semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Keliling Jl. Pangeran Antasari Banjarmasin, hingga Menyusuri Sungai Kapuas



Rabu, (29/7/09), dini hari, adalah detik-detik terakhir keberadaan saya, Yasir dan Kak Alam di tambak Kepiting PT Handy Royal Indonesia, Kec. Takisung, Kab. Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Setelah pamit dengan pegawai tambak, bersalaman dengan mereka yang telah menanam bibit bersaudaraan di lubuk hati, ada rasa haru yang meluap. Berbiak pula rasa bangga yang menggebu, lantaran telah bergabung dan cukup berperan dalam lingkaran mereka. Lingkaran kecil yang penuh makna. Bagaimana tidak, dua bulan kami jalani hari bersama, bercengkrama dan berbagi pengalaman. Mencoba memahami seluk-beluk manusia dari dekat, dengan jalan bertukar pikiran dan perasaan. Pun setelah bersalam-salaman dan bercanda, kami ikut ke daerah Cempaka, Kab. Banjar Baru, bersama mobil Daihatzu yang memang saban dini hari bertugas mengantar kepiting lunak ke Bandara Noor Syamsuddin.

Sehari kami di Cempaka, di kediaman Ibu Aslamyah, salah seorang dosen kami yang merupakan orang Banjar. Di Cempaka kami betul-betul merasakan kehangatan keluarga orang Banjar, ya, sepertinya bisa dikatakan kami sudah dianggap keluarga sendiri lah. Pagi hari kami pun menikmati kembali sajian kepiting lunak, ikan sepat kering, ikan sepat goreng dengan sayur jagung. Hidangan itu disajikan oleh kakak-kakak keluarga Banjar itu.


Kamis, (30/7/09), saya dan kak Alam hendak berangkat ke Sangiang, Kec. Kahayan Kuala, Kab. Pulang Pisau, salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah yang terletak di muara Sungai Kapuas. Rencananya kami ke kahayan Kuala untuk melihat tambak udang di sana, yang dengar-dengar luasnya sepanjang mata memandang.

Pagi-pagi benar kami bersiap, kemudian pamit dengan Kak Iksan, Adik Aslamyah, saat embun masih melengket di daun mangga dan hawa dingin masih merebak. Ya, kami bergerak ke pasar lima, Banjarmasin, terlebih dahulu, menunggu Sabang, pamannya Kak Alam yang rencananya akan mengantar kami ke Pulang Pisau. Di Banjarmasin, sambil menunggu kami keliling-keliling di sekitar Pasar Baru jalan Pangeran Antasari, dan sebagian Jalan Pangeran Samudra. Lama juga kami berjalan-jalan, melihat toko-toko eceran, buah-buahan, elektronik dan toko baju.

Dalam hati ini, masih ada rasa bingung, lantaran rada-rada masih tak percaya dapat melanglang buana di kota seribu sungai ini. Sudah tiga jam kami berjalan dari toko yang satu ke toko yang lain, capek juga rasanya. Tampaknya, dua bulan tinggal di Kalimantan Selatan ini, sudah ada penyesuaian dari dalam. Bagaimana tidak, berkeliling di Banjarmasin sudah serasa memandang Makassar. Tak ada lagi rasa was-was. Walau sikap waspada tetap menjadi benteng pertahanan.


Pukul 11.00 wita, Pak Sabang sudah tiba, kami bertemu di Jalan Pangeran Samudra, saat itu, saya baru saja berselancar di dunia maya, berkomunikasi dengan perangkat facebook dengan kawan-kawan di Makassar. Pak Sabang datang berdua dengan Pak Rahman. Belakangan saya pun paham bahwa dua orang ini bisa dikatakan pahlawan bagi orang bugis di Kalimantan Tengah.

Kami putar-putar lagi di pasar, Pak Sabang dan Pak Rahman singgah membeli hp, kak Alam membeli buah lengkeng, saya sekadar beli cass hp nokia, yng ternyata tak berfungsi ketika saya coba kedua kalinya. Kena tipu lagi jadinya, soalnya saya pun masih heran kenapa harga cass hp itu begitu murah, cuma Rp.15 ribu saja, tentang hal ini, istilah harga cina kualitas Jepang jadi tak berlaku deh. Dari pasar, kami menuju dermaga sungai Martapura untuk menunggu kelotok (baca: perahu) dekat jembatan di jalan Pangeran Antasari.

Di dermaga, saya membunuh waktu dengan mendengar cerita Pak Rahman, tentang pengalamannya melakukan usaha pengiriman udang galah dari Palopo ke Surabaya. Kebetulan saat itu, katanya petambak udang galah sangat kesulitan mencari pasar udang galah, sementara Pak Rahman mendengar bahwa di pulau Jawa, udang galah malah dicari-cari. Tanpa tedeng aling, ia pun memutuskan untuk melakukan pengiriman ke pengusaha Cina di Surabaya tanpa pernah tahu siapa dan bagaimana watak orang Cina itu. Ia hanya mengandalkan modal kepercayaan saja, mungkin orang Cina juga begitu.

Pak Rahman tampak sederhana, ia selalu berbahasa Bugis, dan sangat percaya diri jika berjalan dan bersapa dengan orang-orang lokal. Sembari memandang perahu dan kesibukan orang-orang di dermaga, saya pun dengan khusyuk mendengarkan cerita Pak Rahman tentang jelajah orang Maros di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Ternyata, ia adalah sosok yang punya peranan penting dalam pembukaan lahan tambak di muara sungai Kapuas, Kec. Kahayan Kuala.

Sejak 2005, ia telah melakukan pembelian lahan dari para warga Dayak dan suku Banjar. Di samping tak henti menjalin kerjasama dengan pemerintah setempat untuk memuluskan jalannya dalam pengurusan hak alih tanah serta kemudahan-kemudahan akses pasar, penyediaan fasilitas listrik, air, pupuk dan fasilitas pendidikan , kesehatan dan ibadah. Selama empat tahun upaya itu, ia telah membuka jalan bagi orang-orang bugis lain, yang dominan asal kota Maros dan Pangkep, sekarang sudah ada 350 kepala keluarga di kawasan tambak tersebut. “kita menjalin hubungan baik dengan orang Banjar dan Orang Dayak, menganggap mereka sebagai saudara sendiri. Sekaligus berusaha untuk membimbing mereka agar lebih maju,” ungkap Rahman, sebentar-sebentar menghembuskan asap rokok.


Perahu hendak berangkat, kami segera melompat ke klotok sungai. Sekitar 10 menit menyusuri sungai Martapura, kelotok merapat ke bawah sebuah jembatan besar. Rahman pergi sebentar untuk mengambil uang hasil penjualan udang windu sebanyak 200 kilogram. Harga perkilonya sekitar Rp. 50 ribu, tergantung ukurannya. Jadi jika diperkirakan, pak Rahman dan Pak Sabang memperoleh hasil penjualan kurang lebih Rp. 10 juta. “Ini baru 40 persennya. Sisanya belum dijual,” kata Pak Sabang.

Sembari menunggu pak Rahman ke gudang udang, saya mengisi waktu dengan memesan teh es. Saat itu, saya mulai kenal dan dekat dengan Pak Sabang, ia juga adalah petani tambak yang telah memiliki lahan seluas 10 hektar di Pulang Pisau. Saat di pasar saja, saya melihat pak Sabang ini mengeluarkan segepok uang pecahan Rp. 100 ribu dari koceknya. Dalam benak ini berkata, “hebat juga orang Maros ini, membawa-bawa duit jutaan rupiah dalam kantong, tanpa dompet lagi”.

Pak Rahman datang, kelotok melaju lagi. Sepanjang sungai, saya menyaksikan rumah-rumah panggung khas banjar berderet-deret. Kecepatan kelotok bertambah, menimbulkan percikan air sungai ke tubuh kami. Posisi saya juga memungkinkan terkena percikan air, karena duduk di bagian haluan kapal. Jadi, Jika tak berlindung di balik terpal, dalam waktu sebentar saja, kita bakalan basah kuyup. Saya pun membentengi tubuh dengan menggunakan sarung. Sebelumnya saya mendengar bahwa perjalanan ke Khayan Kuala lewat jalur sungai Kapuas membutuhkan waktu hingga enam jam ke atas. Wah-wah, asyik juga tuh, berarti tantangan baru nih.. hehehe..

30 menit mengarungi sungai, klotok kembali berlabuh di warung-warung terapung, Mandibulin. Warungnya berjumlah kurang dari sepuluh, masing-masing menjual keperluan sehari-hari, dan kebutuhan vital transportasi sungai, yaitu menjual bensin. Warung-warung itu sambung menyambung, terbuat dari papan kayu seperti bangunan rumah Banjar pada umumnya, tegak di atas gundukan bambu. Ada pula warung yang alas bambunya sudah keropos, hendak rubuh tampaknya. “kami mengganti bilah bambunya satu persatu perbulannya, bisa juga diganti satu gundukan jika sudah terlihat parah,” ungkap penjual warung yang saya lupa tanyakan identitasnya. Di warung itu, supir hanya membeli bensin klotok untuk dipakai hingga tiba di Kahayan.

Melangkah dari Mandibulin, kami memasuki wilayah sungai Barito. Luasnya minta ampun, baru kali itu saya melihat sungai yang luasnya tak terkira. Serasa memandang danau saja lah. Arusnya juga kencang, yang jika ditabrak oleh mulut kelotok yang juga melaju cepat menimbulkan dentuman disertai percikan-percikan ke arah tubuh kami. Kelotok pun bergoyang dahsyat.

Ketika itu, saya melihat gelondongan-gelondongan kayu besar terapung di permukaan sungai. Sepertinya sejenis kayu ulin, yang dengar-dengar semakin direndam semakin bagus kualitasnya. Di sungai Barito terdapat juga sebuah kapal yang ukurannya cukup besar. Sekali lagi, dalam batok kepala ini berdengung, “Asyik Bannar”.
Banyak macam sungai yang kami lewati, yang jika diamati sebenarnya sambung menyambung, hanya namanya saja yang berbeda. Menurut warga di sana, nama sungai biasanya diambil dari nama kampung atau desa tersebut, atau justru sebaliknya, nama desa diadopsi dari nama sungainya. Setelah Barito, klotok memotong kompas dengan melewati sungai Anyir, sejam kemudian klotok tiba di sungai yang cukup populer, yaitu Kapuas.

Melihat kapuas, sama dengan melihat kakak Barito. Kapuas ini tampak lebih lapang. Saat itu, angin berhembus kencang, percikan-percikan air kembali membasahi wajah dan busana kami. Meski begitu, dalam pikiran ini bergumam, “tak apalah, yang jelasnya Kapuas telah kujelajah”. Sebelumnya, tak pernah sekalipun terpikirkan dalam batok kepala ini tentang nama Kapuas. Menyusuri Kapuas saya ibaratnya mendapat durian runtuh. Boleh disebut sebagai pengalaman tak terperikan sepanjang hidup.

Kapuas luasnya sepanjang mata memandang, batasnya merupakan garis hijau yang bergunduk-gunduk di kejauhan, tampak kecil di pandangan saya. Ya, kebetulan saat itu klotok kami berada di tengah-tengah sungai, jadi dapat melihat sekeliling sungai. Di atas klotok, saya duduk tenang, punggung merunduk berlindung dari terpaan percikan air. Muncul sekali-kali perasaan was-was, jika saja terjadi hal buruk yang datang tiba-tiba. tapi, hati kecil saya berucap, “Pun jikalau Tuhan hendak mengambil ciptaannya, ambillah Tuhan, saya telah pasrah”.

Setelah melaju sekian lama, klotok mendekati area pemukiman pinggir sungai Kapuas. Pemukiman tersebut tampak cukup ramai, rumah-rumah yang bahan bangunannya dominan kayu itu berdiri tegak di atas pinggir sungai. Rumah khas Banjar yang antar rumah yang satu dengan rumah lainnya cukup rapat, sepertinya agak sulit mendapatkan rumahnya yang mempunyai halaman rumah yang sedikit lapang. Banyak pula klotok-klotok sungai yang merapat, di samping kapal-kapal penumpang berukuran sedang.

Cukup lama klotok menantang arus dan gelombang Kapuas, tak lama kemudian lebar Kapuas menyempit, luasnya sama dengan ukuran sungai biasa. Sepanjang sungai yang ukurannya standar dan tepian-tepiannya tak berpenghuni itu, terlihat beragam pohon-pohon bakau yang sebagian batangnya terendam air. Airnya tenang, meski tetap ada sedikit gerakan arus dan gelombang. Bosan melihat pemandangan yang tak jauh beda dalam jangka yang lama, rasa kantuk pun merubung. Pandangan pun lenyap, hilang ke dunia mimpi.

Badan tersentak oleh goyang klotok, saya terbangun, sekejap saya melihat penumpang-penumpang lain juga tertidur. Meski dengan posisi yang beragam. Pak Sabang tidur di krucut haluan klotok, Pak Rahman menyandarkan kepala di tepian atas perahu di samping supir atau nakhoda, kak Alam merunduk dan berlindung dalam handuk merahnya di sebelah saya. Ketika itu pun saya melihat pemukiman sepanjang sungai, meski antar rumah yang satu dengan rumah yang lain tidak berdekatan. Tampak pula aktivitas mereka yang beragam, kebetulan saat itu hari telah sore, jadi aktivitas yang dominan adalah mandi sore. Penduduk daerah yang dari papan penguman di pinggir sungai saya baca sebagai daerah Batan Kapuas itu mandi tepat di belakang rumahnya dengan menggunakan air sungai. Ada penduduk yang sedang mengendarai sampan, ada ibu-ibu yang lagi mencuci pakaian, ada juga anak-anak yang sementara asyik bermain-main air. Dari kulit mereka saya mengetahui bahwa mereka itu masih orang Banjar.

Baru sejam kemudian terlihat pemukiman orang Dayak, rumahnya tampak jarang-jarang. Mereka juga melakukan aktivitas yang sama, yaitu cari ikan dengan sampan, mandi di belakang rumah dengan air sungai. Baru kali ini saya melihat orang Dayak, kulitnya merah, mata mereka tajam menatap kami.


Saat melaju di sungai Tirusan, seorang awak klotok datang menghampiri. Namanya Ari, umur 25 tahun. Saya menyambutnya dengan hangat, mendekatkan kuping ke wajahnya. Suara Ari terdengar samar, tampak bersaing dengan suara klotok di kupingku. Tapi, saya berusaha untuk menyimak seluruh pembicaraannya.

“Sudah punya istri Mas,” katanya. Saya jawab belum.

“Saya punya dua, tapi yang pertama sudah cerai. Istriku ini masih mudah, umurnya baru 18 tahun. Saat itu dijodohkan oleh keluarga”

Sebelum nikah, Ari suka berfoya-foya, menghabiskan uang hasil penjualan kayu atau pun ikan dengan bermain perempuan dan mabuk-mabukan. Karena itulah ia dijodohkan. Katanya, Ia bermukim di Pugak, Kalteng, dua kali sepekan ia pergi menjual udang dari Bahaur atau Pulang Pisau ke Kapuas dan Banjarmasin. Hasil penjualan biasanya untung Rp.500, perak perkilo-nya.

Menariknya, saat itu Ari juga menceritakan tentang penjualan kayu melalui perantara sungai Kapuas ini. Ia pernah berdagang kayu pada tahun 2000-an, mengantar kayu dari Sebangau ke Pangka Lambun atau ke Kapuas. Dari hasil bisnis kayu itu, ia biasa mengkantongi uang Rp. 20 Juta hingga Rp. 60 juta, saat itu ia sekadar menjalankan bisnis ayahnya dengan orang Cina di Pangka Lambung. ”Pada masa Megawati, kami masih bebas-bebas menjual kayu, tapi sejak pemerintahan SBY, saya berhenti menjual kayu, terlalu banyak patroli,” ujar Ari. Ia mengakui bahwa pemerintahan SBY menghambat usaha penjualan kayu, telah banyak para penjual kayu merugi karena kayu-kayunya disita oleh Polisi.

“Sekarang ini orang hanya bisa menjual kayu sebanyak dua kubik, kalau lebih akan disita,” Kata pria berbadan lebar dengan wajah kekanak-kanakan ini. Kalau dua kubik, para pedagang kayu dapat beralasan bahwa kayu tersebut bukan untuk dijual ke luar negeri atau ke para cukong kayu, tapi sekadar untuk bangun rumah.

Kayu yang biasa Ari jual adalah kayu jenis Punak, Lanan, dan Ulin. Kayu jenis Punak ia beli dengan harga perkubiknya sekitar Rp 1,8 juta, sementara Ulin diperoleh dengan harga sekitar Rp. 4,4 juta. Punak jika ia jual bisa hingga Rp. 5 juta dan Ulin jika dijual dapat memperoleh Rp. 8 juta. Tapi, kini kayu Ulin sudah jarang yang diperjual-belikan, biasanya kalau didapat oleh Polairut atau TNI bisa disita.

“Bisnis perdagangan kayu pun kami kadang tekor, terlalu banyak tagihan, mulai dari pajak perdagangan kayu, belum lagi setor ke polairut, TNI, dan pajak-pajak lainnya. Biasanya untung perkubiknya hanya Rp. 500 ribu saja,” tambahnya.

Mengamati perbincangan Ari, saya tak dapat menarik kesimpulan lebih jauh. Dalam hati ini ada pikiran bahwa usaha penjualan kayu itu mesti diminimalisir, untuk antisipasi laju penebangan pohon di pedalaman Kalimantan. Tapi, bukan hanya rakyat kecil saja yang dikontrol, tapi juga para cukong-cukong besar yang bersembunyi di balik birokrasi. Merekalah yang mesti menjadi target utama, pun orang-orang seperti Ari harus dipikirkan matang-matang masa depannya. Mengingat peluang kerja telah menipis, sementara sumberdaya manusia di daerah-daerah kecil itu terbilang lemah. Meski begitu, saya menaruh hormat dengan pemerintah, karena mampu menciutkan matarantai perdagangan kayu di Kalimantan, yang tahun-tahun lalu sangat sulit untuk dibrantas.


Kami tiba di sungai Kahayan Kuala, klotok melaju cepat di tepian pasar Bahaur. Sesampai di dekat dermaga, Pak Rahman angkat kaki dari klotok, ia tak ikut ke tambak Pulang Pisau, tapi hanya sampai ke Bahaur, 20 kilo dari Desa Papuyu III, lokasi tambak. Maklum, pak Rahman ini punya rumah di tengah pasar Bahaur. “Rumah tersebut adalah pemberian orang Banjar, orang tersebut punya nenek orang Bugis,” Kata Pak Rahman. Ia mengajak saya berkunjung ke rumahnya untuk bercerita semalam suntuk. Saya hanya menjawab semoga ada waktu besok.

Kami melanjutkan perjalanan ke Desa Papuyu III, Pulang Pisau. tiga puluh menit kemudian klotok tiba di muara sungai. Mata sudah dapat memandang laut di hadapan. Klotok pun berbelok memasuki gang sungai kecil, melaju di pinggir-pinggir pematang tambak atau rumah penghuni orang tambak. Maklum, orang-orang yang tinggal di sini disebut otang Tambak. Sesampai di samping rumah Pak Sabang kami pun melompat ke permukaan tanah. Berusaha menahan kedinginan lantaran tubuh telah basah kuyup. Hebatnya, saat tiba itu saya merasakan suasana khas, seperti di kampung halaman saya sendiri. Ya, orang-orang tambak ini dominan orang Bugis, makanya perbincangan mereka kedengaran tak asing, yaitu berbahasa Bugis.

Mengamati mereka, tiba-tiba saja muncul rasa bangga menjadi orang Bugis, etnik penjelajah, pantang menyerah sekali biduk terkembang. Rasanya, sekali lagi seperti pulang kampung, deh..

2 Agustus 2009
Banjar Baru, Kalsel
Idham Malik



1 komentar - Skip ke Kotak Komentar

Blogger mengatakan...

SAYA MAS ANTO DARI JAWAH TENGAH.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…

**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<






SAYA MAS ANTO DARI JAWAH TENGAH.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…

**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<

Keliling Jl. Pangeran Antasari Banjarmasin, hingga Menyusuri Sungai Kapuas