semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Lika-Liku Penemuan DNA



Banyak hal asyik di dunia ini, bercengkrama dengan sahabat, ngobrol sama orang tua, menikmati hijau daun, biru langit, merahnya senja di tepi pantai, atau mendengar nyanyian jengkrit, musik Augusht Rush atau suara kekasih yang membuat pikiran melambung.....
Tapi, dari semua itu, ada lagi yang lebih asyik, yaitu mengedepankan naluri alami manusia untuk mengetahui kehidupannya, salah satunya sejarah genetik yang menjadi kitab untuk memahami perjalanan panjang manusia. Ya, susunan digital berupa kode kimia yang terdiri dari rantai gula fosfat dengan tangga-tangga basa (Adenin, Sitosin, Guanin, Timin-red) itu telah menentukan prilaku, kebiasaan makan, morfologi, fisiologi atau pun gerak langkah kita.
Jadi, hingga detik ini, cuma manusialah spesies yang telah berhasil membaca sebagian besar kitabnya sendiri. Melacak 30.000 - 80.000 gen dalam masing-masing ke-23 kromosom. Genom yang tersusun sempurna dalam inti sel yang jika diprediksi, jumlah sel dalam tubuh kita sekitar 100 triliun. Dengan begitu, manusia sekaligus menjadi pemenang diantara pertarungan mendominasi habitat di alam. Manusia kini berjumlah sekitar tujuh miliar, species lain yang berhasil mengungguli jumlah manusia hanya beberapa hewan ternak yang memang dikembangkan menjadi pakan manusia. So, banggalah telah dicipta menjadi hewan berakal ini.

1943, Tahun Rindu Sejarah Genom
Erasmus Darwin, penyair sekaligus dokter serba tahu pernah mengungkap pertanyaan pada tahun 1974. “....... Akankah kita mendalilkan bahwa awal semua kehidupan organik adalah sebuah benang hidup yang sejenis?” pertanyaan itu begitu menggelitik, tapi siapa sangka bahwa setelah melewati beberapa generasi hingga 1953, Prancis Crick dan James Watson ternyata membuktikan ramalan kakek Charles Darwin itu.
Baik kiranya jika kita uraikan sepuluh tahun ke belakang dari kisah penemuan terbesar abad ke-20 itu. Tahun 1943 adalah masa tebak menebak para ilmuan dari beragam cabang ilmu untuk menjawab satu pertanyaan. Apa atom penyusun kehidupan ini?
Pada tahun itu, Prancis Crick malah masih bergumul sebagai insinyur pabrik ranjau milik angkatan laut Portsmounth. Sementara James Watson baru berusia 15 tahun dan hendak kuliah di University of Chicago untuk menyalurkan cita-citanya menjdi ahli ornitologi (ilmu tentang burung). Maurice Wilkins masih bergabung dalam tim yang merancang bom atom di Amerika Serikat. Ilmuan genetik yang lain yaitu Rosalind Franklin, justru sedang mempelajari sturktur batubara untuk pemerintah Inggris.
Pengejaran genetik telah berkembang di Jerman, tapi masih terpengaruh oleh ideologi Fasisme, yang hendak menemukan spesies unggul lewat mekanisme eugenetika. Tahun 1943 itu juga di Auschwitz, Josef Mengele melakukan penyiksaan terhadap orang-orang kembar sampai mati. Mengele mencoba memahami hereditas, namun ilmu perbaikan mutu manusia melalui perkawinan terseleksi tak membuahkan hasil.
Di Dublin pada tahun yang sama, salah seorang pengungsi berhasil lolos dari jeratan Mengele, seorang fisikawan besar Erwin Schrodinger menyibukkan diri menjawab pertanyaan, apa itu hidup? Erwin sudah sedikit mendekati dengan menyatakan bahwa kromosom mengandung rahasia tentang hidup, namun ia tak dapat menyingkapnya dan malah menyimpang dari jalur yang ke depannya diramu oleh James Watson dkk. Erwin menempuh perjalanannya menggunakan pendekatan kuantum yang pada pangkalnya membawanya ke jalan buntu. Pahamlah kita bahwa gen tidak muncul lewat jalan fisika.
Oswald Avery, ilmuan Kanada pada 1943 itu dengan tekun melakukan eksperimen untuk identifiksi DNA. Metodenya dengan memanfaatkan sebuah bakteri pneumonia yang dapat diubah dari galur yang tidak berbahaya menjadi galur yang mematikan dengan mengabsorbsi larutan kimia sederhana. Ia pun menyimpulkan bahwa zat pengubah itu adalah DNA. Namun, ia masih terkesan ragu-ragu dan menyamarkannya dalam publikasi ilmiahnya.
Lagi-lagi Oswald terbenam dalam riset kimianya, memegang erat adagium Jan Baptista van Helmont “segala sesuatu dalam hidup ini adalah kimia”. Ya, bolehlah disebut sebagian hidup ini adalah kimia, salah satu pembuktiannya yaitu hasil sintesis urea dari amonium klorida dan perak sianida oleh Friedrich Wohler tahun 1828. Ya, jawabannya tidak datang lewat ilmu kimia.
Di tempat lain, Blechley, Inggris, 1943, Alan Turing sibuk menajamkan wawasan dalam realitas fisik. Yah, rahasia kehidupan hendak ditemukan oleh Alan lewat jalan matematika, melalui bilangan. Alan membangun sebuah mesin universal dengan program yang tersimpan dan dapat dimodifikasi. Sepertinya, metode Alan inilah yang paling mendekati, karena rahasia kehidupan ini adalah sesuatu yang mampu membuat dirinya sendiri atau replikasi. Sementara bentuk yang paling mungkin untuk bereplikasi adalah sebuah pesan digital-kata.
New Jersey, 1943, seorang ilmuan pendiam dan penyendiri bernama Claude Shannon asyik mencerna gagasan mengenai informasi dan entropi adalah dua sisi pada kepingan uang, selain itu memiliki kaitan dengan energi. Fostulatnya yaitu, semakin kecil entropi yang dimiliki sebuah sistem, semakin banyak informasi yang dikandungnya. Seperti sebuah motor uap yang dapat memanfaatkan batubara untuk menghasilkan energi sehingga membuatnya bergerak berputar lantaran motor tersebut mengandung informasi tinggi.
Melirik pencarian para ahli itu, ada pemahaman muncul bahwa begitu sulitnya untuk menemukan sang kata, kata yang kemudian menjelma menjadi DNA. Zat yang mampu menurunkan sifat hereditas, penyimpanan informasi, melakukan replikasi dan metabolisme. Tapi, apresiasi hangat kepada para ilmuan di atas, lantaran punya keinginan kuat untuk menyingkap misteri kehidupan, membuat terang jalan generasi di bawahnya untuk mendefenisikan ulang apa itu hidup, bagaimana dan untuk apa?!

Dari Mendel Hingga Watson
Ambisi untuk menyibak rahasia itu sudah ada sejak manusia ada. Tapi, pergerakan waktu dan sejarahlah yang membukanya pelan-pelan bak teori evolusi Darwin. Informasi itu tak langsung ditemukan serta merta, ada peroses untuk tutup menutupi, sanggah menyanggahi.
Tokoh penting yang menstimulan perjalanan genetika ini adalah Gregor Johann Mendel pada tahun 1822, dilahirkan di kota Heinzendorf, kini masuk wilayah Chekosiowakia. Pernah menjadi biarawan di tarekat St Agustinus, belajar di sekolah teologi di Brunn (brno, Austria-skarang). Pernah pula mengikuti ujian untuk mendapatkan ijasah guru, tetapi gagal dan mendapat angka terburuk dalam matapelajaran Biologi!. Meski begitu, Mendel tetap mencoba dan akhirnya memperoleh kesempatan menjadi guru cadangan ilmu alam di sekolah modern Brunn, tahun 1854.
Lelaki yang pandai bermain catur dan berkebun ini berupaya untuk menyalurkan bakat itu lewat uji penyilangan tanaman kacang Kapri. Ia tahu bahwa pemahaman tentang sifat turunan sudah ada pada para pembiak tanaman dan buah-buahan, namun belum ada yang menjelaskannya secara sistematis. Pada ranah inilah Mendel ambil bagian...
Mendel berusia 43 tahun saat itu, eksperimen yang ia lakukan berlangsung hingga delapan tahun di kebun-kebun biaranya yang sunyi. Menyibak rahasia hereditas dengan penuh kesabaran, menunggui data statistika tanamannya yang meliputi 30.000 macam tumbuhan. Dari eksperimen itu, Mendel mencatat dan mengirimkan hasil penelitiannya ke majalah-majalah sains saat itu, ia menunggu sekian lama, namun kabar balik itu tak bertandang jua. Masyarakat sains saat itu rupanya tak tertarik dengan hasil riset mendel dan pada akhirnya dilupakan orang.
Tahun 1866, Mendel mengirimkan makalahnya ke Karl Wilhelm Nageli, guru besar botani di Munchen. Tapi, Nageli malah menganggapnya ngaur dan menjawab surat-surat biarawan itu dengan sedikit melecehkan. Jawaban menyesatkannya dengan menganjurkan agar Mendel membiakkan sejenis tumbuhan liar (Hieracium). Itu ditanggapi serius oleh Mendel, dengan eksperimen kawin silang berupa serbuk sari yang tidak melibatkan gen-gen tumbuhan pasangan. Namun, memberikan hasil yang aneh-aneh. Mendel melupakan riset itu dan mengalihkan perhatiannya ke lebah. Hasil percobaannya pada penghasil madu itu pun tak pernah ia publikasikan. Belakangan, Nageli memakai gagasan Mendel untuk menjelaskan mekanisme hereditas, tapi masih salah tangkap.. capek deh..
Charles Darwin pernah menyarankan ke teman-temannya untuk merujuk karya W.o Focke yang berisi 14 rujukan makalah Mendel. Tapi, makalah Mendel tersebut tampak bertentangan dengan analisis Darwin. Darwin mengatakan bahwa evolusi adalah akumulasi perubahan yang sedikit demi sedikit dan acak melalui mekanisme seleksi. Sementara hukum Mendel mengungkapkan bahwa gen yang berciri lemah tidak dimunculkan pada generasi kedua, tapi akan diteruskan pada turunan berikutnya. Sehingga, perkembangan selanjutnya setelah hukum Mendel menguasai dunia, hukum itu menimbulkan perdebatan sengit antara pengikut Darwin dan pengikut Mendel.
pada akhirnya, nama Mendel ditemukan kembali secara terpisah oleh tiga ilmuan lama setelah kematian Darwin, yaitu pada tahun 1900. Masing-masing; Hugo de Vries dari Belanda, Carl Correns dari Jerman dan Erick von Tschermak dari Austria. Ketiganya adalah pakar botani, yang melakukan eksperiment setelah membaca karya Mendel.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita uraikan dulu inti hukum Mendel tersebut. Yaitu; semua organisme hidup terdapat unit dasar yang disebut gen, secara khusus diturunkan oleh orangtua kepada anak-anaknya, sehingga memiliki ciri pribadi. Suatu tumbuhan mewariskan satu gen tiap pasang dari tiap “induk”-nya. Tetapi, gene yang berciri lemah tidaklah terhancurkan dan mungkin diteruskan kepada tumbuhan keturunannya.
Hukum Mendel ini diadopsi juga oleh Wiliam Beteson, Ilmuan berkebangsaan Inggris. Bateson masuk dalam jajaran penentang ajaran Darwin. Ia percaya bahwa evolusi terjadi berupa lompatan jauh dari satu bentuk ke bentuk lain tanpa adanya organisme perantara. Menajamkan argumennya, pada 1894 ia menerbitkan buku yang menyatakan bahwa ada proses pewarisan partikulat (butiran halus pada keturunan).
Pada tahun 1903, ahli genetika Amerika bernama Walter Sutton mendapatkan bahwa kromosom-kromosom menunjukkan prilaku tepat seperti faktor-faktor Mendel; berpasangan, tiap belah dari orangtua. Pada fase itu juga, pelopor genetika Amerika Thomas Hunt Morgan beralih menjadi pengikut Mendel dan mendirikan sekolah genetika. Kini namanya diabadikan dalam satuan jarak genetik, centimorgan. Baru pada tahun 1918 muncul pemikir cemerlang yang bernama Ronald Fisher yang berupaya mendamaikan dua kutub berbeda itu. Katanya, ajaran Mendel memasok bagian-bagian yang belum ada dalam struktur yang ditegakkan Darwin.
Terobosan baru pun muncul dengan kehadiran Herman Joe Muller, penemu mutasi gen sintetik, suatu realitas potongan yang menghambat laju teori Mendel ataupun Darwin. Penemuan ilmuan yang berselisih dengan banyak orang ini menghadiahkan nobel untuknya.
Muller membomi lalat buah dengan sinar X, membuat gen-gen lalat itu termutasi sehingga turunannya menunjukkan sifat-sfat yang berubah. Atau, sehabis mereka dibom, mereka tetap gen, tetapi bukan gen yang sama.
Pada tahun 1940, George Beadle dan Edward Tatum mencobakan sinar X Muller pada jamur roti yang disebut Neurospora. Hasilnya menunjukkan bahwa mutan-mutan itu gagal membuat bahan kimia karena tidak memiliki enzim tertentu untuk mendukung kerjanya. Sehingga ia menyusun satu hukum dalam biologi; satu gen menyintesa satu enzim, yang untuk sementara diakui benar.
Tiga tahun kemudian, Linus Pauling menemukan terjadinya kesalahan gen dalam pembuatan protein hemoglobin, dimana sel-sel darah merah berubah menjadi bentuk sabit pada penderita anemia. Kesimpulan ini sesuai dengan teori Mendel, dengan begitu jelaslah bahwa gen-gen adalah resep untuk pembuatan protein, sedangkan mutasi adalah protein yang berubah lantaran gen yang berubah.
Ya, gen belum sepenuhnya diketahui, ia masih seputar misteri. Pendekatan Friefrich Miescher lebih tertuju pada pendugaannya terhadap asam nukleat sebagai pembawa pesan hereditas. Suatu asam yang disolasi pertamakali dari sebuah perban berlumur nanah bekas serdadu yang terluka, di sebuah kota Jerman, Tubingen tahun 1869. Asam nukleat saat itu telah diketahui terdapat dalam kromosom, namun tak banyak dibicarakan atau tak dihiraukan oleh para ilmuan.
Fenomena Muller membuat seorang pemuda berusia 19 tahun terkesan dan membuatnya ke Bloomington, Indiana. Pemuda yang barusan menyandang sarjana muda itu bernama James Watson, sepertinya ia punya solusi besar terhadap kebingungan terhadap misteri gen ini.
Di Indiana, Watson belajar di bawah asuhan seorang imigran Iralia, Salvador Luria. Ia pun mengembangkan sebuah hipotesis bahwa gen terbuat dari DNA dan bukan protein. Untuk membuktikan keyakinannya, Watson bergerak ke Denmark, namun karena tidak puas di sana, ia pindah ke Cambridge pada Oktober 1951. Di laboratorium Cavendish, nasib mempertemukannya dengan mitra cemerlangnya, yaitu Francis Crick.
Crick bukanlah orang muda, usianya sudah 35 tahun, ia pun belum memperoleh gelar PhD, lantaran sebuah bom Jerman menghancurkan percobaannya d University College, London, terhadap pengukuran viskositas air panas dalam keadaan bertekanan. Crick diam-diam tidak puas terhadap obsesi sebagian besar ilmuan mengenai protein. Ia pun curiga bahwa DNA-lah kunci jawabannya.
Mendapat tawaran dari Watson, ia meninggalkan riset sebelumnya tentang kristalografi di Cavendish dan terlibat menggeluti DNA. Dengan begitu, lahirlah kalaborasi indah dalam sejarah sains. Yang satu pemuda Amerika yang ambisius, punya penalaran duakali lebih cepat dari manusia pada umumnya, serta punya dasar pengetahuan biologi. Sementara yang satu lagi adalah orang Inggris yang sedikit berumur, periang dan sama-sama cerdas, punya dasar fisika walau kadang tak fokus.
Hasil kalaborasi yang bersifat eksoterm itu menghasilkan penemuan DNA. Suatu asam nukleat yang menyimpan sandi yang tertulis di sepanjang untaian heliks berpilin rangkap dua (double helix), seperti anak tangga. Sandi-sandi menyalin diri lewat tarik menarik kimiawi serta sebagai resep pembuatan protein.
Kendala selanjutnya adalah menerjemahkan sandi-sandi genetis tadi. Solusi ini datang dari otak cemerlang Crick, ia mengelompokkan susunan kata-kata yang terdiri dari A, C, T dan G dalam kelompok tiga-tiga. Masing-masing mengandung tiga huruf yang sama dalam urutan rotasi yang sama. Semisal, ACT, CTA, dan TAC, karena masing-masing C jatuh sesudah A, T sesudah C, dan A sesudah T. Dimana hanya satu kata pada setiap kelompok yang dapat bertahan, sehingga yang tersisa ada dua puluh kata, inilah yang terdiri dari 20 asam amino. 20 yang menurutnya angka ajaib karena tersusun rapi dan menggunakan dalil-dalil fisika yang masuk akal.
Masa teoritis itu berlalu ketika Marshall Nirenberg dan Johann Matthae berhasil menguraikan satu kata, yakni membuat sepenggal RNA dari Urasil yang setara dengan Timin pada DNA. So, kata pertama yang berhasil dicerna adalah UUU yang berarti fenilalanin, dimana ribosm membuat satu protein dengan menjalin sejumlah fenilalanin.
Baru pada tahun 1965 seluruh sandi telah dapat dibaca, dengan begitu zaman biologi modern pun telah dimulai... Demikian uraian singkat padat ini. Semoga bermanfaat..

Diolah dari buku Matt Ridley, GENOM
Takisung, Dalam Mes Tambak Kepiing
Selasa, 16 Juni 2009
Idham Malik




0 komentar:

Lika-Liku Penemuan DNA