2 minggu yang lalu
dari Lihat Pabrik Pakan, Lanjut ke Martapura
Ahad, (31/05), sehabis mencuci baju satu dua buah, kami yang termasuk dalam tim kepiting berencana untuk cucimata di sekitar Banjar Baru dan Martapura. Sudah dua hari kami di Kalimantan Selatan, dimana sudah banyak pula suka yang kami peroleh, untuk dukanya, belum kali ya.
Tumpangan tiba, yakni mobil kijang berwarna biru gelap bercampur kelabu. Saya bersama Yasir duduk di kursi belakang yang posisinya berhadapan dengan jendela samping. Ekspedisi dimulai, Kijang melaju sedang menyusuri Cempaka, daerah Banjar Baru, tempat truk-truk raksasa lewat di malam hari mengangkut hasil bumi berupa batu bara. Sesampai di bundaran besar yang terbuat dari keramik merah di perempatan, singgah sebentar untuk isi perut (Bensin-red).
Kami rencananya akan mengelilingi Banjar Baru, lewat jalur Selatan, sekitar 20 menit perjalanan, kami singgah di dekat Balai Budidaya Air Tawar Mandi Angin, Karangitan. Di situ terdapat deretan empang budidaya ikan patin, yang pakannya diusahakan sendiri. Lokasinya cukup kondusif, karena bersebelahan dengan sungai pengairan Martapura, yang airnya jernih.
Cukup kreatif juga, karena di pinggir empang terdapat alat penggilingan untuk menghasilkan pakan bermutu. Ya, alat tersebut terdiri dari mesin kapal berkekuatan di atas 20 pk, dua roda besi kira-kira berdiameter 80 cm dan saling bertaut menggerakkan elemen penggiling yang punya piringan-piringan dan pisau untuk menekan dan menghaluskan pakan, hingga terakhir pada piringan cetakan yang badannya terdapat banyak lubang-lubang berdiameter sekitar setengah centimeter.
Di atas elemen penggiling, terdapat lubang persegi panjang berukuran 30x15 cm, yang merupakan tempat untuk memasukkan materi pakan. Bahan-bahan yang digunakan untuk buat pakan, terdiri dari ikan teri, tembang, sepat berukuran kecil yang telah dikeringkan, crustacea berupa udang yang juga telah dikeringkan (Feby-red), dedak, dan bungkil kelapa. Bahan-bahan tersebut dicampur merata ditambahkan sedikit air sesuai komposisinya, untuk komposisi bahan hingga saat ini saya belum mendapatkan informasi. Hasilnya langsung dapat dihambur di samping mesin, hingga dapat menenggalamkan mata kaki. Setelah dianggap cukup kering pakan pun siap ditebar ke setiap empang.
Menurut Prof Yushinta dan Dr Aslamiyah, yang sempat menyentuh hasil cetakan pakan tersebut, mengatakan bahwa pakan tersebut lumayan dari segi kekentalan, aroma, ataupun bahan yang digunakan. Sepertinya, awal hari itu adalah keberuntungan. Dapat ilmu baru lagi deh.. asyik juga.
Sebentar saja di sana, sekadar mengamati dengan sedikit terkagum-kagum. Meski begitu, ada hal baru yang diperoleh sehingga puaslah pikiran ini. Kami melanjutkan perjalanan, melalui jalanan sempit, lebarnya tak beda jauh dengan lebar pengairan di sebelah jalan.
Duduk di kursi belakang mobil kijang yang sudah tampak sedikit karatan itu seperti naik bendi di jalan bebatuan. Walaupun jalanannya tidak berbatu, tapi sama saja karena berlubang, jadi ban mobil terseok-seok, terpelosok-pelosok, kaminya yang terguncang-guncang. Lewat kaca jendela, saya dapat mengamati kondisi geografis Kalimantan. Suatu wilayah di para-para Banjar Baru.
Di kanan kiri jalanan dominan ditumbuhi alang-alang, rerumputan. Ya, sejenis tumbuhan perintis pada lahan yang telah babat populasi sebelumnya, yang merupakan tumbuhan sempurna dari kelas angiospermae, yang batangnya selebar ban truk, tingginya seperti rumah bertingkat atau menara listrik, daunnya lebar, lebih lebar dari tapak kakiku. Jumlahnya pun ribuan, berderet acak, sesuai harmonisasi alam.
Tampaknya, itu hanya hayalan indah, meninabobokkan. Akan kekayaan alam Indonesia, Kalimantan yang bejibun. Kekayaan berupa pohon-pohon raksasa, batu bara, intan permata, dicabik-cabik, dikeruk-keruk, dieksploitasi oleh mahluk rakus yang disebut negara bersama birokrat-birokratnya. Negara sebagai binatang pemangsa, seperti analogi Tomas Hobbes, mengatakan bahwa negara sebagai Leviathan yang menghancurkan segala yang ada di hadapan. Negara dengan kekuatan birokrasinya, mulai dari jajaran puncak hingga tingkat lurah, berleha-leha dalam lumbung emas (Kekayaan-red), yang diperoleh dengan tenaga rakyat yang telah setengah mati bekerja keras dengan gaji yang tak seberapa.
Bukti kerakusan negara ini tampak pada jalan yang saya lalui, jalan berlubang tak karuan, infrakstruktur penggerak ekonomi utama yang tak pernah diperhatikan. Seperti pula dengan ilalang yang berdiri tegar menggantikan pepohonan meranti, rela menanggung dosa penggerek kayu beserta para cukong-cukongnya yang demikian tega mengambil madu lahan sepah dibuang. Kasihan pohon-pohon itu, merintih kesakitan tapi pencurinya senang dengan hati sekeras baja.
Belum lagi kondisi psikologi masyarakat yang pintar bersabar dalam kondisi apa pun, tentunya membuat para birokrat semakin berani, karena kritik minim lantaran sibuk mensyukuri nikmat tuhan. Pahamlah bahwa di Kalimantan Selatan ini, nuansa keagamaan sangat kental, dan punya pengaruh terhadap cara berpikir masyarakat setempat.
Menurut saya, Islam itu agama revolusioner, Islam adalah agama orang-orang yang terhampas haknya, dan menjadi pisau untuk merebut hak-hak tersebut kembali. Muhammad saw, manusia mulia yang kurindu tatapannya, sendiri adalah pejuang yang berhasil memerdekakan para budak, merubah pola prekonomian masyarakat dengan seadil-adilnya, menjadi pemimpin ummat yang dipuja karena keberhasilannya membangun format masyarakat madani. Semua nabi-nabi pun hadir di muka bumi untuk melenyapkan kerakusan manusia, dan nabi-nabi tersebut tergolong kaum masyarakat biasa, sebut saja Nabi nuh sebagai tukang kayu, Ibrahim tukang batu, Nabi Isa tukang Kayu. Selain membentengi diri dari dunia, juga berupaya menggiring masyarakatnya untuk menyembah tuhan, sekaligus saling kasih mengasihi sesama manusia. Ya, sudahlah..
Belum setengah jam kami menyusuri jalan-jalan berlubang itu, tiba-tiba mesin mobil mogok. Celakanya, diantara kami para lelaki tak ada yang paham betul mengenai permobilan, mau sok tahu juga tak bisa, jadi tinggal tunggu instruksi saja dari orang-orang yang lebih tua. Beragam cara telah dilakukan, memerikasa kabel-kabel starter yang mungkin putus, knalpot, dinamo, aki, hingga mendorong motor (baca=mobil-red) bolak-balik berkali-kali, mesinnya tetap membandel. Matahari sudah tegak lurus dari tempat berdiri, teriknya sungguh menyengat, keringat pun terpaksa bercucuran, nafas sedikit ngos-ngosan. Bingung dalam kondisi seperti ini, langkah terakhir yang mesti ditempuh yaitu dengan mengundang pemilik mobil tersebut datang ke lokasi mogok, karena pastinya dia lah yang paling tahu kondisi mobilnya.
Sembari menunggu, kami menyempatkan diri melihat pabrik pakan ikan yang letaknya sekitar 400 meter dari tempat mobil. Di sana terdapat pula beberapa kolam pemeliharaan ikan patin. Jadi, selain melihat proses pembuatan pakan ikan, yang sepertinya mirip dengan yang terdapat di pinggir jalan tadi. Yang seru adalah saat kami menyaksikan ikan tersebut dilemparkan pellet ke pinggir kolam. Tanpa menunggu lama, ikan-ikan patin itu langsung berebut, berkecipak sorak, menghasilkan percikan-percikan air hingga ke pematang. Riak-riak air pun riuh, dapat menenangkan hati yang sebelumnya juga bergejolak.
Pemilik mobil beserta montirnya yang juga merupakan paman pengemudi datang. Dengan segera mereka mengatasi problem pada mobil itu. Setelah di cek, ternyata yang bermasalah bukan kabel, dinamo, dan mesin, tapi aki lah sumber masalah. Setelah aki tersebut diperbaiki, diberi minum, motor pun bunyi dan siap mengantarkan kami ke Martapura.
Di Martapura kami berkeliling menyaksikan masjid besarnya, pesantren terkenal Darussalam, hingga ke pasar penjualan cendramata khas Banjar dan Kalimantan. Seru juga, karena dalam deretan toko yang terletak di dekat sebuah taman indah itu banyak dijual jenis-jenis bebatuan yang menarik dipandang mata. sebut saja batu piros, giok, matakucing, dan yang lainnya. Warnanya beragam, mulai dari merah, biru, hijau, orange. Ada yang berkilauan dan memantulkan cahaya, ada pula yang redup, hitam kelam.
Baru kali ini saya melihat jenis batu-batuan berharga itu, melihat keindahannya dan merasakan auranya. Jadi laparmata jadinya. Ya, saya memuaskan mata saya dengan membeli seberapa, yaitu sebuah gelang dengan batu beragam warna berkilauan, gelang dengan untaian krikil cantik, kalung dengan deretan bulatan-bulatan kayu berwarna coklat, mirip tasbih biksu Budha. Yang terakhir disebut itu benda yang paling saya senangi, unik soalnya.
Selain bebatuan tadi, ada juga batu yang lebih bernilai, yaitu intan permata. Ini mah, santapan mata orang berduit, kata orang biar duit yang dibawa ke sini berkarung-karung, tetap bisa habis juga. Hehehe.. luar biasa ya..
So.. habis dari sana, kami langsung ke Banjar Baru, berbincang-bincang sebentar lalu langsung syur.. capek jadinya.. tapi, terus terang hari itu sangat asyik..
Idham Malik
Takisung, 3 Juni 2009
0 komentar:
Posting Komentar