semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tanre Assona, Kampung Guru yang Mencintai Kebersihan

Jalanan sudah dilapisi aspal, kendaraan sudah dapat dengan mulus keluar masuk ke Dusun Tanre Assona, Desa Padakkalawa, Kec. Mattirobulu, Kab. Pinrang, kampung yang ditunjuk sebagai lokasi Simulasi Pandemi Episenter Influenza itu. Pada sisi kanan kiri jalan antara pintu gerbang ke pusat dusun yang berjarak sekitar 100 meter, mata disejukkan oleh hijau hamparan sawah. Tampak pula rindang tanaman pepaya pada petak-petak kebun di belakang rumah warga.

Di jantung dusun, terdapat mesjid Attaqwa yang berukuran megah, sontak menjadi bangunan terbesar di Tanre Assona. Keberadaan mesjid besar itu sedikit menimbulkan pertanyaan sekaligus kekaguman. Karena warga dusun yang jumlah penduduknya tak lebih dari 695 orang itu ternyata punya simpati khusus terhadap kehidupan beragama. Mesjid ini pun menjadi pusat kegiatan warga, rumah yang sejuk untuk mendiskusikan perkembangan-perkembangan dusun, sekaligus membincangkan masalah-masalah pelik yang harus segera diselesaikan, sekaligus sebagai tempat melatih para generasi muda untuk selalu mencintai tuhan dan sesama manusia.

Keberadaan mesjid besar ini pasti menjadi simbol kunci teka-teki penunjukan Tanre Assona sebagai lokasi episenter pandemi. Karena Dinas Kesehatan tidak begitu saja asal pilih daerah yang hendak dijadikan lokasi, pasti terdapat sebab-sebab khusus yang menjadikannya menarik dan dianggap dapat memperlancar pelaksanaan kegiatan simulasi.

Pertanyaan ini dijawab sepintas oleh Kepala Dinkes Pinrang. “Masyarakat Tanre Assona terkenal sebagai masyarakat agamis. Kampung ini juga terkenal dengan istilah kampung guru, lantaran cukup banyak warga yang mengerti agama di kampung ini. Sehingga, karakter yang demikian akan lebih memudahkan pengambil kebijakan untuk mengatur, tentu mengatur ke arah yang lebih baik,” ujar Dr. H. Rusman Achmad, Mkes, Kepala Dinas Kesehatan Kab. Pinrang.

H. Andi Ramli Halik, Kepala Desa Padakkalawa membenarkan pernyataan Kadinkes. “Pada umumnya, masyarakat Tanre Assona sudah paham betul arti penting hidup sehat, karena sudah mengakar dalam budaya hidup sehari-harinya,” ungkapnya. Hal ini bisa dilihat jika adzan mesjid sudah berkumandang, warga desa pun akan berbondong-bondong ke mesjid untuk shalat berjamaah. Kehidupan beragama Dusun Tanre Assona mendapat respon positif dari Bupati Pinrang, yang kemudian menjadikan Tanre Assona sebagai pusat percontohan Syariat Islam di Pinrang sejak 2009 lalu.

Menurut H. Muh. Akil Mallawa (57), tokoh agama Dusun Tanre Assona, kehidupan beragama berimplikasi terhadap wawasan kesehatan diri dan lingkungan. “Sejak dari dulu Tanre Assona cinta pada kebersihan, karena kebersihan lebih dekat pada iman,” tutur bapak yang sering menjadi imam desa ini. Budaya bersih ini adalah kunci pokok kenapa warga lebih bisa diatur dan lebih gampang paham tentang budaya sehat.

Alasan lain yang menarik Dinkes adalah tata kota dusun itu. Jika diterawang dari atas, kampung ini cukup tertata rapi, terdapat tiga simpang jalan. Rumah warga tersusun pada sisi-sisi jalan dengan halaman yang tumbuhi pohon-pohon mangga serta pot-pot dengan beragam bebungaan. Dengan tata lahan yang apik ini, Tanre Assona pun kian menarik untuk dijadikan lokasi episenter pandemi yang berskala internasional itu, lantaran posisinya yang strategis serta jaraknya yang jauh dari kebisingan jalan raya. Hal ini tentu akan memudahkan pelaksanaan simulasi pandemi.

Dari tinjauan peternakan, warga Tanre Assona tampak rawan terinfeksi virus flu burung. Rumah di Tanre Assona berupa rumah panggung, dimana bagian bawah rumah terdapat kandang ayam yang terbuat dari bilah bambu. Kandang ayam inilah yang mengkhwatirkan, sebab keberadaan unggas dapat menjadi pemicu timbulnya virus flu burung.

“Ribuan unggas pernah mati di Tanre Assona, tanpa masyarakat tahu apa penyebabnya. Walaupun virus mati pada suhu di atas 400 C, sehingga tidak membahayakan jika dimasak dengan baik. Tapi tetap akan menular melalui udara pada saat proses pengolahan atau ketika berinteraksi dengan unggas,” tambah Rusman. Sehingga satu-satunya jalan jika terdapat indikasi flu burung adalah dengan memutus mata rantai virus, yaitu lewat pemusnahan massal.

Meski pernah terjadi kematian unggas secara missal, masyarakat Tanre Assona masih tetap setia memelihara ayam di bawah kolong rumahnya. Mungkin mereka melihat dari tinjauan pengawasan unggas yang akan lebih mudah jika dipelihara di dekat rumah. Namun, tentu hal itu masih terlihat mengancam jika saja kematian missal itu terulang kembali.

Dengan pengecualian pemeliharaan ayam di dekat rumah, warga Tanre Assona cukup dapat menjaga kebersihan daerah sekitarnya. Dapat diamati dengan tak tampaknya sampah di bertebaran di bawah kolong rumah atau di tepi-tepi badan jalan. Dengan kebiasaan bersihnya ini, membuat warga dusun dapat dengan mudah memahami aspek-aspek kesehatan lainnya. Dusun ini juga menjadi pusat pelaksanaan desa siaga, dimana desa ini menjadi desa percontohan untuk pelaksanaan program-program kesehatan, seperti kegiatan posyandu. Di samping percontohan bagi pembinaan warga dan pembangunan dusun yang intens dan apik.

Telah beberapa kali Tanre Assona menyabet juara tingkat kabupaten, provinsi dan tingkat nasional. Seperti juara I Tingkat Nasional oleh Kelompok Pendengar Pemuda Tani Tanre Assona pada 1979, juara I Tingkat Nasional oleh Bunga Mekar Wanita Tani Tanre Assona pada 1980. Di samping itu telah menjalin kerjasama dengan Unicef dalam hal pendirian Posyandu DDI Tanre Assona pada 1987 dan pada tahun 2000 dusun Tanre Assona kembali merebut juara I Kelompok Tani Adagau Intensifikasi Padi Tingkat Provinsi. Pada 2009 tahun lalu juara satu lagi dalam hal perpustakaan remaja tingkat Sulsel.

Tentunya, prestasi yang bertubi-tubi yang diperoleh Dusun Tanre Assona tak hadir begitu saja. Prestasi itu merupakan indikator keberhasilan warga dalam mempertahankan budaya kerjakeras, kreativitas, kebersamaan, dan kecintaan kepada kebersihan, pembinaan warga dan pembangunan dusun. Kebudayaan ini tidak lahir begitu saja, tercetak sejarah panjang yang dirajut dari setiap peristiwa. Momentum yang memicu perubahan dan perbaikan, hingga menjadi kebiasaan yang timbul dari elan vital yang selalu mendamba kebersihan jiwa. Hal yang paling bisa diidentifikasi dari kebudayaan ini sangat relevan dengan pemahaman keberagamaan yang cinta kebersihan.

Sejarah Panjang Kampung Guru
Seperti yang telah dibahasakan di atas, budaya bersih dan kehidupan agama menjadi motor penggerak keberhasilan warga dalam segala segmen, termasuk keberhasilannya dalam menyukseskan Simulasi Episenter Pandemi Influenza. Bagaimanakah asal mula perkembangan kehidupan agama di Dusun Tanre Assona ini?

Dari tinjauan sejarah, warga Tanre Assona memang sudah sejak lama dikenal sebagai manusia bijak. Sejak Indonesia belum merdeka atau masih dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil, yaitu kerajaan Mattirobulu. Perkembangan berikutnya Tanre Assona berada di bawah pemerintahan Arung (Raja) Padakkalawa, sesuai wilayah belahan sungai bagian barat. Sedangkan sebelah selatan sungai yang membelah wilayah Mattirobulu menjadi Arung Aditta, dan wilayah sebelah timur sungai dipimpin oleh Arung Bua.

Nama Tanre Assona sendiri berarti tinggi matahari, yang jika punya makna ganda. Pertama menunjukkan bahwa warganya selalu ditunggu-tunggu kehadirannya, jika berlangsung rapat kerajaan, walau mereka sering kali datang ketika matahari sudah tinggi. “Rapat tidak akan dimulai jika utusan Tanre Assona belum hadir,” ungkap Muh. Akil Mallawa, tokoh agama Tanre Assona. Menurut Akil, nama TanreAssona bisa juga bermakna negatif, yang berarti bahwa warga Tanre Assona berwatak malas lantaran sering telat datang rapat. “Kesimpulan negatif ini kadang membuat kami kesal,” cetus Akil.

Setelah Republik Indonesia Merdeka, pemerintah membagi Mattirobulu yang berarti memandang Gunung Manarang yang terletak di sebelah timur itu menjadi dua distrik, yaitu Padakkalawa dan Ditta. Pada 1962 Mattirobulu jadi kecamatan, tak lama setelah diresmikannya Kab. Pinrang pada 1960. Kecamatan itu pun terbagi menjadi tiga desa, yakni Manarang, Aditta dan Padakkalawa. Di Desa Manarang terdapat pohon yang hanya ada di daerah itu, pohon itu bernama Pohon Palopo yang batang kayunya sering menjadi bahan hulu keris. Keris yang gagangnya dari pohon tersebut hanya digunakan oleh para bangsawan.

Lalu Desa Padakkalawa mekar menjadi empat desa, yaitu Desa Marannu, Desa Bunga, Desa Padaelo, serta dua keluruhan, yaitu Kelurahan Padaidi dan Marannu. Hingga kini, Desa Padakkalawa sebenarnya berada dan diambil namanya dari Desa Bunga tadi. Dimana Desa Padakkalawa yang berarti pembajak atau petani, yang sesuai dengan rata-rata pekerjaan warga di sana. Tanre Assona kembali muncul namanya di Padakkalawa setelah pembagian empat desa itu, setelah tenggelam sejak kemerdekaan RI.

Awalnya, nuansa spritual di Tanre Assona datar-datar saja. Masih jarang warga yang peduli terhadap agama, spritualitas waktu itu adalah milik pribadi-pribadi yang tak mesti dikembangkan dan didiskusikan. Baru setelah kedatangan La Harrang pada tahun 1930-an, kehidupan agama di dusun yang terkenal dengan hasil pepaya-nya itu mulai mekar bak semerbak bunga.

Keberadaan tamu yang berasal dari Wata Sawitto itu membuat iklim spritualitas di Tanre Assona tiba-tiba berubah. Masyarakat mulai melaksanakan shalat berjamaah, tidak bermain judi, dan berhenti minum-minuman keras. “Warga sangat kagum kepadanya, karena ia sangat paham agama Islam padahal beliau tidak pernah menginjak bangku sekolah,” ungkap Muh. Syatir (35) Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Padakkalawa. Bagi warga Tanre Assona, La Harrang adalah wali yang membawa cahaya kebenaran.

La Harrang wafat pada tahun 1969, tak lama setelah ia mulai membangun Mesjid Attaqwa. Sepeninggalnya, ajarannya tetap setia dijalankan oleh warga desa, pimpinan agama kemudian beralih ke La Hami yang meninggal pada 1981. Murid-murid angkatan pertama maupun selanjutnya itu kemudian membiakkan budaya Islam di daerah ini, sehingga pada akhirnya daerah ini disebut sebagai basis percontohan penegakan syariat Islam di Kab. Pinrang. “Lantaran banyaknya orang yang pintar agama di Tanre Assona, dusun ini pun dinamakan Kampung guru,” ujar H. Andi Ramli Halik, Kepala Desa Padakkalawa.

Imbas dari spritualitas dan iman itu adalah meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap budaya bersih dan sehat. Hal ini sesuai dengan salah satu semboyan agama Islam ‘bersih adalah sebagian dari iman’. Di Tanre Assona, tak ditemukan lagi rumah warga yang tak memiliki water closed. Sudah digalakkannya Jumat bersih, adanya program kebersihan para pelajaran agama Islam. Tentunya hal ini akan memudahkan tim kesehatan untuk memberi penyuluhan medis ke warga Tanre Assona.

Dari cerita ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa budaya masyarakat lahir dari keberagamaan, sedangkan prilaku sehat masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat setempat.

Tulisan ini diperuntukkan untuk Buku “Episenter Pandemi Influenza di Pinrang”
Kerjasama UNICEF dan Kabupaten Pinrang

Idham Malik



0 komentar:

Tanre Assona, Kampung Guru yang Mencintai Kebersihan