan. Kalau menurut Tan Malaka, yakni mengklasifikasi berdasarkan kelas filosof idealis dan filosof materialis.. emm.. kalau kamu masuk golongan apa?
Terus terang saja, saya masih percaya pada golongan idealis, kenapa? Karena mereka mengakui eksistensi tuhan.. yang maha Agung di atas segalanya. Selain itu, kaum idealis masih mengedepankan sisi rasional, baik menggunakan logika formalnya Aristoteles maupun logika dialektikanya Hegel. Karena sisi rasional-lah yang dapat menyingkap sesuatu yang tak dapat ditangkap oleh indra. Sesuatu yang abstrak, tapi tepat dalam permainan logika. Seperti adagium Hegel, segala realitas adalah rasional, dan segala yang rasional adalah realitas. Ya, seperti itulah..
Ngomong-ngomong, kita sudah lari dari topik awal membicarakan penomena di tambak Takisung. Tapi, dalam pikiran ini tetap yakin bahwa hal sepele pertama berkaitan dengan elan vital bertarungan filsafat di atas.
Bolehlah dikata bahwa saya termasuk penganjur kebebasan, mencintai makna, punya pilihan, mengedepankan rasio, turut pada hukum alam dan hukum tuhan, dan gandrung pada sesuatu yang mistik dan belum sampai di logika saya.
Fenomena mistis itu sangat dekat dengan keseharian kita. Sebut saja pemaknaan terhadap kata. Ucapan kadang lebih kejam dari belati. Hinaan lebih sakit dari tertumbuk kayu, mendengar suara merdu kekasih dapat membuat hari menjadi indah, begitu pula sebaliknya. Tampaknya, sesuatu yang abstrak macam kata punya kekuatan mistis. Kata dan ucapan adalah realitas dengan dimensi berbeda. Kata-kata dapat merasuk hati dan merusakkannya dari dalam. Sesuatu yang mirip kata adalah pikiran, pikiran pun dapat membuat kita jenuh, bahagia, sedih. Pikiran dapat melemahkan tubuh sekaligus menguatkannya. Pikiran dapat menembus lorong waktu, masuk ke masa lalu dan meloncat ke masa depan. Meski begitu, belum ada kesepakatan bagaimana sih bentuk pikiran itu? Hal yang saling berkait adalah fenomena mimpi, alam bawah sadar, yang merupakan wilayah abstrak lainnya. Toh sesuatu yang abstrak inilah yang memegang kuasa menggerakkan materi. So.. benda berada di telapak kaki ruh.
Emm. Tampaknya perbincangan kita sudah cukup panjang, sudah dulu ya.. soalnya sudah pukul 04.00 wita dini hari. Ketemu besok lagi, kita membicarakan hari-hariku di Takisung. Ok.
Salam hangat

Mes Tambak Handy Royal
7 Juni 2009




0 komentar:

Kebebasan Memilih hingga Kaum Idealis