semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Kejutan Seorang Polisi dan Bagaimana Seorang Pelajar Bersikap!


Tadi malam, Senin (12/7), tanpa perencanaan saya membangun cengkrama dengan seorang polisi Saptamapda, penjaga pos kediaman Jusuf Kalla di Jalan H. Bau Makassar. Kebetulan saja saya pikir, lantaran saya tak dapat menemani senior saya, Supa Athana untuk mewawancarai Pak JK untuk keperluan Buku Biographi sang Wali Kota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin, sehingga saya menepi di pos penjagaan rumah rindang itu. Mulanya saya tak mau bercakap, buku ‘The Tao of Physic’ karya Pritjof Capra pun sudah saya lahap beberapa lembar dengan penuh konsentrasi. tapi, tiba-tiba pak polisi itu mengajak kenalan.. namanya Sudirman.

“Baca buku apa?, sapanya.. “bapak mau lihat?” jawabku.. “ah.. tidak silahkan baca.. kita mahasiswa kah..? lalu saya mengiakan. “saya mahasiswa Unhas Pak, jurusan perikanan”.. ooo.. saya juga mahasiswa, UMI Fak. Hukum angkatan 2006. Perbincangan dimulai dengan keresahan ia terhadap metode dan sikap dosen Hukum UMI yang terlihat acuh tak acuh terhadap mahasiswa. “Kami kadang bingung kalau di kelas, soalnya dosen selalu memberikan pengertian dan kajian tingkat tinggi, padahal saya belum memahami dasar-dasarnya. Kami baru mulai start di gigi satu, eh mereka udah menginjak gigi tiga.. jadi sering tidak nyambung,” kesalnya. Ia merasa kecewa telah membayar mahal-mahal untuk kuliah, tapi toh ilmu yang diperoleh cuma secuil. Ada pula dosen yang terus menerus menjelaskan hal yang sama, sehingga membuatnya bosan. “Lantas, bagaimana kualitas dosen Unhas, apakah seperti itu juga?

Saya cukup tersentak dengan pertanyaannya, dalam benak memang ada beberapa yang seperti itu, tapi saya hanya mengatakan bahwa tidak semua juga. Karena dalam studi saya di Budidaya Perairan, dosen-dosen dari segi keseriusan tampak serius dalam memberikan ilmu, mereka datang tepat waktu, memberi penjelasan dengan cukup detail, dari segi kapasitas saya yakin dosen saya mumpuni dalam bidangnya masing-masing. Namun masih terlihat kekurangan-kekurangannya, seperti dalam hal menyajikan materi masih dengan penyampaian yang berat, terkadang susah dicerna oleh kebanyakan mahasiswa, kurang menyenangkan, memicu kantuk, dan hal itu tentu sulit untuk meningkatkan gairah belajar dan mencari ilmu para mahasiswa. Itulah yang saya paparkan, meski dengan struktur kata yang singkat dan tak memadai.

Saya tak menyangka dapat cepat akrab dengan polisi muda itu, padahal dalam benak saya polisi itu kerjanya cuma menjadi momok rakyat, suka menilang, tidak akur sama mahasiswa, dan pandangan dalam benak yang paling buruk yakni, polisi-polisi muda sering melecehkan gadis-gadis.. dan tadi malam itu, saya mesti membedakan antara apa yang saya citrakan dalam pikiran, dan apa yang ada dalam realitas. Sepertinya selama ini saya telah terperangkap dalam tindak kesalahan berpikir, khususnya over generalisasi, tanpa mau tahu bahwa masih ada segelintir polisi yang berwatak baik, dan memiliki niat tulus untuk mengabdi pada masyarakat dan negara.

Perbincangan pun beralih ke hubungan antara undang-undang dengan realitas masyarakat. Polisi muda yang badannya cukup kekar itu mengomentari bahwa negeri ini betul-betul kacau, dalam udang-undang sudah dipatok bahwa anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara, tapi toh anak-anak jalanan masih merubungi zebra cross. Pernyataan itu cukup menghentakku, sebagai seorang terpelajar, jarang saya menyentuh bagian-begian itu, mungkin sudah tergerus dalam semangat individualisme yang sebenarnya juga terlihat buram. Belakangan ini saya terlena dengan kegitiran individu, sehingga melupakan hal-hal urgen seperti yang dikatakan polisi muda itu.. jiwaku pun bergejolak, aku tercenung.

Dalam alam hayal saya sontak terbayang orang miskin yang masih bejibun di pesisir-pesisir pantai, kini jika ditakar dari segi pengeluaran, jumlah rakyat miskin masih sekitar 11 persen. Kekayaan-kekayaan alam tetap dikeruk untuk kepentingan pengusaha-pengusaha multikorporat, sementara buruh-buruh hanya mendapatkan secuil, sekadar untuk keperluan makan keluarga sebulan penuh. Dan yang terperih adalah peristiwa kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 10 persen itu. Tentu akan berefek pada inflasi dan akan mencekik leher para pengusaha kecil, buruh, dan masyarakat golongan bawah lainnya. Kita pun masuk dalam perangkap sistem, penindasan akibat otoritas, despotik, kita pun bergumul dalam golongan mustadafin.

System inilah yang menjadi lingkar setan, namun sistem awalnya dibentuk oleh individu-invidu rakus, yang mengejar harta dan kekuasaan. Khususnya para penguasa despotik, otoriter, yang mencipta kondisi-kondisi yang memabukkan para penjilat dan pada arus yang berlawanan demikian telah menyiksa para lawan politiknya. Pada sisi satu mereka menawarkan kenikmatan kekayaan yang tentu diperoleh lewat jalur-jalur kekuasaan, melegalkan birokrasi untuk menumpuk harta, sementara pada jalan lain melakukan terror, menakut-nakuti dengan kekuatan senjata dan tentara bayaran. Suka dan duka terdemarkasi dalam dua kutub… dimana kebanyakan orang lebih memilih ke kutub pertama, menafikan identitas kemanusiaannya hanya sekadar untuk menyelamatkan diri, beradaptasi pada system yang buruk. Dan kemudian menjadi pelaku pula untuk mengembangkan sistem korup rakus itu.

Dari mereka lah budaya korup merajalela, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan dihomogenkan dengan kekuatan uang, benda pucat itu telah membius para akademisi, politisi, para jenderal untuk tetap setia pada penguasa. Untuk tetap rela mengorbankan tubuhnya menjadi robot kekuasaan, mesti sebenarnya hati dan pikirannya turut meronta. Dengan serta merta, tubuh mereka pun diidentikkan dengan mesin kekuasaan. Dari logika mesin ini yang tiba-tiba menjadi bibit budaya, akhirnya menjalar ke kemerosotan moral para pendatang baru di dunia birokrasi. Sehingga selalu menimbulkan logika terbalik, kebenaran dianggap sebagai kejahatan, dan kejahatan itu sendiri sudah dianggap sebagai kebenaran.. kejahatan yang telah menjadi kebiasaan, dimana justru tidak afdol kalau tidak ikut terlibat dalam kubangan munafik seperti itu.

Bagaimana Seorang Pelajar Bersikap?
Sebagai seorang terpelajar, yang menurut Pramudya Ananta Toer, pelajar harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Pelajar harus cerdik membaca zaman dan tentu mesti melakukan perubahan atau revolusi di tengah masyarakat dan lingkungannya. Pelajar tak sekadar tenggelam dalam perpustakaan, mempelajari ilmu-ilmu alam lalu dengan kesendiriannya menemukan teknologi-teknologi terbaru. Pelajar mesti berbaur dengan masyarakat, yang kebanyakan tidak terpelajar, awam, dan terpisah dari nuansa intelektual. Namun, di situlah letak masalahnya, para pelajar kini bak menara gading, ia justru sengaja memisahkan diri dari masyarakat, ilmu yang ia dapatkan hanya untuk memperkaya diri, membela penguasa, pengusaha, atau sekadar untuk memuaskan hasrat individunya. Sementara rakyat kian kelaparan, tersudutkan, tereksploitasi, terkatung-katung, mengemis kesana kemari. Melihat mereka, justru sebagian dari kita yang disebut sebagai pelajar malah menatapnya dengan jijik, angkuh, dan tak jarang menyalahkan warga miskin itu. Lagi-lagi logika terbalik menghampiri.

Dalam benak saya, pelajar itu merupakan orang yang tercerahkan. Sehingga tak semua dosen, apalagi mahasiswa dapat dikatakan sebagai pelajar atau intelektual. Sebab, pelajar itu adalah orang yang sadar keadaan, ia gelisah terhadap kesengsaraan orang lain. Dengan kata lain, pelajar harus terjun langsung ke masyarakat, merenungkan penderitaannya dan dengan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dapat dengan cepat ditransfer ke masyarakat. Namun sayang, teori-teori yang diperoleh di universitas, hanya sekadar sebagai bahan wacana, memuaskan naluri rasa ingin tahu atau malah untuk gagah-gagahan saja. Tapi, saat dituntut untuk berbuat, banyak diantara kita justru sembunyi tangan. Mundur selangkah-demi selangkah, lalu menyibukkan diri dengan kesenangan pribadi, berkelabat dengan atasan dengan mengharap imbalan rezki. Tapi, tidak semua yang seperti itu, banyak pula pelajar yang kembali terjerambab dalam kemiskinan. Ia mengalami kehampaan ilmu, tercerabut, lalu terjerumus lagi. Peluang-peluang di matanya seakan sirna melihat persaingan yang demikian ketat, manusia yang saling memangsa, ia takluk dalam penderitaan diri akibat ketidakmampuan menampilkan otentisitasnya, lalu tidak menjadi dirinya, tapi menjadi orang lain kebanyakan, orang miskin kebanyakan.

Saya sendiri menghadapi kemungkinan yang beragam itu. Penderitaan batin pun sudah mulai menghampiri. Sampai kini, belum ada hal berarti yang saya sumbangkan ke masyarakatku. Hanya berupa keluhan-keluhan semata, lewat jemari tanganku ini. Tapi, Tinggal bagaimana kembali memotivasi diri, bahwa fungsi kita sebenarnya adalah berbaur dengan masyarakat, membantu mereka keluar dari zona nyaman penderitaannya. Terdengar utopis, tapi begitulah yang sebenarnya. Untuk menuju ke sana, kita sebagai pelajar harus siap dengan segala konsekuensinya, yang tentu akan banyak menghadang.

Menyangkut hal ini, saya tak menyalahkan sepenuhnya sikap pelajar-pelajar itu. Tapi mereka terpisah dari masyarakat lantaran keadaan kampus lah yang menjadi penyebab awalnya. Dalam kebudayaan dan system pendidikan modern sekarang ini kita dididik dan dilatih dalam benteng-benteng yang terlindung dan tak tertembus. Dan ketika para pelajar kembali ke lingkungan masyarakat, kemudian pun ditempatkan pada kedudukan-kedudukan sosial yang sama sekali terpisah dari keadaan sosial masyarakatnya. Lalu mencari nafkah pada lingkungan tertutup bak sangkar emas, sementara rakyat juga mengais-ngais rezeki pada wilayahnya pula. Sama-sama bergerak, namun terdapat garis demarkasi yang tegas.

Nah.. tanggungjawab terbesar dari para pelajar dan orang-orang yang ingin membangun masyarakat yaitu dengan menyatukan kembali unsur-unsur masyarakat yang terpecah belah itu, yang kadang-kadang saling bertentangan. Kutub teori dan peraktik harus disatukan kembali, jembatan antara rakyat dan intelektual harus dihubungkan, terlepas ideology apa yang dimiliki para intelektual itu. Para pelajar itu tak mesti menjadi Aristoteles, Copernicus, Ibnu Sina, atau pun Einstein. Setidaknya mereka dapat menjadi nabi-nabi di masyarakatnya masing-masing, yang dengan kekuatan batin menyerukan kesadaran, kebebasan, menggelorakan keyakinan baru untuk memacu masyarakat bertindak bijak. Para nabi ini mengajarkan kepada masyarakat mereka bagaimana caranya berubah dan akan kemana perubahan itu. Mereka menjadi dan merintis jalan dengan memberi jawaban kepada pertanyaan, “Akan menjadi apa kita ini?”

Kita pun tinggal memilih, apakah sekadar menjadi akademisi, politisi, seniman, ilmuan, pecundang atau menjadi nabi.. pilihan pun menjadi esensi yang membuat kita beriksistensi di alam raya ini.. maafkan aku yang hanya mampu menorehkan kata.. Hormatku pada Bripda Sudirman, yang telah menginsipirasiku semalam.

Idham Malik,
Untukmu dan untuk ia yang selalu ku rindu,
Iran Corner, siang hari, Selasa, 13/7/10.




0 komentar:

Kejutan Seorang Polisi dan Bagaimana Seorang Pelajar Bersikap!