semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

hutang, penjajahan Ekonomi Versi Sritua Arif


Indonesia telah merdeka sejak 64 tahun silam, ditandai dengan direbutnya tampuk pemerintahan dari tangan penjajah Jepang pasca pengeboman Hiroshima dan Nagazaki. Tapi Sritua Arif dalam buku Negeri Terjajah justru mengatakan belum. Guru Besar yang lahir di Stabat, Sumatera Timur pada tanggal 25 Mei 1938 ini beranggapan bahwa penjajahan masih tumbuh subur di negeri ajaib ini, bersembunyi dalam ilusi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Penjajahan yang dimaksud bukan lagi berbentuk eksploitasi fisik atau pemerasan kekayaan bumi secara gamblang seperti yang dilakoni Belanda dalam kurung waktu tiga setengah abad, tapi berupa penjajahan ekonomi dengan menyusupnya hutang luar negeri serta investasi asing. Aliran dana hangat itu belakangan memerangkap negeri kreditor dalam lilit hutang beserta bunganya. Penggunaan anggaran itu bukan hanya untuk proyek pembangunan konstruktif dan pertimbangan pengendalian hutang, tapi juga pembengkakan dana untuk proyek tidak penting dan mengisi pundi-pundi keuangan golongan elit.

Kolonialisme Ekonomi Sebelum Kemerdekaan
Sritua Arif mulanya menelisik akar kolonialisme ekonomi pada teori liberalisme klasik. Bertolak pada pemikiran Adam Smith dalam buku The Wealth of Nations yang terbit tahun 1776. Berupaya menghalau dasar pemikiran etika Kristen paternalistik yang menentang pengumpulan harta secara rakus. Filsafat individualistis Adam Smith yang didukung ajaran Kristen Protestan ini akhirnya mengurangi belenggu negara dan agama terhadap golongan kapitalis.

Adam Smith mengemukakan pembagian kerja (division of labour) atau spesialisasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi secara terus menerus. Perluasan pembagian kerja terhenti jika pasaran barang sudah tidak tumbuh lagi. Olehnya diperlukan perluasan wilayah untuk menjamin perluasan pasar. Dengan begitu, merebaklah upaya kolonialisasi dan perambahan ke dunia jajahan untuk mempertahankan produksi dan akumulasi pasaran barang di samping perluasan kawasan investasi.

David Ricardo, pemikir lain aliran liberalisme klasik menawarkan teori manfaat komparatif (Theory of Comparatif Advantage). Analisis Ricardo menjadi dasar perdagangan luar negeri Inggris dengan negara koloninya. Ekspor tekstil Inggris ke Portugal dan impor anggur dari Portugal telah mamatikan potensi tumbuhnya industri tekstil di Portugal. Manifestasi analisis manfaat komparatif Ricardo tampak dalam sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) di tanah Jawa tahun 1830. Cultuurstelsel menghasilkan surplus ekonomi dengan modal pokok investasi yang minim. Modal utamanya adalah tenaga kerja petani dengan pendapatan rill yang kecil. Sumber tenaga kerja produktif itu merosot karena lelah bekerja selain sedikitnya imbalan ekonomi untuk menopang standar hidup dinamis.

Surplus ekspor setelah dikurangi impor hasil Cultuurstelsel sebesar 781 juta gulden dalam priode 1840 – 1875 (Hatta, 1972). Pembukaan lahan perkebunan besar di Jawa dan Sumatera pada periode 1915 – 1920 meningkatkan surplus menjadi 3,3 milyar gulden. Keuntungan modal swasta Belanda ini sangat berbeda jauh dengan tingkat upah yang dibayarkan kepada buruh Indonesia. Ini menunjukkan bahwa imbalan moneter bagi setiap kenaikan produktivitas buruh Indonesia bukannya diterima oleh para buruh, tetapi dinikmati oleh pemegang saham bangsa Belanda. Di sinilah, bagaimana transfer nilai iu terjadi sebagai esensi pertukaran yang tidak adil.

Hutan Luar Negeri, Wajah Baru Penjajahan Ekonomi
Sebelum menelusuri kerancuan pemanfaatan hutan luar negeri pemerintah Indonesia. Sritua Arif terlebih dahulu memaparkan paradoks aliran dana hangat tersebut. Seperti yang diungkapkan Professor Fisher pada tahun 1993 yang dikenal sebagai Fisher Paradoks.

Teori Fisher Paradoks mengemukakan bahwa negara-negara penghutang besar terpaksa melakukan net transfer, yaitu proses transfer sumberdaya secara perlahan dari negara debitor ke negara kreditor. Net transfer timbul sebagai akibat adanya negative inflow sumber-sumber keuangan yang disebabkan nilai cicilan plus bunga hutang negeri lebih besar dari nilai hutang baru yang diperoleh pihak luar negeri. Indonesia menurut Sritua Arif telah mengalami situasi Fisher paradoks tersebut.

Dalam buku setebal 224 halaman itu, Sritua melihat bahwa hutang luar negeri erat kaitannya dengan strategi pembangunan pemerintahan priode orde baru. Menurutnya, langkah ini sengaja Orba tempuh untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin. Komponen utamanya yaitu kebijakan moneter, fiskal dan perdagangan luar negeri.

Kestabilan harga menjadi suatu keharusan karena dapat merangsang tambahan investasi, baik dari dalam negeri atau aliran dana asing. Kebijakan fiskal bedasar atas prinsip “anggaran berimbang”, dalam artian bahwa defisit ditutup dengan pinjaman luar negeri. Meski pembiayaan defisit fiskal ini mengakibatkan alokasi sumber-sumber ekonomi menjadi tidak efisien, namun tetap dipercaya dapat mengakibatkan rendahnya tingkat tabungan domestik. Ada ketakutan bahwa hal itu dapat menjadi penghalang masuknya modal asing dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Fisher Paradoks terlihat dalam pembayaran cicilan hutang luar negeri periode 1980-1993. Sementara menyicil sebesar US$ 1.4 milyar (Word Bank, 1994). Nilai net transfer periode 1985 – 1993 misalnya US$ 7.8 milyar dan pada periode 1994 – 1998 sebesar US$ 19 milyar. Denan net transfer ini Indonesia kembali dijajah, meski menuju negara maju, Indonesia tetap mentranfer kekayaan dalam format yang berbeda.

Idham Malik
Identitas, Awal Maret 2008



0 komentar:

hutang, penjajahan Ekonomi Versi Sritua Arif