semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pengalaman Persentase Kepiting di Hotel Millenium Jakarta


Sore itu, Selasa (26/10), saat berada di atas Kapal Perang KRJ Surabaya yang masih menepi di Pelabuhan Sukarno-Hatta, tiba-tiba Prof Sutinah Made menelpon, katanya saya dan teman-teman penerima beasiswa Penelitian I-MHERE harus persiapkan power point presentase penelitian untuk dipresentasekan hari Senin, (2/11). Mendengar itu, saya sekadar mengiakan, pikiran lagi tak hendak ke mana-mana, ingin bersarang saja di kapal itu bersama keriuhan para peserta ekspedisi Takabonerate Island yang berjumlah sekitar 400 orang itu, dan partisipant International Youth Climate Fourum (IYCF) yang aneh dan menggairahkan..

Informasi itu terekam di ingatan, namun tertutupi oleh kegembiraan berwisata mengarungi selat makassar sembari mencari kawan-kawan baru dari beragam daerah di Indonesia, serta semangat baru untuk menghasilkan liputan mumpuni tentang wisata alam bawah laut, Takabonerate. Asyik tentunya, tiga hari di atas kapal, dan seharian menjelajah pulau Rajuni. Di atas kapal pun banyak hiburan yang dihidangkan, seperti malam ceria dengan lagu-lagu populer dari artis ibukota, aktraksi terjun payung, aktivitas anggota IYCF yang menambah input tentang rehabilitasi lingkungan, dan yang paling mengesankan adalah berbincang dengan teman-teman baru, khususnya dengan Karima (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Jani (Universitas Sriwijaya), Taufik (UNSOED), Arif (UI), Rifma Nesi (Padang), Kol Jalil (Angk. Udara), dan kawan-kawan dari Makassar sendiri.

Yah.. presentase beasiswa kembali terpikirkan pada Sabtu pagi, saat kapal sebentar lagi mendarat di pelabuhan makassar. Saya pun mengontak teman-teman penerima beasiswa untuk mempersiapkan bahannya.. sesampai di rumah sore harinya, saya manfaatkan untuk istirahat total di rumah. Esok pagi penuh dengan agenda jalan-jalan, yaitu berkunjung ke Bantimurung bersama sahabat baru bernama Karima dan Desty Dina Daniar, mahasiswa asal UPI Bandung. Seharian kami menemani mereka, memperkenalkan alam Sulsel berupa derasnya air terjun, rimbunnya alam hutan kami, serta beragamnya jenis kupu-kupu yang terdapat di alam Maros itu. Mereka pun tampak senang dengan aktivitas hari itu, fikiran yang ribet mengenai lingkungan pun dirilekskan kembali dengan menghirup udara segar alam bebas, memandangi hijau pepohonan dan yah cerita santai berbagi pengalaman dengan pengalaman kami sebagai orang lokal. Kami jalan berempat hingga petang hari.

Sehabis mengajak Ima dan Desti jalan, teman dari Riau yang bernama Jani sementara menunggu di Terminal Malangkeri, ia pun ingin diantar untuk mencari tiket balik ke Jakarta dan Palembang. Cukup lama ia menunggu di Terminal, katanya nyamuk di sana besar-besar.. hehehe.. setelah menelusuri koridor terminal, saya menemukannya duduk bertiga dengan penumpang lain, senyum pun menghiasi wajahnya yang terlihat lelah. Kami melaju lambat, ia menceritakan kekagumannya terhadap pantai Bira, “kakak beruntung jadi Orang Bugis, karena pantai kakak cantik, lebih cantik dari Kuta Bali,” celotehnya.. hehehe.. saya hanya tersenyum dan mengangguk setuju.. kami berkeliling-keliling kota malam itu, dalam ketegangan mencari travel, hingga tiba di lesehan pinggir pantai, dengan semangat persahabatan menyantap bersama ikan kerapu, yang katanya serasa daging ayam.. ma’nyus.. Setelah urusan perut usai, menjelang tengah malam saya mengantarnya ke rumah seniorku yang bernama Najmia, di lorong asrama polisi di ujung jalan Sunu, Makassar. Rumit juga mencari alamatnya pada malam yang lengang..

Seharian jalan, lupa aku pada presentase esok hari. Tengah malam baru aku balik ke sekretariat identitas untuk istirahat lagi. Dalam benak sudah sengsara, soalnya laptop diserang virus, jalan satu-satunya hanya menyandarkan harapan ke sahabat bernama Babra, yang semoga saja masih menyimpan file dokumen skripsi dan power point saya. Setelah mendapat balasan darinya bahwa ia bersedia menolong untuk menyiapkan bahan presentasi besok. Akhirnya dapat tidur tenang juga.

Esoknya saya bangun pagi betul, dengan saklek membaca laporan penelitian mulai dari latar belakang, tinjauan pustaka hingga metode penelitian. asyik juga ternyata, ada beberapa hal yang baru betul-betul saya paham setelah mengulang lagi laporan itu. Yang dulu mungkin cuma pengertian sekilas saja. Dengan begitu, ilmu kepiting pun masuk lewat jalur bebas hambatan di pulau pikiran. Utamanya yang berkaitan dengan ilmu pakan yang disangkutpautkan dengan fisiologi dan ekologi kepiting.

Pukul 10.00 Wita, kami para penerima beasiswa sudah siap di Lantai 6 Gedung Rektorat Unhas. Peserta yang hadir sekitar 16 orang, delapan dari Budidaya Perairan dan delapan lagi dari Farmasi Unhas. Secara bergiliran kami mempresentasikan hasil penelitian kami di hadapan empat reveiwer yang juga dosen BDP dan Farmasi. Lucu juga melihat para presenter, terdapat perbedaan pada pola presentasi antar dua jurusan yang bekerjasama ini, kalau slide anak Farmasi terlihat datar, statis dan lebih banyak bahasa ilmiah yang sangat sulit saya mengerti, sementara pola slide kami dari BDP lebih cerah berwarna, simpel, lebih bersifat penggambaran dengan diimbangi dengan gambar. Kami dari BDP kebanyakan pria yang cerewet dan terlihat ceria sementara dari Farmasi kebanyakan perempuan dan tampak kaku, meski ada beberapa yang cantik. Dan.. saat itu, seorang anak farmasi terus curi pandang, matanya mengarah kepadaku sembari tersenyum.. tak tahu apa maksudnya.. tapi senang juga saling tatap di ruang yang sedikit diliputi suasana tegang itu.. hehehe...

Tiba saatnya saya naik untuk presentasi, kalau tak salah urutan ke delapan. Dengan penuh keyakinan saya pun memulai, menjelaskan latar belakang penelitian pakan kepiting, yang lebih mengarah pada tersedianya pakan yang mengandung ekstrak bayam yang murah dan ramah lingkungan, metodenya yang bersifat deskriptif hingga hasilnya yang signifikan, berupa persentase molting yang lumayan jika dibandingkan dengan . Meski dengan suara parau, entah karena apa perhatian betul-betul terfokus, dosen pun tampak begitu tertarik. Bahkan mereka berceloteh ingin membeli kepitingnya. Senang rasanya melihat respon positif dari mereka.. hehe.. saat itu, saya sangat berterimakasih buat saudara Babra Kamal, yang telah membantu menyiapkan presentase dan memprintkan laporan penelitian. Hingga sekitar tiga jam berikutnya, saat saya sudah berada di sekretariat PK. identitas, bu Sutinah kembali menelpon, “penelitian Idam terpilih untuk dipresentasikan di Jakarta, jadi kamu harus siap perbaiki slide mu yah!!” ada kekosongan saat mendengar pernyataan itu. Langkah tegang, dan darah terasa mengalir deras. Inikah yang disebut perasaan gembira!!? Saya mencari info lainnya, ternyata kami berangkat berempat, dua orang dosen perempuan dan seorang lagi mahasiswa farmasi bernama Fitriana Umar.. Yah.. Go.. kepiting Go... keep Jakarta..!!!

Berangkat ke Jakarta dan aktivitas di Millenium Hotel
Jumat (19/11) pukul 0800 Wita saya sudah menunggu di Bandara Sultan Hasanuddin, ibu-ibu itu belum datang hingga jam sembilan. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali mendongkol, Hp menjadi sasaran utak-atik sms untuk mempercepat proses pelupaan waktu. Fina datang diantar dua orang orang tuanya, dari perwatakannya, ia mirip sekali dengan dosen yang keras hati, saklek, teliti, dan tegar sendiri. Cukup sulit juga untuk mendeskripsikannya, mungkin ia lebih terkesan sinis kali yah..

Dosen datang dan langsung ke loket LionAir, kami pun membayar masing-masing pajak bandara. Pesawat akhirnya take off, pikiran pun terbawa suasana pemandangan dari udara yang cukup memesona, meski juga membosankan. Kumpulan awan yang membentuk organ beraneka rupa, langit polos biru, andai saja ada burung lewat, gimana ceritanya itu.. dalam dua jam itu, waktu pun tergerus dalam alam bawah sadar, lewat kilasan-kilasan mimpi..

Tiba di bandara, kami langsung naik taksi menuju Hotel Millenium di sekitar Tanah Abang, Jln Fakhruddin, Jakarta Pusat. Tak ada bayangan sebelumnya dapat menginap di hotel bintang lima semegah itu, tak ada jalan selain bersyukur pada yang di Atas, yang lewat kepiting mengantarkan saya bisa merasakan pesona hotel dan segala kemewahannya. Tapi, sebetulnya saya tak begitu terekspektasi, karena bagi saya semua rumah sama saja, mungkin cuma gengsi dan kesannya jika diceritakan pada orang lain saja yang berbeda. Selain itu, pengalaman ini akan menjadi sandaran untuk selalu percaya diri. Bahwa saya juga pernah merasakan jadi pemenang dan hidup mewah, buat apa rendah diri di hadapan orang-orang besar ataupun orang asing.

Kami melakukan registrasi, saat itu tampak beberapa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, sepertinya seminar I-MHERE ini menghimpun peneliti muda seseantero nusantara, ada dari Syiah Kuala Aceh, Universitas Negeri Medan, Univ. Lampung, Unhas, Unlam, Univ. Palangkaraya, univ. Monokwari, Politani Jember, Univ. Soedirman, ITS Surabaya, Univ. Padjajaran, Univ. Riau, Politani Pangkep dan beberapa lagi yang sudah saya lupa asalnya. Kalau tak salah peserta seminar tersebut berjumlah 97 –an partisipan, 50-an mahasiswa, 40-an dosen.

Kegiatan awal kami saat tiba, sehabis registrasi, yaitu santap siang, menu-menu yang ada pun sangat beragam, yah.. semacam ayam goreng, dendeng, udang, dan ikan besar, kami tinggal memilih sesuai selera, belum lagi ditutup dengan es kelapa muda.. ma’nyuss... amboi bannar tinggal di Hotel.. hehehe..

Partisipan pun dibagi lima kelompok, dimana saya ditempatkan di kelompok C, yaitu partisipan dari kelompok agrokompleks (perikanan, peternakan dan pertanian). Kelompok lainnya terbagi menjadi kelompok MIPA dua kelompok, Teknik, dan pendidikan.. Dari jadwal kegiatan yang saya peroleh, saya diberi kesempatan untuk presentase pada pukul 14.00, sejam sejak kedatanganku di hotel itu. Jadi, tidak sempat lagi naik ke kamar yang terletak di lantai 5 untuk simpan barang-barang, cuma ikut pembukaan di ruang lobi dasar lalu naik ke ruang melati di lantai dua untuk segera mempersiapkan bahan persentase. Sesaat kemudian, sekitar 20 partisipan telah ada di ruangan, hampir setengahnya adalah dosen yang mendapatkan beasiswa risearch grant. Sementara yang duduk di meja depan dan menghadap ke kami adalah para reviewer yang seorang berasal dari UI dan dua lainnya dari IPB, saat itu, penguji dari UI belum datang.

Saat itu, saya mengambil posisi di belakang, sebab di posisi itu dekat dengan colokan listrik sehingga saya dapat menyalakan laptop. Nah.. tibalah giliran presentase, kesempatan pertama diperoleh oleh dosen saya Dr. Ir. Siti Aslamyah, MS, dengan serius tapi sedikit santai ia memaparkan hasil penelitiannya yang berkenanaan dengan retensi protein pada pencernaan udang.. rumit juga, sehingga saya kurang mengerti kontennya. Tiga pulu menit berlalu, dengan beberapa pertanyaan dari reviewer. Pada akhir-akhir presentase, ibu yang cukup manis ini tampak sedikit tegang.. setelah dikonfirmasi, katanya, “saat naik presentasi sakit kepala ku kambuh, jadi saya harus menahannya,” ujarnya.

Nah, setelah Dr. Aslamyah tibalah waktu saya untuk memaparkan slide penelitian pakan kepiting. Ucapan terimakasih terlontar dengan sedikit tertekan, saya lanjutkan dengan penjelasan latar belakang yang intinya bagaimana menghasilkan pakan yang dapat mempercepat proses molting yang murah dan ramah lingkungan. Pakan yang saya gunakan telah disemprotkan larutan vitomolt (ekstrak bayam), kandungan dari vitomolt ini merupakan hormon ekdison atau ekdisteroid, yang terbukti dapat mempercepat laju molting kepiting bakau. Selain itu, beberapa pellet yang diteliti terdiri dari beragam bahan baku dan komposisi. Dimana pakan yang paling optimal progressnya adalah pakan dengan kandungan bahan baku yang beragam dan terdapat protein dari nabati dalam campurannya.

Setelah itu, metode dan hasil ditampilkan serta foto-foto penelitian. penutup pun dilontarkan. Lega rasanya dapat menjelaskannya dengan singkat padat dan jelas, meski sedikit keseleo lidah.. hehehe.. perasaan tenang menghampiri, beban terlepas pelan-pelan.. Saat tim penguji memberikan komentar, saya menjawab apa adanya, tanpa ada tambahan-tambahan yang terlihat sulit. Sesuai dengan perkataan senior Supa Athana, saya pun menjelaskan/menjawab sesuai pengamatan langsung saya di lapangan. Yah.. memang lebih banyak mengarah pada prakteknya di lokasi, seperti bagaimana komposisi pakannya, metode perhitungan pertumbuhan kepitingnya, serta permasalahan kualitas airnya. Lantaran tahu banyak soal lapangan dan sedikit teori, jawaban pun mengalir, seperti lirik ‘Bengawan Solo’ lagu kesukaanku, “airnya mengalir sampai ke laut”. Terakhir yang dikatakan oleh reviewer dan saya rekam betul, yaitu, “semoga penelitiannya tetap lanjut yah!!” kata penguji yang juga Dekan Fak. Peternakan IPB itu, sayang, saya lupa namanya.

Setelah itu, saya tidak lagi fokus pada persentase partisipan berikutnya, beberapa kali saya keluar masuk ruangan, entah untuk ke kamar kecil, mengembalikan Flashdisk (FD) Fina, membelikan obat sakit kepala buat Bu As, hingga keluar untuk izin shalat Ashar. Sehingga ilmu hasil penelitian dari Politani Pangkep, Unlam, Unsoed, dan Politani Jember pun cuma terekam sebagian di memori. Walau input data belum mumpuni merasuk pikir, kesan yang diperoleh sudah saya anggap luar biasa. Soalnya, saya sudah ditempatkan bersama peneliti-peneliti pilihan di universitasnya masing-masing. Bergumul dengan komunitas ilmiah, untuk bersama-sama mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Kesempatan untuk berbicara di forum nasional adalah sesuatu yang langka, dan kesempatan ini datang begitu saja kepadaku tanpa pernah ada pengharapan serius. Yah.. lagi-lagi, ini tak lepas dari rekayasa yang di Atas.. apalah daya kita untuk memprediksi nasib kita sendiri, sebelum-sebelumnya pun saya sudah mencoba beberapa kali bergaul pada ruang nasional, seperti mendaftar di ‘Indonesia Mengajar’, Kompas atau pun kuliah di Iran, tapi selalu saja terjanggal pada sesi akhir. Kini, presentasi kepiting ini merupakan capaian tertinggi, penghormatan terhadap ilmu dan kerja keras selama ini dalam membangun ilmu pengetahuan itu.

Satu persatu naik dengan gaya, khas dan logatnya masing-masing, ada yang logat Makassar, Padang, bahkan logat banjar yang kental. Hingga berakhir pada pukul 21.00 WIB. Sehabis itu, saya menyambangi ruang sebelah yang membahas topik MIPA, terkait dalamnya kimia dan farmasi. Saat itu, yang menjadi presenter adalah alumni dari Universitas Padjajaran, membahas mengenai susunan kimia pada sejenis logam, hemm.. saya tak mengingat lagi jenis apa dan untuk apa logam itu. Saya hanya mengingat paras pembawa materinya yang tampaknya berparas Sunda, cantik oeee... hee..

Setelah malang melintang antar ruang presentase, akhirnya bisa ke kamar lagi untuk istirahat dan menikmati kemewahan kamar hotel. Sebelumnya, saat istirahat sore, sempat berbaring di kasurnya yang empuk, sempat memandangi pesona malam dengan lampu-lampu gemerlap suasana jalan Fakhruddin, dan yang paling seru yakni sempat menikmati kamar mandi dengan berendam air hangat di baknya.. saat berendam itu, kenangan-kenangan akan perjuangan akan ilmu pengetahuan hadir lagi, bersama kawan-kawan se kampus yang kini rimbanya sudah terpencar-pencar, ada yang di kalimantan, menjadi pegawai bank, ada yang sibuk mendaftar CPNS, dan ada yang dengan serius menikmati masa studi Master-nya. “ah.. perjalanan hidup ini begitu sulit diterka, begitu banyak misteri, dan tahapan-tahapannya betul-betul mengagetkan..!”

Malam yang temaram. Badan lelah dan mulai kalah oleh sang waktu. Kamar di serbu oleh suhu rendah, membuat tubuh bereaksi untuk menyelinapkan diri dalam selimut. Kesadaran pun lambat laun lenyap bersama mimpi-mimpi menjadi orang besar, sebesar Ali Syariati, Sutan Sharir, ataupun sekelas Soedjatmoko.. hupp..


Jalan Pagi di Tanah Abang hingga Makan Konro bersama Pengusaha Kepiting
Sinar matahari belum menyapa jendela kamar, tapi bunyi sms sudah menhentak kenyamanan tidur. Jam HP menunjukkan pukul 05.10 Wita, SMS berasal dari Ibu Aslam ternyata, ia mengajak jalan-jalan pagi di sekitar tanah Abang. Okelah Bu.. Tapi saya harus sabar menunggu, Ali Maula, teman kamar saya lama betul berendam di kamar mandi. Sekitar setengah jam saya menunggunya keluar, padahal kepentingan saya hanya mau sikat gigi dan ambil air wudhu. Setelah shalat, ternyata Bu As juga belum siap. Ia juga sementara menunggu teman kamarnya mandi, saya hanya ketawa dalam hati, perempuan memang lebih lama kalau usuran bersih-bersih yah..

Saat berada di halaman hotel Millenium, tiga partisipan asal Univ. Lambung Mangkurat berada hendak juga keluar jalan-jalan. Bahkan mereka hendak ingin naik angkot ke Tanah Abang, padahal menurut Ibu As, jarak hotel dengan blok di tanah abang cukup dekat, yah.. cukup dengan berjalan kaki../ jadi, kami jalan berempat, sambil berdiskusi dengan tema beragam. Saya lebih banyak berinteraksi dengan Jasuli, alumni Unlam, dan Ibu As dengan dosen dan seorang mahasiswa univ asal Banjarmasin itu. Senang mendengar diskusi ini, karena kami menggunakan logat Banjar, Ibu As asli Banjar dan saya pernah di Banjarmasin selama dua bulan. “Asyik Bannar”, saya pun kembali merasakan iklim banjar di tengah riuh pagi Jakarta. Kami pun berkeliling sebuah blok di Tanah Abang, yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, yang barang dagangannya terkenal murah meriah. Namun, saat itu, kami cuma mengamati suasana aktivitas pagi para pemasok barang, para pedangang yang baru membuka kiosnya, dan para buruh angkut yang sementara menunggu panggilan. Hemm.. kasihan juga melihat para buruh itu, yang mesti menukar keringat dan tenaganya untuk dapat hidup sehari-hari di Jakarta. Yang dengar-dengar sangat kejam bagi rakyat kecil. Hidup di Jakarta, harus banting tulang, sebab, biaya hidup di kota itu sangat mahal.

Balik dari Tanah Abang, saya dan Bu Ass menikmati sarapan pagi di ruang lobi, makanannya beragam. Ada beberapa jenis makanan yang baru pertamakali saya coba saat itu, seperti beberapa jenis roti dengan sambalnya, sup asin, penghabisannya, saya akhirnya mencoba makanan berat juga, berupa nasi goreng campur ayam. Sehabis sarapan, saya menuju kamar untuk beres-beres persiapan penutupan. Kembali lagi saya menikmati air hangat dalam bak mandi. Tubuh serasa dimanja, ada juga baiknya, karena pikiran jadi demikian rileks, tekanan-tekanan pikir melempem begitu saja. Yang ada adalah kenikmatan semata, yang merangsang pikiran untuk melambung jauh.. bebas pikir/kosong pikir.

Setelah bersih-bersih tubuh, kami berkumpul di ruang I-MHERE di lantai satu. Duduk berbincang dengan delegasi lainnya, sembari menunggu hasil pengumuman. Pada pukul 10.30, tim reviewer memimpin sesi penutupan. Seorang diantaranya membacakan hasil penilaian, dengan tingkatan nilai A, B dan C. Dari kelompok satu hingga lima yang terdiri dari dosen dan alumni. Saat itu, saya mengambil pinsil dan mencatat-catat di kertas, siapa-siapa yang berhasil, sesaat pengumuman untuk kelompok C, nama saya pun disebut. Wow... perasaan tenang tiba-tiba melambung, meski cuma sebentar saja luapannya. Mungkin ini ekspresi bahagia terhadap kondisi yang mengabarkan kemenangan. Dalam sejarah hidup, terus terang saya jarang mendapat prestasi khusus, biasanya saya juara di antara orang biasa-biasa saja. Tapi kali ini? Entah lah..

Mulanya saya berharap mendapat tambahan apresiasi, namun ternyata cuma simbolis saja predikat presenter terbaik untuk kelompok C itu. Meski begitu, rasa bangga itu tetap terasa, dosen-dosen memberi selamat, teman-teman partisipan pun demikian. Yah.. boleh dibilang, momen saat itu adalah momentum kemenangan terbesarku..

Sehabis mengambil sertifikat, kami pun pulang terpencar, Bu titi dan Bu Sutinah pulang terlebih dahulu, Fina, Bu As dan Saya menghabiskan waktu ke Mangga Dua dulu, fina lanjut berangkat bersama temannya sesaat tiba di Mangdu, sementara saya dan Bu As melanjutkan belanja, di tanganku saya hanya membeli dua baju batik, dan sisanya adalah belanjaan Ibu Ass yang lumayan banyak. Dua jam di Mangdu pun cukup berkesan, karena dapat keliling-keliling Mall mengamati jenis barang beserta harganya yang ternyata bisa jatuh miring. Di situ, saya juga dapat mengamati tipikal penjual dan bahasanya, dan yang paling utama adalah bagaimana diri kita yang sendiri ini dapat mengatasi keterasingan keadaan. Dimana pikiran tak boleh lenyap sesaat pun, untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa muncul. Keterasingan merupakan salah satu musuh terbesarku, dan perjalanan hingga ke Mangga Dua ini adalah eksperimentasi menghadapi yang lain itu.

Tak lama kemudian, Ibu Ass pun melenggang ke bandara, saya pun mencari sudut untuk bisa menghayati waktu yang kian terasa dalam kesendirian. Saat itu saya menunggu Pak Ginto, pengusaha kepiting asal Jakarta Utara, yang sebelum sebelumnya sangat bersemangat untuk berdiskusi tentang kepiting. Kebetulan dia membaca beberapa tulisan mengenai kepiting dalam blog pribadi saya. Tampaknya ia berminat untuk mencoba pakan hasil eksperimentasi kelompok kepiting kami di Unhas. Okelah kalo gitu, aku tunggu Pak.

Jalan di depan Mangdu begitu macet, antara mobil di depan dan mobil yang dibelakang hampir berciuman. Jalannya seperti siput. saya berpikir, Pak Ginto pasti terkena macet, jadi wajar kalau tibanya begitu lama. Sore itu cukup terik, dalam keramaian jalan, seorang berpakaian kaos putih dan bertopi hitam berjalan cepat menyusur trotoar. Tiba-tiba hp bergetar, yah dari Ginto Jakarta, kami akhirnya bertemu, berjabat tangan begitu erat. Kami berdiskusi diselingi tawa hangat. Berjalan dulu sejauh 150 meter untuk ke ruang parkir, yah, tentu itu juga disebabkan karena macet, sehingga mobil miliknya mesti berputar-putar dulu mencari tempat penghentian yang tepat.

Sambil mengendarai mobil, Pak Ginto terus bercerita, memperkenalkan bisnis kepitingnya. Selama sembilan bulan ini ia fokus mengembangkan eksport kepiting banci ke negeri Taiwan. Katanya kepiting banci begitu disukai di negeri bentukan Sun Yat Sen itu, lantaran kandungan lemaknya yang tinggi. Ia pun memperlihatkan foto teknologi desain budidaya penggemukan kepiting sistem indor, yang katanya diunduh dari situs negeri Malaysia. Ia pun menerapkan sistem tersebut, yang tentu lebih terkontrol, lebih terjamin kualitasnya. Tapi, tentu saja juga lebih mahal.. hehehe.. tapi, sepertinya, bapak berumur 40 –an berdarah jakarta-batak ini tak terlalu memusingkan penggunaan teknologi tinggi, karena ia lebih mentingkan kualitas. Sebab, komoditasnya akan lebih muda diterima di negara tujuan kalau metodenya bersih dan tepat.

Ginto mengajak jalan ke kediamannya di kompleks perumahan di daerah Pluit, Jakarta Utara. Gelap menerobos, malam menghampiri, perut udah keroncong, kami pun mencari rumah makan yang sudah dipastikan oleh Ginto, sebuah rumah makan dengan meja-meja tamu memanjang hingga ke halaman. Kami memesan porsi tulang iga, tak asing juga kelihatannya karena kalau di Makassar menu tersebut kerap disapa ‘konro’. Tapi, menu kali itu tak memiliki kuah, jadi sekedar daging lembek yang melekat dengan tulang.

Diskusi kami kian seru sambil menikmati hidangan hangat itu. Topik pembicaraan tetap kepiting, ia bercerita tentang pengalamannya membangun usaha, menjalin relasi, menembus pasar luar negeri, tentang pakan yang digunakan hingga beberapa kegagalan-kegagalan, yang selanjutnya berujung keberuntungan-keberuntungan. Yah.. itulah dinamika berusaha, dimana kekeliruan menjadi guru, untuk menghantarkan kita ke metode yang lebih baik. Saya cuma menimpali sesakali, menghubungkan dengan teori yang menyangkut biologi, fisiologi, dan ilmu gizi kepiting yang sempat saya baca atau yang saya peroleh di lapangan. Setelah itu, saya diajak ke daerah kapuk, lokasi gudang penampungan kepiting yang berasal dari daerah-daerah. Hebatnya, gudang itu terdapat sistem budidaya yang begitu ciamik, sebab menerapkan sistem terkontrol, air deras, pakan berupa bakso ikan. Sekian waktu saya mengamati sistem itu, kesan keseriusan betul-betul hadir, menyerbu pikiran yang selama ini dihantui oleh kemiskinan inspirasi, khususnya yang berkenaan dengan dunia ilmiah.. nah, dari pertemuan dengan Ginto, kesadaran untuk berinovasi kembali tumbuh, yang kini terus saya pupuk untuk diusahakan melahirkan karya.. amin..

Cukup lama saya di kantor itu, sekitar satu jam lebih, lebih banyak bercerita tentang sistem Indor yang digunakan. Pak Ginto juga memperlihatkan foto-foto teknologi terbarunya dalam hal pengepakan kepiting, asyik juga, ternyata masalah efisiensi dapat memacu kreatifitas.. malam kian larut, jam menunjukkan pukul 22.00, dengan segan saya minta izin untuk diantarkan ke Pondok Gede, Jatiwaringin, Klinik Ufa tempat kakak saya bekerja.
Yah.. malam itu badan begitu lelah, dan mulai terhapus sejak mata terpejam. Memimpikan Kota Bandung esok hari..

Idham Malik
Warkop Mammiri Makassar, 14 Desember 2010



0 komentar:

Pengalaman Persentase Kepiting di Hotel Millenium Jakarta