semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Kebebasan, Mungkinkah?


Bebas. Mungkinkah kebebasan penuh itu dapat kita peroleh? Terutama kebebasan dalam menentukan pilihan. Menapaki jalan berliku menuju kebahagiaan yang azali. Mungkin saja, jika kita mau melepaskan diri dari anasir faktor pembatas (limited state). Selalu saja ada bingkai yang memasung niat, peluang yang berasal dari pertimbangan-pertimbangan dan keraguan. Bebas dari bisikan-bisikan ketakutan untuk mengambil resiko untuk lepas dari perangkap mitos kehidupan.

Mencoba hal baru yang dianggap perlu tanpa memaksakan terus berjuang pada medan usang dan membosankan. Terus hidup menelusuri kata hati dan buah pikiran sendiri tanpa mempertimbangkan ungkapan-ungkapan pesimis tetangga-tetangga sinis. Dengan begitu kemerdekaan berfikir tercipta seraya melepas unsur sosial sehingga tak ada lagi perbandingan yang menjadi asal diskursus, pergulatan berfikir. Pada akhirnya hubungan sosial itu tercipta sendiri ketika kita menemukan tanda-tanda kehidupan itu. Dalam saling pengaruh itu kita cendrung mengikuti tradisi, pengalaman orang-orang. Mungkinkah kita dapat mencipta sejarah kehidupan kita sendiri?

Semua ada jalannya. Hal ini tersirat dari novel Alkhemis karya Paulo Coelcho, yang berkisah tentang anak muda pengembala yang menelusuri kehidupannya sendiri. Tetap pendirian pada petunjuk-petunjuk batin bernama intuisi. Hingga menemukan kehidupan yang begitu bahagia karena adanya pencapaian niat seraya menikmatinya pelan-pelan. Dapatkah kita berbuat demikian?

Mungkin ada yang ingin seperti itu. Ingin terbang bebas mempelajari apa saja tanpa model, bingkai yang membatasi. Mengecap ilmu sesuai kata hati tanpa kontrol ideologi dan emosi. Kapan saja kita dapat belajar, terutama mempelajari kehidupan itu sendiri. Lalui takdir yang mungkin sudah ditakdirkan, gebrak mitos-mitos atau ciptakan diksi-diksi kehidupan. Tentu saja ini agak susah. Seperti diungkapkan di atas begitu banyak faktor pembatas. Sedari awal kita memang sudah dikrangkeng dikotak-kotakkan. Pendidikan yang mematikan kreativitas membunuh bakat. Jurusan yang pada dasarnya adalah pilihan untuk melanjutkan hidup malah menjadi sekat untuk menjamah yang lainnya. Justru ilmu yang menjadi hidup mati kita itu belum tentu akan memberi kepastian akan kehidupan berikutnya. Dapatkah kita mengikuti kata hati?

Barangkali ini sudah hukum, ketetapan sosial. Kita tak bisa lepas dari model, kerangka, patok kehidupan orang-orang. Kita mesti ikut pada arus yang sama, rel-rel yang dilalui banyak orang. Dan itu diawali dari teka-teki hidup disertai kegusaran menentukan pilihan, cendrung serampangan. Hingga nantinya kita juga menjadi kebanyakan orang-orang, hidup dengan keterpaksaan, kebahagiaan itu belum nampak dalam kehidupan, terutama dalam kariernya. Kebahagiaan barangkali ia temukan pada aspek lain, lewat cinta dan tanggung jawab keluarga, kehidupan. Menunaikan tanggung jawab adalah menikmati keindahan cobaan hidup. Walaupun mungkin pekerjaan yang dilakoni penuh dengan beban, terpaksa untuk menerima, untuk ikhlas. Sungguh nikmatnya bila apa yang kita lakoni itu adalah minat kita, bakat kita pula. Disitulah mungkin letak kepuasan dan kebahagiaan. Karena penuh keikhlasan tanpa rasa bosan. Mungkinkah?

Bagaimana pula kalau kita terlanjur terperangkap. Satu-satunya jalan mungkin adalah belajar mencintai. Pilihan kedua adalah mencoba ganti channel seraya melupakan segala yang pernah kita korbankan lalu menganggapnya sebagai pengalaman. Dapatkah kita mencintainya? Bisa jadi dengan menumbuhkan minat baru, atau menemukan keanehan-keanehan pada bidang baru itu. Mengorek-korek fakta lalu temukan fakta yang baru lagi. Mencipta keasyikan baru. Asyik dalam mengejar fakta pada medan baru. Maka terciptalah cinta, cinta yang dikonstruksi. Bukankah kita dianugerahi naluri untuk mencari tahu. Atau mencoba menjalani saja semua proses kehidupan, kalau tak sanggup menempuhnya, lepaslah, temukan kehidupan lain yang lebih menyenangkan. Walaupun mungkin hanya menjadi manusia biasa, tak sesuai dengan harapan. Lepas dari aturan-aturan lama menuju alam bebas aturan. Namun dalam alam bebas itu tetap ada aturan yang bernama hukum alam dan hukum sosial.

Namun, bagaimana pun kita tetap terpasung. Terpilah-pilah oleh ideologi-ideologi awal yang masuk di akal kita. Dari situlah kehidupan itu terkonstruksi. Realitas yang kita bangun adalah hasil pergumulan berbagai konsep yang mempengaruhi kita, meski pun kita sudah bebas memilih jalan hidup. Tapi so pasti pikiran itu berasal dari hasil cerna realita dan terinspirasi dari konsep orang-orang. Khusus mengenai pegangan hidup berupa agama. Tak lain mengatur hidup kita sesuai koridornya. Dan yang tak mau beragama juga terpengaruh pada paham materialisme, sebuah ideologi kemanusiaan yang membantah keberadaan maha pencipta. Ini semua adalah pilihan, tapi pilihan juga butuh pertimbangan. Apakah buah pikiran atau jalan itu masuk di akal kita atau tidak. Tapi masuk akal atau tidak itu tak lepas dari konstruksi dari awal, sejak kita lahir hingga dapat berfikir. Dari situ tak salah kalau disimpulkan pertimbangan lahir dari kerangka berfikir, frame masing-masing orang.

Identitas, 28 September 2006



0 komentar:

Kebebasan, Mungkinkah?