semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Jalan-Jalan ke Bumi Lakipadada (Bagian I)


Mulanya hanya hasrat, keinginan untuk melepaskan kepenatan yang sumir itu. Hari-hari belakangan ini perasaan diliputi kekosongan, nihil lantaran mengejar sesuatu yang tak pasti, dalam benak yang muncul hanya ymbol-bayang masa depan, yang dilatari kehampaan masa lalu. Hari pun diisi dengan aktivitas silang sengkarut, tak ada perencanaan, hanya membawa buku-buku untuk mengisi waktu dan menghapus kebingungan-kebingungan akan keunikan manusia, alam, ataupun Islam. Namun buku, bukan satu-satunya jawaban, buku malah membuat jiwa kian mengambang, sebab mengais hal-hal besar dalam cabikan-cabikan kecil.
Lalu, dari kegelisahan itu, muncullah ide untuk berpetualang lagi, keasyikan yang sudah lama tak dikecup. Dalam petualangan itu, kita menemukan diri, yang hadir dalam kebebasan kita berencana, memilih beragam tingkah yang sesuai dengan konteksnya. Dalam berpetualang, insting-insting alamiah kita pun secara tak sadar datang melingkupi, mengajak bercengkrama untuk sama-sama memutuskan langkah terbaik.
Satu alasan penting, keberangkatanku kali ini berbeda dengan keberangkatan sebelum-sebelumnya. Tampak sedikit menggigit, pasalnya kami berangkat menggunakan motor ke Toraja, suatu keberanian tersendiri saya pikir. Seumur hidup, saya belum pernah melakukan hal itu, bagaimana kiranya kalau saya mencoba naik motor berjam-jam, melewati tikungan-tikungan tajam dengan tetap dalam kondisi konsentrasi penuh. Yah.. di situlah tantangannya, dan saya ingin membuktikan bahwa ternyata saya bisa. Tantangan yang mengantar diri kita pada kondisi ekstrim, dimana kemungkinan untuk membahayakan diri bermunculan. Tapi, justru disitulah letak keasyikannya, ekstase saat kita berhasil melampauinya.
Pekan lalu, sudah niat ke Toraja, namun waktu dan kesiapan belum menggenapi. Teman akrab saya, Rahmat tak diizinkan berangkat oleh orang tuanya, sehingga saya dan Sasli pun mengurungkan niat. Kami sepakat untuk menunda pekan depannya. Hingga hari yang ditunggu-tunggu itu tiba, justru kawan Sasli yang tak sempat, ia sibuk mengurusi kelengkapan usaha barunya, yaitu bisnis penjualan ikan konsumsi segar. Rahmat dan sasli tak bisa berangkat, tapi kekecewaan saya terobati dengan keinginan kawan lain untuk ikut ke Toraja, yaitu Ilham dan Adlien, junior saya di identitas. Maka berangkat lah kami pada Minggu pagi, 4 Juli, pukul 09.15 Wita, dengan menggunakan dua motor.
Jika dihitung-hitung, perjalanan akan menempuh waktu sekitar delapan jam, dengan jarak tempuh sekitar 309 kilometer. Menghayati itu, kami sepakat untuk melaju cepat, setidaknya kecepatan 80 km/jam. Dalam jangka waktu 1,5 jam kami sudah tiba di perbatasan Pangkep-Barru, singgah sejenak di emperan penjual Dange, kue khas pangkep. Sembari membincangkan kemungkinan-kemungkinan perjalanan ke depan. Sesudah mengatur nafas, mengisi perut dan menghapus dahaga, kami pun melanjutkan perjalanan. Motor kami seperti berkejar-kejaran, melaju melawan angin, menghentakkan debu-debu aspal. Sesekali menyentak-nyentak di sepotong jalan berbatu. Pukul 14.10 kami sudah tiba di Rappang, singgah untuk menyantap ayam lesehan di warung makan Madura di pinggir jalan. Kami pun meluruskan badan lagi, mencuci muka sekenanya, dan bercengkrama tentang hal-hal yang dirasakan dan yang diamati di jalanan. Perjalanan pun masih sekitar 150 kilometer lagi, jauh juga, tapi, saat itu tubuh saya begitu fit, tak ada keluhan, malah saya merasa bahagia dapat berjalan sejauh itu.
Motor melaju lagi, semakin cepat menyusuri jalan hitam yang sisi-sisinya berupa hamparan sawah, alang-alang, serta diselingi pemukiman warga. Jalanan di Sidrap tidak neko-neko, lurus seperti batang sapu ijuk. Jalanan di Sidrap lebih nyaman nuansanya, lebih banyak pohon di sisinya, lebih rindang, debu-debu pasir juga jarang. Berbeda dengan Barru yang sepanjang jalan kita dipaksa untuk menghisap debu-debu halus hasil renovasi jalan. Entah bagaimana akibatnya bagi kesepatan paru-paru yang sudah sedemikian banyak terlekat debu itu? Hehehe.. gitu aja kok dipikirkan. Tanpa terasa kami melewati batas kota, memasuki pinggiran Enrekang yang lebih menawarkan suasana hening, menyebarkan aroma kayu dan tanah bukit. Jalan pun berkelok-kelok seketika, motor pun menyesuaikan lajunya, mengerem sejadinya. Dari kelokan-kelokan itu, hadir rasa nikmat tak terperi, serasa kembali kemasa kanak, seraya bermain-main dengan alam.
Enrekang ternyata lebih panjang dari Barru atau Jeneponto yang saya kenal. Panjangnya sekitar 100 kilometer lebih, sehingga membutuhkan waktu selama 2 jam. bagaimana tidak, jalanan begitu berkelok sehingga kecepatan maksimum hanya 60 kilometer/jam, belum lagi beberapa kali memelankan motor untuk menikmati keindahan alam, bukit-bukit yang menjulang, lembah-lembah rimbun. Capai mengendara motor, tiba di Enrekang Selatan, kami singgah shalat Ashar dulu yang sekalian dijamak Duhur. Kami menanyakan panjang jalan ke Toraja pada jamaah di masjid itu. Katanya masih sekitar 80 kilometer lagi sampai ke Toraja. Mendengar itu kami pun tercengang, ternyata perjalanan masih sedemikian jauh. Tapi, kami tidak hilang semangat, justru kian menggebu-gebu untuk menantang udara dingin di pucuk-pucuk dataran tinggi, mengasah insting terhadap kelokan ekstrim itu.
Sejam kemudian, kami singgah di Pinggir jalan, menghadap ke lembah yang menghias cakar-cakar Gunung Nona. Gunung yang terkenal dengan lembah diantara dua gundukan gunung yang mirip dengan kelamin wanita. Mulanya, saya mengira bahwa gunung nona itu identik dengan hamparan gunung yang mirip tubuh wanita, dengan dihiasi dua buah dada di tengahnya. Tapi ternyata hanya menggambarkan sepotong tubuh yang terletak tepat di pangkal kaki wanita. Aneh juga ya, imajinasi orang terhadap alam yang selalu saja mengarah ke jenis itu., hehehe..
Jalanan masih menikung-nikung, kecepatan pun distabilkan, saya mulai khawatir jika telat akan mendapatkan malam sebelum tiba di Toraja. Mengendara di pekat malam pada jalan di Enrekang saya anggap cukup berbahaya mengingat lampu motor saya yang kurang terang serta jurang-jurang pinggir jalan yang menunggu jika kamu tak siaga. Baru pada pukul enam lewat kami memasuki perbatasan Toraja, dimana perasaan dihampiri perasaan bahagia. Namun, kebahagiaan itu kembali surut saat melalui jalan poros Toraja yang kian panjang, waktu pun terasa lambat, dimana pikiran dan hati sudah ingin melampaui waktu, namun ruang tak menghendaki. Saya harus belajar bersabar untuk melalui jalan-jalan berliku, berlubang dalam kondisi gelap gulita. Dan lampu motor mulai saya nyalakan.
Lelah badan, tulang-tulang penghubung yang sudah ngilu tiba-tiba menguap saat melihat lembaran kain merah yang digantung horizontal di tepi-tepi bangunan bambu yang ada di sisi jalan. Bangunan berupa ruang kotak-kotak yang ditata rapi, seekor kerbau yang diistirahatkan untuk memamah rumput pinggir jalan, serta kerumunan orang berbaju hitam yang sementara beristirahat di kursi-kursi tamu. Orang-orang itu tampak menghayati lantunan doa yang dinyanyikan sekitar 20 pria yang melingkar sambil berpegangan tangan. Mereka melakukan prosesi “Ma’badong”, merupakan langkah awal dari sekian deretan prosesi upacara adat ‘Rambu Solo’. Rambu Solo merupakan upacara khusus suku toraja untuk menghormati keluarga yang telah meninggal, alhamarhumah yang diupacarakan itu bernama Arisan yang telah meninggal pada enam bulan lalu. Sebenarnya kami hendak berlama-lama di acara itu yang terletak di Kec. Menkendek, namun karena waktu subjektif semakin menggeliat, dimana pikiran butuh kepastian akan tujuan akhir, kami akhirnya meninggalkan pesta itu untuk mengejar waktu Isya. Perjalanan masih sekitar 20 kilometer lagi.
Hujan rintik mengiringi perjalanan kami, bersama lubang-lubang jalan. Cahaya lampu menjadi pun menjadi juru selamat, memandu mata yang sudah sayup, hingga bulir-bulir hujan itu kian membesar yang sontak membuat menepi agar segera terhindar dari basah dan kedinginan. Setelah hujan kembali berbintik, kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di Kota Makale. Kami bertanya kesana kemari, hingga menemukan rumah Senior Identitas, Muzakkir AM, di sekitar gampalan, Pasar Sentral Makale.
Kami disambut begitu hangat oleh keluarga Kak Akkir, canda dan tawa pun mengalir. Kakak yang satu ini sudah saya anggap sebagai saudara, semenjak ia menjadi tutor Layout saya pada 2006 lalu. Saya pun menyenangi keperibadiannya yang tenang dan tak gampang mengeluh. Kami ditempatkan dalam satu kamar yang dinding-dindingnya terbuat dari tripleks, maklum kediaman kak Akkir tak lain adalah rumah toko yang terselip di jejeran emperan toko di pusat pasar. Lalu, dingin badan akhirnya terhapus oleh sajian Kopi Toraja yang dalam waktu singkat tersaji di depan mata kami. Kopi yang kental, aroma khas tanah pegunungan Toraja. Kelebihannya, kopi ini tidak melengket di pangkal lidah dan tenggorokan. Selain itu, dayanya cukup kuat untuk menahan kantuk. Kami pun sibuk bercengkrama dengan Kak Akkir, saling bertanya kabar dan aktivitas yang ditekuni. Dalam waktu yang membeku itu, saya menghubungi dia yang lagi menepi di kamar asramanya, menanyakan kabar pula. Ah, ujung perjalanan yang nikmat.
Badan sudah kalah, tapi pikiran tetap sehat. Kantuk juga belum datang menghampiri. Tapi, sehabis menyantap ikan mas kecap, tentu dengan sangat lahap hingga perut begitu penuh. Tempat makannya pun ymbol kesan berbeda, yakni di ruang warung makan yang terletak di luar rumah, tempat sebagian kecil penghuni pasar mengisi perut pada siang harinya. Kami makan ditemani angin malam, serta pemandangan ganjil pasar pada malam hari, dimana gadis-gadis duduk sambil menjepit rokok, orang tua yang lagi minum tuak. Dan anak-anak muda yang berkumpul menyanyi bersama. Pukul 23.00 lewat kami pun mencoba beristirahat, walau kantuk belum berkunjung.
Hari Pertama
Kami tidak bangun pada pagi betul, lewat sedikit dari pukul enam pagi. Sebenarnya tak mau bangun, meski pikiran sudah hidup. Pasalnya, dingin subuh masih tersisa di tapak kaki, tapak tangan pun beberapa kali kusembunyikan dalam sela-sela lenganku untuk menguapkan dingin. Pada dini dan subuh hari itu, tubuh beberapa kali tersentak, sebab udara dingin itu hinggap dan berakumulasi dalam alam bawah sadarku, bisa dikatakan menyusup dalam alam mimpi. Namun, pada pagi itu saya tak terlalu memusingkan dingin, malah saya mendambakannya. Menyerap nuansa yang berbeda dari pagi hari biasanya. Adlin duluan bangun dan telah melenggang ke tengah kota untuk menghirup dingin pagi. Saya dan Ilham masih menstabilkan alam sadar dengan duduk tertekun, menunggu tubuh lentur dan pikiran terisi oleh perencanaan-perencanaan pada hari itu.
Pagi itu saya manfaatkan untuk jalan-jalan ke jantung Kota Makale, berputar-putar di sekitar kolam yang di tengahnya terdapat patung Lakipadada, Raja termasyur Kerajaan Toraja. Patung itu berwarna keemasan, dengan mengangkat tangan sebelah kanan yang membawa obor dan tangan kiri tergantung membawa semacam dokumen. Tubuhnya kekar, tingginya sekitar delapan meter, melihatnya seperti mengenang foto Arung Palakka di jantung Kota Bone pula. Pada sisi jalan terdapat pula patung Pahlawan Pontiku, beserta ukiran kisah penangkapannya oleh tentara Belanda di telaga sungai. Patung-patung itu sekiranya menjadi penyemangat dan mengingatkan jiwa kepahlawanan rakyat Tator terhadap para penindas.
Saya sedikit heran mengamati suasana pagi kota ini, waktu masih menunjukkan pukul 6.30, tapi kota sudah tampak ramai oleh lalu-lalang para siswa SMA, SMP dan siswa SD yang hendak masuk pada hari pertama tahun ajaran 2010 ini. Wajah mereka tampak segar dan ceria, tak ada tanda-tanda menggigil di tubuh mereka, mobil pun mulai sengkarutan, pak polisi sudah terlihat berjaga-jaga. Para pedagang mulai sibuk membenahi dagangannya, sementara pembeli mulai berdatangan. Ah.. kota ini betul-betul hidup, kota yang berada tepat di kaki gunung, gunung yang dihiasi kabut di cela-celanya. pada hamparan gunung itu, terlihat menyembul beberapa bangunan masgul gereja. Mungkin diperuntukkan bagi para petani yang sibuk menanam padi di bibir gunung yang datar, untuk mendamaikan hati mereka dengan cahaya tuhan. Gereja-gereja pada kota itu pun begitu indah, bangunan yang sengaja dibuat demikian cantik untuk menarik hati para pecinta tuhan, tuhan yang selalu hadir di hati kita ketika sementara merintih ataupun gelisah butuh penjelasan.
Ada pula gereja yang terletak sedikit di atas bukit, gereja yang cukup besar itu disebut Bukit Sion. Saya menyukai arsitektur bangunan-bangunan itu, sedikit klasik disertai gambar-gambar mempesona. Begitu banyak gereja pada wilayah yang tak begitu luas dan jauh itu, terhitung sekitar lima gereja berada pada jarak berdekatan. Sehabis mengelilingi kolam yang airnya telah keruh kehijauan, yang terdapat bunga teratai di sudut-sudutnya, saya mencoba mendaki tangga-tangga ke bukit Sion, hingga tiba di tangga terakhirnya atau di depan pintu masuk gereja tersebut. Dari bukit sion, saya dapat memandangi alur-alur jalanan, gugusan gunung, atap-atap gereja yang menawan, atap rumah tipikal tongkonan pada jejeran toko, pasar, bahkan pada gedung DPRD Kab. Toraja. Baru kali itu lagi saya berolahraga pagi, senang rasanya, mengeluarkan keringat sembari menghirup sejuknya udara pagi.
Setelah memanjakan mata dengan pesona alam Toraja, kami kembali ke rumah Kak Akkir, lalu menyeruput the hangat beserta temannya berupa kue bandang-bandang, kue isi pisang yang dilapisi terigu kenyal. Saat itu kami memutuskan untuk menuju ke Rantepao, kata kak Akkir, di sana banyak diselenggarakan pesta adat. Jarak ke Rantepao ada sekitar 20 kilometer. Ketika tiba di Rantepao, kami sibuk menanyakan keberadaan pesta adat ke warga Rantepao, namun beberapa orang yang ditanyai tidak ymbol jawaban memuaskan. Hingga Kak Akkir memandu bahwa di Rantepao terdapat dua Pesta, yaitu satu di Pemanikan, satunya lagi di Pemandekan. Kami memilih pemanikan.
Menuju kepemanikan, kami belok kiri di samping gereja besar, melalui jembatan kecil lalu belok kanan di samping jembatan, melalui jalanan berbatu di sisi sungai yang ternyata cukup jauh juga. Saya begitu merasakan penderitaan motor saya saat melewati gundukan-gundukan pecahan batu gunung itu. Sesekali mendaki lalu menurun seketika, medan kali itu cukup mengkhawatirkan sehingga membuat kami menepikan motor di halaman rumah warga, pada halaman itu terdapat empat buah tongkonan beserta pasangan lumbung padinya. Rumah tongkonan diandaikan sebagai pria dan lumbung padi yang atapnya khas itu dianggap sebagai penjelmaan wanita. Selalu berpasangan. Saya sangat suka ukiran pada dinding-dinding tongkonan, mungkin menceritakan kisah magis masa lalu suku Toraja. Sedikit miriplah dengan ukiran hyroglip Bangsa Mesir atau tulisan paku bangsa Mesopotamia. Terdapat dua hewan magis yang menghiasi ukiran dinding tongkonan, yaitu ayam dan kerbau. Ayam begitu disakralkan pada masyarakat Toraja karena dianggap sebagai saudara nenek moyang suku Toraja. Sikap ayam yang pemberani, lantaran dikaruniai taji yang tajam, ayam berani mempertaruhkan nyawa untuk bersabung dengan ayam lain. Itulah kesan masyarakat Toraja terhadap ayam yang hingga kini diabadikan dalam ukiran dalam dinding tongkonan. Sedangkan kerbau dianggap sebagai hewan kendaraan para arwah yang telah diupacarakan menuju ke nirwana. Kerbau pun dianggap hewan yang paling berjasa bagi masyarakat Toraja, selain dapat membantu membajak sawah, kerbau jaman dulu juga dijadikan sebagai alat tukar. Misalnya untuk membeli tanah ditukar dengan beberapa ekor kerbau.
Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sebelumnya, kami menanyakan panjang perjalanan kepada anak muda di sana, katanya waktu tempuh hanya sekitar 15 menit. Dalam benak sebenarnya saya tak begitu percaya sama anak muda itu, biasalah kalau kita menanyakan jarak pada orang kampung, pasti panjang aslinya lebih berlipat-lipat. Tapi, tak mengapa, ymbol ing harus menyiksa motor dengan jalanan yang berbatu seperti ini. Perjalanan kami pun diselingi canda tawa, dimana yang lebih berkesan adalah kekaguman kami terhadap alam Toraja. Saat itu kami berkesempatan melihat dari dekat Gunung Sesean, gunung tertinggi di Toraja. Menikmati suasana pedesaan dengan memandangi para petani beranjak ke sawah, anak muda yang menggiring kerbau, melihat kubangan-kubangan kerbau di aliran sungai selokan di pinggir jalan, kolam-kolam ikan, dan rumah-rumah petani yang di sampingnya terdapat gundukan-gundukan padi. Perjalanan cukup jauh, seperti yang diperkirakan ternyata memakan waktu lebih setengah jam, jaraknya ada sekitar 4 kilometer.
Kami tiba dengan pantat sepatu yang dipenuhi lumpur, ekor celana yang sudah kecoklatan, dahi yang mengeluarkan bulir keringat, serta waktu yang dianggap telah melempem. Ketika berada di antara orang-orang yang terlihat sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, kami menyadari bahwa kami salah prediksi lagi, ternyata pagi itu keluarga belum memulai pesta. Prosesi penerimaan tamu yang kami tunggu-tunggu itu baru akan diselenggarakan esok harinya. Meski begitu, saya tak begitu kecewa, dalam benak ini yang penting saya telah mendatangi tempat baru dengan suasana baru, menikmati aroma pedesaan serta mengamati aktivitas baru. Dengan begitu, pikiran kembali segar, melupakan kegelisahan-kegelisahan yang lalu-lalu.
Untung saat itu kami menemukan kenalan baru, namanya Daniel atau biasa dipanggil Niel. Ia baru juga kembali ke Toraja, setelah tiga tahun bersekolah di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) Jurusan Teknik Informatika angkatan 2007. Asyik juga mendengar penjelasannya, bahwa kekeluargaan masyarakat Toraja begitu terjalin erat. Ia pun bersama sekeluarga di Jakarta tak boleh melewatkan pesta tersebut, jika tak hadir mereka akan menjadi buah bibir diantara para keluarga. Sehingga, jika tak ada urusan mendesak, mereka diharuskan datang. Pada saat itu, kotak tempat keluarga bernaung terdapat lebih 60 kotak. Sehingga jumlah keluarga yang hadir dipastikan sejumlah atau lebih dari kotak tempat nongkrong keluarga itu. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa pesta adat ini merupakan ajang pertemuan marga atau keluarga. Ajang bersapa-sapa, bertanya kabar, setelah mereka melanglangbuana dari beragam daerah di Indonesia. Niel saat itu menyajikan kue Ito-Ito, bolu, dan kue kering, dan yang paling saya butuhkan, ia memberikan kami tiga gelas air. Ah.. segar rasanya…
Pengalaman lucu kami dapatkan pada saat ingin balik ke kota Rantepao, lantaran kapok berjalan kaki, Ilham menghentikan mobil yang juga hendak ke kota. Tapi ymbol mobilnya berbau aneh, tahu tidak, kami menumpangi mobil pengangkut babi, dimana kotoran dan darahnya masih tersisa di lantai mobil. Mulanya kami tak tertarik naik, namun karena sudah minta izin kepada supir, kami tak enak menolak. Yah.. akhirnya kami harus menahan bau babi yang begitu menyengat hingga tiba di dekat penitipan motor kami. Adlien lebih nyaman, karena ia duduk di samping supir, saya duduk tepat di belakang job adlien, dengan membuka kaca jendela lebar-lebar, saya berusaha untuk menghalau pikiran akan bau tak sedap ini. Yang sial adalah Ilham, yang saat itu jongkok dekat kotoran dan darah babi.. rasanya saya ingin melupakan pengalaman jorok itu, namun tetap saja mengintai. Baunya saja masih terasa jika terbayang lagi peristiwa itu. Aroma babi masih melekat di switer saat mobil pengangkut itu telah melenggang jauh. Yah, apa mau dikata, terpaksa digitukan saja. Biarlah angin lembab itu yang menghapus perlahan bau tersebut. Lalu kembali menikmati suasana baru, tepatnya di situs Tongkonan Kuno, Ketekesu.
Ketekesu cukup terkenal di kalangan turis, pada daerah wisata itu terdapat enam Tongkonan dan sepuluh lumbung padi. Tongkonan itu punya sejarah tersendiri, menurut Bapak Liku, Ketekesu merupakan dua kata terpisah yang terdiri atas dua tokoh awal wilayah Toraja Tengah, yakni Kete dan Kesu. Tongkonan Kesu yang lebih tua, lebih dari 400 tahun yang lalu dan sedangkan Kete berdiri sejak 400 tahun silam. Tongkonan Kesu memang tampak lebih tua, atapnya sudah demikian berlumut. Tapi tiang-tiang bangunannya masih terlihat kokoh, begitupula ukirannya masih terlihat jelas. Ini menandakan keluarbiasaan masyarakat Toraja dalam memilih jenis bahan yang akan dibuatkan tongkonan. Serta kehebatannya dalam menciptakan ymbol, dan keunikan-keunikan ukiran dinding. Kesu dianggap sebagai orang tua dan pendiri marga di Toraja Tengah, pada zaman itu, ia dinggap sebagai raja dan orang paling sejahtera di daerah itu, ia pun yang pertamakali mendirikan tongkonan di wilayah itu. Begitupula dengan Kete, dua orang ini merupakan tokoh bersejarah di kecamatan Kesu tersebut.
Setelah puas melihat tongkonan bersejarah, kami menyelongsor ke wilayah dalam untuk melihat gua pemakaman orang-orang Toraja masa lampau. Di pinggir-pinggir jalan pavingblok itu terdapat beberapa ‘rumah masa depan’ para almarhum-almarhumah keturunan Ketekesu. Bentuk rumah kuburan itu beragam, ada yang berbentuk slinder, rumah berbahan semen, ada juga hanya berbentuk kubus. Pada bagian depan mouselium itu terdapat karangan bunga yang sudah lusuh, beberapa tanda salib, foto almarhum, serta terdapat patung almarhum yang terbuat dari ukiran kayu. Jika mendaki lagi ke atas, menaiki anak tangga di samping tebing, kita akan menemukan banyak tengkorak yang terserak, berhamburan di samping peti yang sudah kropos. Pada cela-cela tengkorak terdapat beberapa batang rokok basi, lembaran uang seribuan yang sudah kusut. Tulang belulang itu sepertinya sengaja dibiarkan berserakan sekadar untuk menghormati kealamiahan sisa jasad manusia Tator tersebut. Pun begitu, jarang pengunjung yang berani menyentuh-nyentuh, takut kualat atau terkena sial.
Untuk bagian ini ada cerita menarik, pas kami pulang ke Makassar, esok harinya Adlin terlihat kesal. Iya heran melihat pipi bagian kirinya seperti dicoreng arang. Padahal ia telah menggosoknya dengan sabun dan garam, tapi tetap tak lenyap juga. Ketika datang ke identitas, kelakar pun muncul, “Lin, kamu mendapat cap dari penghuni Ketekesu tuh, jadi kalau mau lenyap capnya, harus minta maaf atas tingkah mu memegang-megang tulang sembarangan”.
Lelucon itu ditimpali oleh Abang Noor, senior kami yang merupakan dosen Fak. Hukum Unhas, “Dulu, pengelola Ketekesu pernah melarang mahasiswa kedokteran untuk melihat-lihat kuburan batu atau sisa tengkorak di situs bersejarah itu. Sebab, setiap kali mahasiswa kedokteran berkunjung, tengkorak di sekitar situ berkurang jumlahnya. Mereka ternyata menjadikan tengkorak itu sebagai bahan preparat lab.nya. dan selalu menyembunyikan tengkorak itu di balik jas mereka.”.. adlin pun bertanya, “Lalu bang, tidak apa-apa ji itu mahasiswa kedokteran?”, Bang Noor langsung menjawab, “mungkin sudah mati kali yah.. hehehehe..”,, sontak kami tertawa terbahak..
Keluar dari situs itu, kami berkunjung lagi ke Londa… (cerita berlanjut)

Idham Malik
Di Toko Buku Papirus Tamalanrea, sambil menghapus kegelisahan berlarut-larut
10 Juli 2010




1 komentar - Skip ke Kotak Komentar

Blogger mengatakan...

SAYA MAS ANTO DARI JAWAH TENGAH.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…

**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<






SAYA MAS ANTO DARI JAWAH TENGAH.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…

**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<

Jalan-Jalan ke Bumi Lakipadada (Bagian I)