semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Melirik Negativitas Kita


Larut malam, sembari mengamati Rubben dkk (Belanda), mengocek bola ke gawang Slovakia, yang hendak memasuki perempat final Piala Dunia 2010, di ruang keluarga Koran Kampus identitas berlangsung diskusi hangat, Tamalanrea, Senin (28/6). Cukup menarik, terkait dengan tokoh kontraversial asal Australia yang dikenal intens meneliti kasus-kasus terorisme di Indonesia. Yah, saya pun yang baru sadar dari tidur-tidur ayam di Iran Corner, mencoba mendengarkan diskusi antara seorang senior yang kini sebagai jurnalis lokal dan seorang junior yang masih menjabat di PK. identitas.
Mendengar penjelasan senior ku itu, saya tertekun juga. Ia mengkritik peran Sidney Jones yang memandang kasus terorisme dalam kacamata teori barat. Sehingga menafikan alasan mendasar kenapa pelaku teroris melakukan tindak kekerasan yang menimbulkan aroma terror. Menurutnya Sidney lebih menitikberatkan pada keterpurukan kondisi sistem prekonomian Indonesia menjadi iklim pendukung lahirnya kelompok-kelompok ekstrimis yang mengatasnamakan Islam untuk menebar terror. Padahal, seniorku melanjutkan bahwa para teroris itu punya alaan rasional, berangkat dari doktrin ideologis Islam yang menjanjikan surge bagi para pembela kebenaran, dalam hal ini yang telah menempuh Jihad di jalan Allah. Jihad dalam kondisi carut-marut di Indonesia saat ini pun telah diamini oleh Ust. Abu Bakar Basir, sehingga legitimasi melakukan tindak teroris itu pun tidak boleh disalahkan sebagai pelaku yang betul-betul bejat.
Sementara Juniorku mendengarnya dengan seksama seraya memandangnya sebagai upaya konspirasi Amerika sebagai gembong teroris, untuk menggembosi dunia Islam di Indonesia dari dalam. Amerika atau sekutunya pun memanfaatkan kondisi ini menimbulkan citra buruk pada Islam, padahal inti ajaran Islam itu adalah rahamatan lil alamin, serta sangat cinta perdamaian dan cosmopolitan. Tapi, bias ideologi belum terlepas dalam belenggu pikirnya, ia pun mulai membenarkan tindak teroris itu, lantaran juga membawa panji-panji islam untuk melawan kebiadaban barat.
Begitulah kesimpulan sementara saya, namun ada hal yang menjanggal dalam benak, dan sebagian yang menjanggal itu telah aku lontarkan saat itu. Dalam pandangan objektif saya, pelaku kekerasan atas nama agama itu tak lain akibat hadirnya fenomena negativitas dalam dirinya. penampakan itulah yang kemudian melahirkan destruksi. Prilaku jahat yang ditimbulkan seseorang tak lain akibat dari penderitaan yang mengikis individualitasnya atau jati dirinya, lalu menyerahkan diri sepenuhnya pada massa yang dalam hal ini komunitas yang berideologi sama. Atau ia mengalami kegersangan identitas.
Krisis akan eksistensi diri ini lantaran adanya perasaan takut pada yang lain (Heterophobia), mereka memandang yang lain sebagai ancaman terhadap ideologi atau paham tertentu, sehingga dengan menghancurkan yang lain itu justru akan menyelamatkan ideologi mereka. Namun, jika ditelisik, pada dasarnya ia takut pada yang lain lantaran ia takut pada kebebasannya sendiri, sebelumnya ia telah menggadai kekebasannya itu dengan meleburkan diri dalam massa. Jika ia bebas, maka ia dipastikan bisa berbeda dalam komunitasnya, sehingga dapat menghargai perbedaan orang lain juga. Namun, ia menggadaikan kebebasannya, ia mendapatkan nilai lewat kesamaan dalam komunitas.. komunitas menjadi kekuatan untuk menghancurkan yang lain.

Sehingga ketika berada dalam massa, ia tidak lagi menjadi dirinya, tapi menjadi sama dengan yang lain, homogen dalam massa. Dalam massa ini mereka berbagi keresahan tentang ancaman yang lain, membangun kekuatan secara terencana, dan pada kondisi-kondisi tak menentu, massa dan komunitas ekstrim tersebut mulai meningkatkan eskalasi propagandanya lantaran memandang yang lain selain dirinya sebagai jahat, dan harus dimusnahkan. Pemahaman seperti itu pun pada akhirnya membenarkan mereka melakukan tindak jahat, sekadar untuk mendapat balasan kebaikan di surga kelak.
Ketertarikannya pada ideologi ekstrim yang menghalalkan kekerasan mulanya berangkat dari rasa panik. Ia tersiksa melihat kondisi moral yang sudah begitu rusak, meningkatnya kejahatan tingkat tinggi, seperti korupsi, bunuh membunuh, dan jauhnya kesenjangan antara orang miskin dengan orang kaya di negeri ini. Belum lagi jika keyakinannya tentang masyarakat yang adil dan janji tuhan akan kebaikan dunia memasuki ruang buntu, agama ia anggap telah digembosi dari luar, oleh orang-orang berdasi yang hanya mementingkan diri sendiri. Kekecewaannya itu menyebabkan kebebasannya terhadap pilihan hidup yang beragam pun ia akhirnya gadaikan, tergadai dalam rimbun massa sejenis yang kemungkinan merasakan hal yang serupa. Dirinya tercerabut dalam komunitas.. dan, pada dasarnya manusia sangat takut akan kesepiannya sebagai individu. Selain itu, manusia sangat takut kepada yang asing, kepada yang tidak dikenal.
Rasa panik itu menyebabkan eksistensi dirinya menyempit. Ego yang selama ini memberikan makna akan nikmatnya kehidupan mengalami kemerosotan melar, sehingga dengan tindak kekerasan itu dianggap mampu membangkitkan eksistensi, memelarkan ego, dan mengembalikan kembali makna hidupnya. Kekerasan adalah jalan yang harus ditempuh, untuk kehidupan yang lebih baik. Jadi, itulah yang menjadi alasan kenapa ada orang yang berhati mulia, sangat mendambakan kebaikan dengan serta merta turut serta melakukan tindak terorisme, dengan mengorbankan orang banyak sebagai langkah perlawanan terhadap system yang kafir.. ia melukai sebagai keharusan, atau sebagai kewajiban etis.
Cemas akibat kesepian eksistensi.. lantas kenapa bisa sepi? Ini pertanyaan yang cukup pelik dan berkaitan dengan lingkungan hidupnya. Sepi karena pengalaman isolasi, atau tak lepas dari kondisi structural masyarakatnya. Dalam tinjauan sosiologis, tatanan masyarakatlah yang menjadi sumber kekerasan. Aksi kekerasan massa muncul sebagai akibat marginalisasi yang telah ia alami sejauh ini. Pengalaman isolasi lewat diskriminasi dan didepresi berulangkali akan dengan gampang memobilisasi diri sebagai massa. Pada kajian ini, kekerasan massa dapat dinilai sebagai strategi protes. Perlawanan terhadap eksistensi Negara yang menyebabkan ketimpangan-ketimpangan struktural itu.
Tatanan sudah sedemikan kaku dan jorok, sehingga memaksa individu-individu untuk merontokkannya. Tatanan pun berakhir dengan kerusuhan dan masaker. Kekerasan institusional merubah wajahnya menjadi kekerasan massa. Penyulutnya yang paling mungkin adalah efek depolitisasi akibat aliran dana yang tidak setara, pergumulan ekonomi yang jahat, menimbulkan semangat homo ekonomicus yang lebih mementingkan diri sendiri.. Sistem sosial yang runtuh akibat desakan ekonomi dan kekecewaan-kekecewaan terhadap kesenjangan yang terjadi. Batas-batas public sebagai arena demokrasi pun dilumat oleh desakan modal, yang membuat orang mengejar kepentingannya sendiri saja, dan melupakan publik itu tadi. Ego pun akhirnya tercerabut dari komunitasnya, sehingga dengan gampangnya menghina yang lain itu.
Ego memasuki ruang kosong yang disebut moral cacuum yang diperhebat dengan beragamnya system nilai yang kemudian saling berbenturan satu sama lain. Kekosongan moral inilah yang menjadi jawaban kenapa ego dengan gampang terpesona oleh ideology tertutup macam fasis, fundamentalis, atau yang bersifat entosentris. Dalam ideology-ideologi itu ditawarkan abstraksi atau universalitas berbasis pada komunitas tertentu, baik agama, bangsa, ataupun ras. Mereka pun mengisi kekosongan dalam dirinya kepada otoritas kelompok yang dapat mensubtitusi kesadaran moralnya. Jika kelompok bertindak destruksi tak lain sebagai penegasan diri egonya sendiri. Kawan-kawan pun dapat membayangkan betapa besarnya energy yang dikeluarkan saat bersama kelompok dalam ajang tindak destruksi itu, sebagai akibat pengalaman isolasi yang mendalam. Ya,, kuncinya, selama ini kita mengalami rekayasa social berupa depolitasasi massa.
Emm.. kawan-kawan, udah dulu ya.. saya hendak main fb, maaf kiranya penjelasannya membingungkan dan kurang lengkap.. saya sendiri masih meramu-ramu penjelasan selanjutnya mengenai tindak destruktif mahluk yang bernama manusia ini (Homo ludens).. harapan saya, kita sebagai manusia dapat dengan jujur mengakui kelemahan-kelemahan psikologis kita. Seraya menghargai perbedaan orang lain. Sebab, kita sendiri berbeda, kita ini persona, kita semua adalah manusia yang diciptakan dengan karakteristik yang unik.. dengan pemahaman mengenai keunikan diri ini saya harap kita dapat meghargai keunikan orang lain pula.. intinya, biarkan lah yang lain hadir diantara kita.. kawan…

Dan, “Segala yang jahat berasal dari kelemahan”, Jean-Jacques Rosseau..

Di Café Cakrawala, Nusa Tamalanrea Indah
Bersama sekawanan teman yang senang main poker..
Idham Malik




0 komentar:

Melirik Negativitas Kita