semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Corak Interaksi Warga Desa Pagatan Besar


Selasa malam (2/6/09) dua bulan lalu, adalah malam pertama saya menetap di mes tambak kepiting desa Pagatan Besar, Kecamatan Takisung, Kab. Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Pada malam itu, saya dan Yasir, teman sekampus yang ikut ke desa ini untuk penelitian kepiting lunak di ajak oleh Anwar, seorang pegawai tambak untuk jalan-jalan ke warung. Sepanjang perjalanan ke warung itu lah saya mendengar desas-desus tentang interaksi warga desa Pagatan Besar. Saat itu angin malam sangat menggigit, kami diterangi cahaya bintang yang berkilau.

Anwar berucap lirih, mengutarakan kekhawatirannya terhadap pola interaksi warga kampung di sekitar tambak. Katanya, kita tak boleh macam-macam bertingkah dengan warga kampung, apalagi memberanikan diri bertamu seenaknya di rumah warga yang kebetulan kita kenal dekat dengan anak gadis empunya rumah. “Kalau kita berani melakukan itu, bisa-bisa kita dikeroyok keluarga si gadis,” tambah Anwar. Apalagi dengan sengaja menolak tawaran orang tua si gadis yang ingin meminangkan anak gadisnya ke sang tamu.

Anwar menegaskan lagi, penduduk di sini sangat sensitif, jadi jangan coba-coba. Ia pun menceritakan pengalaman buruknya berhadapan dengan sesama pegawai yang penduduk lokal. Ia pernah ditodongkan pisau ke lehernya, lantaran persoalan honor yang telat ia bayarkan. Kebetulan Anwar ini adalah pegawai yang bertugas membayar honor pegawai saban bulannya. Sejak malam itu, timbul pertanyaan besar dalam benak saya, kenapa bisa demikian??

Esoknya, tepatnya pada sore hari yang sejuk, saya bersama Yasir berinisiatif jalan-jalan di seputaran kampung. Tak jauh kami berjalan, sekitar 60 meter dimana kami nonkrong di pinggir sungai Pagat di samping jembatan. Kami lama bercerita hingga matahari lenyap di antara bendera perahu nelayan, langit berubah jadi merah senja. Saat balik ke tambak itulah kami mendapatkan fenomena aneh, kebetulan kami berpapasan dengan beberapa pegawai perempuan yang hendak pulang ke rumahnya masing-masing dengan mengendarai sepeda. Spontan kami melempar senyum kepada mereka, sembari berucap sapa.

“Halo.. selamat sore,” kataku. Mau tahu apa yang terjadi? Mereka tak membalas senyum dan sapa kami. Malahan menunduk dan meneruskan perjalanan, bahkan ada yang pura-pura tak melihat kami dan meneruskan percandaan mereka. Mengalami peristiwa itu, betul-betul dibuat malu saya ini. Dicuekin oleh gadis beramai-ramai.. hehehe..

Beberapa hari berikutnya, saya sering bertukar cerita dengan seorang pegawai quality control asal kota Malang bernama Supariono. Bapak yang biasa saya sapa Mas Supar ini selalu mengajak saya jalan-jalan ke warung untuk santap wadai (baca: kue) sembari menyeruput kopi. Jika sudah di duduk berdua, pembicaraan pun akan berlangsung lama. Banyak topik yang kami diskusikan, mulai dari hukum hingga ke politik, sejak kepiting hingga ke keluarga dan kampung halaman.

Mas Supar ini ternyata pernah ke pergok oleh ibu penjaga warung ketika mengantar seorang gadis lokal bernama Biah yang juga pegawai di tambak. Mas Supar mengaku, saat itu Biah lagi sakit dan minta izin untuk pulang ke rumah, maka ia antarlah si Biah balik istirahat di rumahnya. Ibu penjaga warung itu pun senyum-senyum rendah sambil menampilkan wajah mengejek ke Mas Supar. Sobat baru saya itu cuma sumringah saja, tak menanggapi serius. Malah, tahu-tahu Ibu itu menanyakan status Supar dan menawarkannya untuk menjadi menantu. Hahaha, Mas Supar justru cengengesan dan mengalihkan pembicaraan. So.. hari itu, asumsi awal saya tampak kian kuat, bahwa penduduk di sini sungguh sensitif dan sangat perduli terhadap kehidupan orang lain.

Bersama Mas Supar saya mengamati interaksi antar warga, mengintip-intip isi rumah penduduk yang dominan terbuat dari kayu ulin untuk tiangnya yang pendek dan kayu galam untuk dinding-dindingnya. Hal aneh pun tampak, rata-rata isi rumah tak punya kursi tamu. Timbul pertanyaan, apakah ini sudah kebiasaan puak melayu untuk duduk lesehan, tak punya uang berlebih untuk beli kursi, atau memang kursi tamu tak terlalu dibutuhkan untuk interaksi sehari-hari.?

Korelasi terhadap unsur material itu adalah sangat jarangnya terlihat di dalam rumah mereka hadir tamu untuk bincang-bincang, atau sekadar gosip antar ibu-ibu rumah tangga. Saat balik, saya konfirmasi ke Ibu warung. Ia membetulkan hal itu, warga di sini memang sangat jarang berinteraksi. Pun interaksi hanya tampak terjadi di ruang-ruang publik, seperti warung-warung di pinggir jalan, serta di tempat-tempat kerja, macam pinggiran pantai untuk para nelayan dan di tengah sawah untuk para petani.

Pulang ke mes, saya sering konfirmasi ke teman-teman pegawai tambak, tapi jawabannya tak ada yang memuaskan. Semua masih berasumsi dan tak ada yang berani mencoba untuk interaksi langsung dan menemukan jawabannya. Meskipun mereka sudah bekerja di tambak ini sudah setahun lebih. Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku. Saya masih mencari-cari metode yang tepat untuk menemukan jawabannya.

Efek dari informasi dari Anwar dan Mas Supar itu, saya jadi segan berkenalan dengan gadis-gadis lokal yang bekerja di tambak ini. Padahal, kalau diamat-amati, mereka tampaknya ingin juga diajak berbincang. Tapi, mereka sepertinya masih memasang dinding tebal, sepertinya kami dilihat sebagai benda asing yang tak boleh disentuh. Kami dianggap membahayakan. Lantaran mereka tak menjawab salam saya, pun selama beberapa minggu saya pun tak pernah menegur-negur mereka. Payah juga yah..!

Dari hari ke hari, informasi selalu bertambah. Pertama-tama saya mencoba menelusuri fenomena ini dari sudut mata pencaharian warga. Asumsi awal saya bahwa prilaku dan karakter suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pekerjaan mereka. Menjawab asumsi itu, saya mulai sering ke warung, biasanya sore hari sehabis memberi makan kepiting penelitianku. Di warung itu, saya berharap mendapat informasi dengan warga tentang kehidupan di desa ini.

Suatu waktu, saat nongkrong di warung, saya menemukan seorang nelayan tua yang sudah pensiun. Ia sedang santai menghisap rokok sembari menikmati teh hangat. Saya ajaklah berbincang orang tua yang saya lupa namanya itu. Katanya ia bekerja sebagai nelayan sawi. Setiap bulan ia ikut bersama juragannya untuk mengarungi lautan mencari ikan-ikan komersil. Dalam satu kapal mereka biasa berlima, dan dalam sebulan bisa memperoleh hasil tangkapan dengan nilai Rp. 20 juta atau lebih. “dari hasil tangkapan itulah kami bagi-bagi, separuh untuk jurangan, separuhnya lagi kami bagi-bagi sesama sawi,” ungkapnya. Kalau tak beruntung, kita dapat mengutang ke juragan untuk menghidupi keluarga sehari-hari. “Pas hasil penangkapan bagus, baru kita bayar utangnya,” tambah nelayan berkulit legam itu.

Pernah juga saya berbincang dengan seorang nelayan muda berumur 25 tahun, namanya Rahmat. Saat itu, di pinggir pantai Takisung, Rahmat sementara membenahi pukat jaring yang biasa ia gunakan untuk menangkap udang putih di sekitar laut Takisung. Lama juga kami berduaan sore itu, saat matahari sebentar lagi tenggelam, saat langit telah menampakkan semburat merah. Ya.. saya sering ke tepi laut memandangi terbenamnya matahari, kalau dihitung hampir tiga kali sepekannya.

Rahmat bercerita bahwa sudah banyak nelayan di sini yang telah memiliki perahu sendiri, meski masih ada nelayan yang bekerja sebagai sawi dan ikut melaut sebagai buruh dengan kapal-kapal besar. Pada musim timur ini, kebanyakan dari mereka mencari nafkah dengan menangkap udang di laut-laut rendah tak jauh dari pantai. Lumayan hasilnya, dalam sehari ia bisa mengantongi duit sebanyak Rp. 450 ribu. Karena biasanya ia bisa menangkap udang sebanyak 15 kilo seharinya, sementara harga udang satu kilo berkisar Rp. 30 ribu. “Kalau musim barat, saya biasa ikut sama kapal besar untuk menangkap ikan tenggiri sampai ke lontar dan asam-asam. Sekali melaut bisa dapat uang Rp. 10 juta,” katanya.

Selasa sore, (28/7), hari terakhir kami di tambak kepiting desa Pagatan Besar, saya menyempatkan diri berkunjung ke pantai di desa Batiniau, Kec.Takisung. Di pantai tersebut saya menemui seorang nelayan separuh umur, bernama Bahar. Sama halnya dengan Rahmat, Bahar juga bekerja sebagai nelayan Udang, tapi Bahar ini tak seberuntung Rahmat, ia hanya mendapat dua sampai tiga kilo udang perharinya.

Secara umum, masyarakat desa Pagatan Besar dominan bekerja sebagai nelayan. Ada yang mempunyai perahu sendiri berukuran kecil dan sedang, biasa disebut klotok, dan ada yang ikut berlaut dengan juragan yang memiliki kapal penangkap ikan yang besar.


Walau telah berinteraksi dengan nelayan-nelayan ini, pertanyaan utama terhadap keunikan pola interaksi dan sistem sosial masyarakat ini sepenuhnya belum muncul benang merah. Hipotesis awal saya meninjau nelayan adalah sifat sistem masyarakatnya yang terbuka. Hal ini saya coba buktikan dengan mengajak beberapa di antara mereka berbincang, yang kemudian mendapat tanggapan positif. Namun, hal ini belum dapat menjadi patokan yang jelas mengenai masyarakat terbuka tadi.

Setelah beberapa hari mengamati pola interaksi masyarakat di sana, saya melihat jarang diketemukan ketergantungan antara warga yang satu dengan warga yang lain. Masing-masing keluarga punya penghasilan sendiri, yaitu sebagai nelayan sekaligus sebagai petani, ada sebagian yang menjadi pedagang dan pegawai negeri di tingkat desa. Melihat kenyataan itu, sempat saya berkesimpulan bahwa ini barangkali disebabkan karena tingkat ekonomi masyarakat yang sudah mapan?

Kesimpulan awal ini saya pegang erat-erat, sambil mengait-ngaitkan dengan penyebab lain. Ekonomi mapan di sebuah pedesaan, topik yang bagus saya kira. Model interaksi ini sudah biasa pada masyarakat perkotaan. Dimana tiap-tiap penduduk sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga urusan seorang warga jarang diketahui oleh warga lainnya. Pun kalau diketahui, mereka tak mau ambil pusing.

Tapi, selanjutnya saya menemukan fakta lain, berasal dari hasil diskusi dengan Bapak Sabang, petani tambak udang di Desa Papuyu III, Kec. Khayan Kuala, Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Sabang adalah orang Maros, Sulawesi Selatan, dan iaSudah dua tahun lebih bermukim di Kalimantan ini untuk mengusahakan peternakan ikan bandeng, udang tiger, dan udang sayur di tambak yang terletak di 20 kilo dari muara sungai Khayan Kuala itu.

Sabang mengatakan bahwa orang Banjar pada umumnya tidak terlalu memperhatikan tamu yang bertandang ke rumahnya, dalam artian penyediaan makanan. “Tapi orang Banjar itu suka berkawan,” tambahnya. Dari pernyataan ini bisa jadi pola interaksi masyarakat Pagatan tak beda jauh dengan Banjar pada umumnya, maksudnya bagi orang Banjar yang belum terlalu mengenal masyarakat daerah lain atau tidak memperoleh pendidikan tinggi. Karena masyarakat Banjar perkotaan, banyak juga yang sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut sudah bisa mereka anggap keluarga. Ya, masyarakat perkotaan sepertinya telah sadar terhadap efek buruk prilaku tersebut.

Pada awal pekan terakhir keberadaan saya di desa itu, saya berkunjung ke Kantor PT. Handy Royal Indonesia di Bati-Bati, salah satu kecamatan di Kab. Tanah Laut. Di sana saya punya kesempatan untuk berpetualang di dunia maya, internet. Berkomunikasi dengan kawan-kawan saya di Makassar dan di belahan Indonesia lainnya. Pada malam itu, saya berselancar di situs facebook, situs paling populer bagi kawula muda maupun para pecinta komunikasi global. Tiba-tiba, Kak Hendra Hasanuddin, antropolog yang berdomisili di Jakarta menerima tawaran diskusi saya lewat chatting. Saya tak mau membuang kesempatan emas tersebut, untuk menanyakan kepadanya mengenai tetek bengek fenomena interaksi masyarakat Desa Pagatan Besar.

“Lihat lah mereka dengan kacamata orang dalam, lepaskan kacamatamu sebagai orang luar yang lagi meneliti masyarakat,” tulis Mas Hendra. Kawan diskusi saya itu menyarankan untuk tidak sekadar berasumsi dengan menggunakan teori-teori, tapi mendekatinya lebih jauh dengan menelusuri akar budaya dan sejarahnya. “kalau membaca ceritamu, masyarakat desa tersebut tergolong masyarakat yang telah memiliki dan membangun sistem yang kukuh, atau masyarakat mapan,” tambahnya.

Merenungkan hasil perbincangan dengan Mas Hendra, benang merah pun terajut. Simpulnya, saya tidak boleh egois seraya menghakimi dengan asumsi-asumsi sederhana, tapi dengan masuk lebih jauh dalam lingkaran mereka. Kemudian, saat itu pula timbul tekad untuk mencari tahu pertanyaan-pertanyaan sulit tersebut ke warga. “waktu terus bergerak, saya harus memulainya besok,” batinku.

Minggu, (26/7), saya memberanikan diri mengunjungi bapak kepala desa, atau Bapenggal, dalam bahasa Banjarnya. Sore hari saya bertandang ke rumahnya, setelah menghabiskan segelas kopi di warung dekat jembatan. Lama saya mengetuk pintu rumah Bapenggal, terdengar suara bising yang berasal dari atap rumah. Tampaknya Bapenggal lagi sibuk memperbaiki atap rumahnya.

“Silakan masuk,” sapanya. Saya masuk dan duduk di kursi tamu empuk berwarna hijau. Setelah memperkenalkan diri dan maksud kedatangan, teh lalu disuguhkan di atas meja. Dan asap rokok Bapak Baharuddin, Kepala Desa Pagatan Besar, menghambur di sekeliling ruang tamu berukuran 4x4 meter itu.

“Sebenarnya, sejarah desa ini dimulai dengan kedatangan nelayan-nelayan dari kepulauan lain. kebanyakan datang dari daerah pesisir Kalimantan sendiri yang terdiri dari suku Melayu. Pernah pula datang orang Belanda, karena daerah ini adalah tempat berlabuh kapal-kapal Belanda,” ujarnya. Kemudian mereka beranak-pinak dengan perkawinan antar warga, juga dilakukan perkawinan antar desa satu dengan desa lainnya. “Sehingga, bisa disimpulkan bahwa, masyakarakat desa ini punya keterkaitan kekeluargaan yang kuat. Sehingga hubungan dalam bentuk bertamu dari rumah yang satu dan lainnya jarang terjadi,” tambahnya.

Benangnya telah ditarik, lantaran masih status keluarga, kebiasaan bertamu dianggap tidak penting. Tapi, sifat alturuisme masyarakat Pagatan juga tidak habis begitu saja, mereka masih biasa melakukan pekerjaan bersama dalam hal membangun masjid dan fasilitas umum lainnya. Artinya mereka bukanlah manusia individualis murni, hanya saja interaksi sehari-hari antar mereka bisa dibilang kurang.

Meski begitu, mengetahui urusan para tetangga tidak luput dari perhatian mereka. Masyarakat desa tersebut masih gampang curiga, dan selalu ingin turut campur terhadap urusan warga lain. “Masih muncul rasa malu terhadap orang-orang tua jika saja sanak keluarga berbuat hal yang tidak benar, dapat mencoreng nama keluarga. Inilah benteng moral masyarakat di sini,” Ungkap bapak berumur 39 tahun ini.

Mendengar hal itu, kepala saya sontak menyala, mungkin inilah faktor utamanya. Rasa malu inilah yang membuat mereka begitu ketat menanamkan moral prilaku terhadap anggota keluarganya. Pedoman moralnya sendiri berasal dari ajaran-ajaran ahklak dalam agama Islam. Misalnya, hubungan antar bukan muhrim, berzina, tindak kriminal seperti mencuri atau melukai orang. Mereka mendapatkan ajaran itu, lewat orang-orang tua mereka, di samping itu telah menjadi budaya dalam masyarakat tersebut.

Makanya, jika keluarga mendapatkan anaknya sementara berpacaran, mereka tidak segan-segan memaksa sang pria untuk segera menikahi pacarnya tersebut. jika tidak, ia akan dikroyok habis-habisan. Pristiwa itu pun menjadi pelajaran dan membuat trauma para kawula muda, sehingga tidak berani melanggar.

Lantaran begitu ketatnya adat ini, model pencarian jodoh berlangsung di warung, meski masih terdapat banyak tempat-tempat lainnya. Keluarga gadis yang belum menikah biasanya akan membuka warung atau gadis tersebut bekerja di warung orang lain, untuk memancing para pemuda untuk singgah dan tertarik untuk melamar sang gadis. Interaksi pun berlangsung, lewat bincang-bincang sederhana, lelucon-lelucon hangat para pemuda.

Jika ada pemuda yang tertarik, ia langsung menanyakan ke gadis penjaga warung, apakah menerima atau tidak. Gadis pun bisa menentukan sendiri siapa lelaki pilihannya, tanpa paksaan orang tua. “Setelah gadis menyetujuinya, pemuda itu kemudian membawa orang tuanya ke rumah sang gadis untuk melamarnya,” ujar Firman, pekerja tambak kepiting, yang pada 31 Juli lalu melangsungkan pernikahan dengan Aslamyah, penjaga warung di desa tetangga yang menarik hatinya.

Orang tua sang gadis pun tidak pilih-pilih, yang jelas pemuda yang melamar anak mampu menyelenggarakan pesta dan memiliki mahar, dan yang lebih penting karena pemuda itu adalah pilihan anak gadisnya. “betul-betul masyarakat yang mapan,” ucapku dalam hati.

Ya, akhirnya, fenomena interaksi masyarakat Pagatan Besar pun sedikit terkuak, meski belum sepenuhnya. Pun ini adalah riset sederhana, sekadar mendengar dan mencatat fenomena saja. Bukan dengan riset objektivitas, dengan pendekatan teori yang rumit dan kompleks, seperti yang dilakukan mahasiswa fakultas ilmu sosial pada umumnya. saya sendiri belum terlalu banyak tahu tentang teori-teori sosial untuk membedah masyarakat. Meski begitu, saya telah berupaya membuktikan asumsi-asumsi awal kawan-kawan saya yang telah lama bermukim di sana mengenai masyarakat tersebut, yang tampaknya tidak sepenuhnya benar.. dan sampai di sinilah upaya saya.. jika terdapat kesalahan, mohon dimaklumi.. thanks ya.


Selasa (28/7), dini hari, saya, Yasir dan Kak Alam hendak meninggalkan lokasi penelitian. Dengan begitu, observasi saya pun usai. Meninggalkan desa itu dengan jiwa lapang penuh kenangan, sembari memandang teduhnya malam, lalu siap berlabuh ke sudut geografis lain, sambil memandangnya lebih dalam.
Maafkan ulun jika berlebihan..


Minggu, 10 Agustus 2009
Idham Malik
Ruang Tamu, Koran Kampus identitas Unhas




1 komentar - Skip ke Kotak Komentar

Idham Malik mengatakan...

salam kak..
ini anti, mahasiswa peternakan unhas

Corak Interaksi Warga Desa Pagatan Besar