semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Budaya Populer dan Prilaku Mahasiswa


Awal September tahun ini, Mahasiswa Baru yang terseleksi lewat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), siap-siap menjajaki dunia barunya di kampus merah. Unhas pun tentunya akan menawarkan beragam rasa baru, warna yang berbeda. Tapi, maba-lah yang menentukan pilihan, apakah ia menelannya bulat-bulat seperti memakan onde-onde atau mencicipi sekadarnya saja.

Awal peralihan ini bagi sebagian mahasiswa berpengaruh di atas 50 persen, di bawah 50 persen atau tidak berpengaruh sama sekali. Tergantung pola pikirnya, apakah ia menepatkan rasionalitas di titik puncak sementara nurani di puncak yang lain, atau malah menempatkan keduanya di titik terendah dan nafsu pada tingkat teratas. Tapi, maba jangan dijadikan kambing hitam, karena lingkungan dan background-nya turut ambil andil besar. Ini tak lepas dari jiwa remaja yang mudah tereksploitasi oleh sensasi, trend, musik, mode yang berbau asing. Pilihannya telah terampas oleh budaya massa yang identik dengan budaya populer, dimana media menjadi medan utama propagandanya. Sebagian remaja sudah tak bebas untuk berpikiran jernih tentang dirinya, masa depannya, ia sekadar ikut arus trend yang selalu berubah-ubah, seperti gelembung soda yang dikocok dan saat tutup botolnya dibuka akan mengeluarkan bunyi pop (populer).

Budaya populer ini terekam dalam sajian hangat media beberapa tahun terakhir ini. Macam Indonesian Idol, Mamma Mia, Idola Cilik. Yang pada intinya adalah untuk mengeruk laba dari dukungan pemirsa. Masyarakat dipaksa menggunakan logika instan, padahal yang namanya instan pasti tidak sehat. Lihat saja mie instan. Prilaku remaja pun ikut arus terhadap segala hal tentang idolanya dan trend yang sementara marak. Terakhir yang menjadi trandsetter adalah busana Distro yang dipopulerkan Band Ungu.

Menurut Hikmat Budiman dalam Lubang Hitam Kebudayaan, bahwa terdapat tiga ikon budaya massa yang menjerumuskan prilaku remaja. Yaitu, Hamburger Mcdonald sebagai ikon realitas konsumsi massa, komputer sebagai icon teknologi simulasi, informasi, dan komunikasi massa, dan MTV sebagai ikon hiburan massa. Ketiga ikon ini selalu membuntuti kita, walaupun kita ini mahasiswa yang radikal, dosen yang kritis, petani, atau pun agamawan tetap tak dapat hidup dalam ruang yang sepenuhnya bebas dari infiltrasi media dan budaya massa. Selama kita masih membaca koran, memakai komputer, atau menonton TV, maka selama itu pula media dan realitas-realitasnya membentuk kita lewat propagandanya. Celakanya, banyak diantara kita yang sulit keluar dari lubang hitam budaya massa tersebut.

Justru, budaya massa ini semakin massif menyerang kampus, dapat diamati lewat busana mahasiswa yang ala barat, katanya lebih percaya diri jika memakai kaos oblong dengan celana jiens ketat, prilaku mahasiswa apalagi yang tinggal di pondokan banyak yang menerapkan pergaulan bebas ala American Style, konser musik dengan embel-embel spanduk iklan rokok yang menggegerkan kampus, hingga maraknya Friendster dan chatting paska pemasangan fiber optik di wilayah kampus.

Dengan begitu kemerdekaan kita telah tergadaikan oleh tatanan dunia baru yang sengaja direkonstruksi kekuatan raksasa barat untuk menopang laju industri kapitalnya. Para remaja, termasuk mahasiswa dijadikan lahan untuk memasarkan produk-produknya, menanamkan ideologi konsumerisme dan hedonisme yang memprioritaskan hura-hura lantas menumpulkan kearifan lokal kita. Implikasinya, mental kita menjadi lemah, emosi cepat tersulut, pondasi agama kian tergerus, dan dekadensi moral. Buntutnya negara kita Indonesia tak dapat lepas dari krisis.

Ada indikasi bahwa serbuan budaya populer ini sebagai faktor utama penyebab menurunnya semangat kebermahasiswaan kita. Mungkin sudah jarang mahasiswa yang faham teori-teori besar yang membangkitkan semangat keilmuan dan perjuangan. Sosial kontrol dan kritisisme mahasiswa terhadap masyarakat dan pemerintah tergantikan oleh semangat chatting ngorol ngidul, utak-atik friendster hingga larut malam atau nonton bareng Batman Forever di bioskop M’TOS. Jangan sampai istilah “Bahenol” (Badan Seksi Otak Nol) banyak bertebaran di antara kita.

Kembali kepada Adik-adik yang baru lulus, kampus di sisi lain tak ubahnya dengan miniatur dunia. Di sana banyak mutiara ilmu, kalian bebas memilih ragam ilmu dan institusi yang dapat memupuk bakat kalian. Tapi, di kampus juga banyak ranjau. Kata senior-senior, kampus lengkap, ada ustadnya, ilmuannya, setannya juga ada. Jadi terserah apakah Anda ingin menjadi Ustasd, ilmuan, atau setan.



3 komentar:

Olive Tree mengatakan...

Hi, it's a very great blog.
I could tell how much efforts you've taken on it.
Keep doing!

Budaya Pop mengatakan...

Jadi kesimpulannya, budaya populer sudah merasuki seluruh sendi kehidupan kita. Lalu, adakah solusi mengatasi serbuan budaya populer yang merupakan lambang kapitalisme?

Idham Malik mengatakan...

iya, ada.

dengan membuka kesadaran kaum muda, untuk mempelajari sejarah perjuangan Indonesia, beserta segala kebohongan-kebohongan yng ditawarkan penganut neoliberal..

sehingga, mereka lebih dapat mandiri dan berpikir merdeka. tidak dibatasi oleh bujukan mesra kaum kapitalis yng hendak menghancurkan generasi muda lewat produk2 murahannya..

maaf, saya tak bisa menawarkan solusi konkrit.

Budaya Populer dan Prilaku Mahasiswa