semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tes Indonesia Mengajar, hingga Menikmati Kawah Bromo


Tujuh agustus 2010 lalu, saya mendapat surat balasan email dari pihak recruitment indonesiamengajar, dalam surat elektronik itu saya dinyatakan lulus seleksi tahap pertama, bersama 159 kawan alumnus mahasiswa lainnya, berhasil menyingkirkan sekitar 1200 orang. Senang juga rasanya, lantaran kinerja ku selama ini dalam bentuk pengabdian terhadap masyarakat, khususnya warga kampus mendapat penghargaan yang setimpal. Dari titik itu, saya mulai melupakan perencanaan-perencanaan yang lain, seperti ternak cacing, serta berharap mendapat beasiswa ke Iran. Dalam benak, waktu sepekan ini harus dimanfaatkan untuk menggali lebih jauh tentang konsep mengajar di daerah-daerah terpencil. Sejak itu, saya mulai mengeratkan waktu, dimana dua hari awal saya tunaikan dulu untuk membantu senior dalam rangka pembubaran panitia short course di Malino, yang dilanjutkan untuk tancap gas.

Di Malino itu, pikiran saya mulai terpecah-pecah, soalnya, kemungkinan untuk lulus ke Iran juga lumayan besar, setelah mendengar-dengar bahwa telah ada rekomendasi, namun saya kembali membenahi arah jangka panjangku bahwa Indonesiamengajar tampak lebih baik untuk kemajuan Indonesia dalam rentang singkat. Jika lulus tahap kedua, kita pun dapat dengan bebas mengapresiasikan ide kita untuk pengembangan daerah tertinggal, dimana alasan kekurangan materi sudah terlampaui, sehingga tak ada lagi yang menghambat jalan kita merintis kemajuan pendidikan dasar di daerah terpencil.

Dalam benak, bercampur aduk antara semangat pengabdian dengan imbalan kerja, dimana hal itu begitu sulit untuk diretaskan. Iming-iming beasiswa ke luar negeri pasca penggodokan di pedesaan serta kompensasi yang mumpuni pun kian menutup niat ikhlas untuk mengabdi. Bayang-bayang itu sering menghantui, dimana kita selalu saja memikirkan diri sendiri dibandingkan memikirkan khalayak banyak. Toh, dengan bergesernya hari, tak ada jalan lain selain meluruskan niat, serta menyerahkan diri sepenuhnya pada yang di atas, Ia lah yang membuka jalan apakah ini sudah merupakan jalur terbaik atau hanya sekadar pancingan belaka. Dalam sepekan sebelum ke Surabaya untuk tes tahap II, saya pun menyiapkan diri, dengan banyak mempelajari topik yang terkait.

Tibalah hari Sabtu, hari kepergian saya ke Surabaya, sekali layar terkembang pantang surut biduk ke pantai, perinsip ini pun saya telan mentah-mentah. Di sana saya bertandang di rumah Dr. Irma dan Ir. Heryanto, pasangan suami-istri yang juga alumni Unhas, rumah mereka terletak di Jalan Gayung Sari Barat No.IX, dekat Mesjid Al-Akbar Surabaya (MAS). Saya tiba pukul 17.00, 30 menit sebelum waktu buka puasa. Sambutan hangat dari Ibu Irma merubungi, tanpa neko-neko ia mengarahkan saya untuk segera mandi lalu buka puasa di mesjid. Berada di rumah yang begitu bersahaja itu, saya dengan begitu cepat akrab dengan Almaz, anak kelas 5 SD, putra pasangan tuan rumah. Kami pun buka puasa di Mesjid Agung, yang saat itu begitu aneh bagi saya, sebab waktu buka seperti dipercepat setengah jam. btw, di Surabaya, jadwal buka sekitar pukul 17.40, dimana langit sudah buram, dedaunan hijau sudah tampak menua.

Menu bukanya hanya untuk menyegarkan tenggerokan sejenak, seraya mencicipi manisnya kurma, yang berasa surga. Surga yang tidak dapat dibayangkan ketenangannya, keharumannya, keindahannya, yang sungguh berlipat-lipat. Lalu, terbenam dalam khidmat nyanyian tuhan, dalam ruang lapang yang dijejali para pencari nikmat yang luruh dalam syukur nikmat. Setelah menghadap ke yang Kuasa, saya dan Almaz di ajak oleh Bu Irma ke jejeran stan penjaja makanan. Kami memilih stan Bakso, saat itu saya menyantap Bakso Bakar dan Es campur, emm.. segarrrr.. Setelah itu, kami menikmati kembali rangkaian Shalat Isya yang dilanjutkan dengan tarawih. Pengalaman malam pertama di kota Pahlawan itu begitu mengesankan. Saat pulang, waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB, rasa kantuk merubungi, saya pun tak sanggup berlama-lama menemani Almaz untuk bermain, menggambar dan melihat-lihat peta. “Maz, saya mengantuk, kita tidur yah..”

Malam itu, tidur saya sangat nyenyak, weker hp yang saya atur untuk menyentak pada pukul 00.00 pun saya matikan dengan sengaja sesaat setelah mengusik kuping. Hingga suara piring dan langkah kaki membangunkanku pada pukul 03.00, Almaz masih tidur dengan menggulung-gulung seprei kasur. Hemm.. cuci muka lalu membangunkan Almaz, membuka pintu dan berhadapan dengan meja makan yang telah terhidang teh hangat, kurma, serta ayam goreng kecap. Telah duduk Pak Anto, dengan peci di kepalanya serta mengenakan gamis putih. Wajahnya yang teduh itu tersenyum dan menyilakanku untuk menyantap makanan.. kami pun sahur dengan suasana khidmat, Almaz masih termangu-mangu, menatap piring di hadapannya. Bu Irma sibuk mondar-mandir sembari berceloteh dengan medok Jawanya, Mbok membereskan dapur, dan ayat-ayat tuhan terus berbicara di radio pada ruang tamu.

Pukul 04.00 mejid-mesjid sudah ribut, kata Pak Anto, di sini orang shalat Subuh jam 4 lewat 10, wah.. betul-betul berbeda dengan Makassar yang kalau jam segini masih merokok, atau bahkan ada yang masih menyiapkan santap sahur. Setelah shalat subuh, kantuk kembali merubungi, namun tak sempat tidur lantaran melayani Almaz bermain di kamar, saat itu kami bermain menulis-nulis huruf di laptop. Pada hari Ahad itu, dari pagi hingga menjelang tengah hari, saya hanya mendekam di kamar untuk menulis hal-hal apa saja yang saya perkirakan muncul saat tes besok. Saat itu, saya menulis cakaran berupa dua artikel, satu bercerita mengenai kehidupan organisasi saya, yang satunya lagi tentang pemikiran saya mengenai pendidikan daerah terpencil. Tapi, dengan diselang-selingi untuk melayani Almaz yang minta di ajak main umpet-umpetan di kamar itu. Hari itu akan datang Yunita Ekasari Bahrun pada pukul 14.00, rekan saya yang juga lulus Indonesiamenjar, ia mahasiswi Teknik Planologi angkatan 2005.

Jam 1 lewat 30 menit, saya dan Almaz pun menjemput Yuni yang saya instruksikan untuk turun di depan mesjid Agung, namun setelah beberapa kali berputar-putar mengelilingi mesjid, tak saya dapatkan seorang perempuan berjilbab, dan sangat ramping. Hemm.. kami pun kontak-kontakan, namun tak diketemukan juga, hingga ia menyebut kata Nahdatul Ulama. Ternyata Yuni menepi di depan mesjid NU, pantasan tak terlihat batang hidungnya. Hehehe..

Yuni menempati kamar tidur yang awalnya saya pakai, saat itu saya dan Almaz menempatkan tas di garasi. Tapi, jangan salah, garasinya memiliki lemari pakaian, cermin, serta kasur spring bed. Siang itu, saya dan Yuni lebih banyak berbincang di ruang tamu, menanyakan aktivitas masing-masing, persiapan tes, serta tentang masa depan. Ia mengaku telah magang di PT. INCO selama 2 bulan, di bagian penyuluhan tata kota masyarakat Soroako. Mantap!!

Pada malam itu, setelah shalat taraweh, saya mempercepat tidur, agar tubuh kuat saat tes pada esok hari. Namun, ternyata nyamuk dalam kamar garasi itu luar biasa ganasnya. Hehe.. namanya juga garasi, kipas terasa tak mempan untuk mengusir kawanan nyamuk itu. Senjata satu-satunya adalah selimut, yang menutupi mulai dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki. Selama dua hari itu, pola tidur saya sangat berbeda dengan pola tidur saat di Makassar, di sini, anggota rumah tidur paling lambat jam 10 malam, sementara di Makassar saya biasa tidur di atas jam 12 malam. Meski setiap satu atau dua jam terbangun lantaran digigit nyamuk.

Pengalaman Tes
Pada pagi benar kami menyiapkan diri, mobil taxi sudah ada di depan rumah pada pukul 06.00, dan saya dan Yuni akan diantar ke Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) yang jaraknya lumayan jauh, sekitar 25 kilometer. Dalam taxi, saya dan Yuni kembali berbincang, tentang apa saja untuk mengatasi ketegangan. Percakapan lebih mengarah ke arah pengalaman-pengalaman pribadi. Yuni bercerita tentang pengalamannya saat menjadi sekretaris Senat Teknik Unhas, berserta kesibukannya yang tak terkira. Ia bahkan pernah terkapar lemah lantaran kesehatannya menurun drastis. Soalnya, ia jarang memasukkan makanan ke mulutnya saat ia lagi menyibuki sesuatu. Saya sendiri bercerita tentang pengalaman riset di daerah Mamuju, yang begitu mengesankan saya tentang fenomena kemiskinan masyarakat di daerah tersebut. Sembari berbincang, kami juga mengamati suasana pagi di Kota Surabaya yang masih sepi dan kondisi jalan yang begitu lowong.

Tiba di ITS, saya merasa tak asing, pasalnya saya sudah pernah sekali ke sana, pada 2007 lalu. Saat itu, saya ikut rombongan Aquatic Study Club Makassar (ASCM) dalam rangka tur aquacultur Jawa-Bali, dimana persinggahan pertama adalah kampus Hang Tua, Surabaya. Kampus laksamana Mempawa itu ternyata berdekatan dengan ITS, dan pernah sekali saya berkeliling sendiri di kampus tersebut, menikmati kekosongan kampus.
Kami tiba di perpustakaan ITS, yang pada pukul 07.00 sudah terbuka, terdapat dua orang mahasiswi sementara asyik memanfaatkan fasilitas internet di sudut perpustakaan. Kami pun kembali berbincang, kali ini tentang konsep pendidikan di daerah terpencil. Saat itu, Yuni yang lebih banyak bersuara, saya sekadar mengiakan saja. Pada momentum itu, saya merasakan nuansa yang khas, perasaan puncak yang telah lama tak berkunjung. Perasaan tegar yang muncul saat berhadapan dengan yang besar, kondisi yang tak menentu. Di mana tahap perjalanannya akan memunculkan nilai baru lantaran bertempur dengan yang asing. Saya sangat rindu kondisi ini, namun tetap ada rasa takut juga ketika mengetahui akhir dari perjalanan dalam dunia asing itu. Sebab, sudah tentu akan menguak akar-akar kegelisahan, memicu adrenalin kesenangan atau bahkan menimbulkan kecemasan berlarut-larut.

Pukul 08.00, kami sudah berkumpul dalam sebuah ruang di lantai dua Perpustakaan ITS, berkumpullah kami 16 orang peserta yang lolos seleksi tahap pertama indonesiamengajar (IM). Kebanyakan berasal dari Universitas Airlangga, sebagian lagi dari ITS, satu dari ITB, serta dua dari Unhas. Pengantar dibuka oleh Ibu Evi, memperlihatkan sekilas profil IM dengan dihiasi foto-foto anak sekolah dasar di daerah terpencil yang dilanjutkan dengan memperkenalkan para pengasuh IM, serta penjelasan schedule tes seharian itu.

Dalam lingkaran itu, pembawaan asli saya muncul, tenang namun mengkhawatirkan. Terkesan tidak memiliki gairah, getir, dan tak ada nuansa humor. Saya hanya senyum sesekali, yang bermain saat itu adalah tatapanku yang menerawang ke semua manusia dalam ruang itu. Sebenarnya malas menceritakan moment ini, yakni masing-masing peserta mempresentasikan dirinya, pengalamannya dan inspirasinya. Mereka pada umumnya mahir bicara, pintar mengolah kata dan menyeruakkan emosi yang dengan tiba-tiba membuat kami tertawa. Itu yang belum saya miliki, kemampuan untuk berimajinasi seketika, membuat cerita yang menghibur, dengan bahan berupa pengalaman-pengalaman unik.

Yah.. disitulah kelemahan terbesar saya, dan tak ada kemampuan untuk memanipulasinya segera. Saya sepertinya sudah dilahirkan seperti ini, perawakan sederhana, tak banyak hal yang menarik jika dilihat sekilas. Ini pula sebenarnya yang menjadi penyebab kegagalan dalam perjuangan dalam merebut hati wanita. Dimana batin terlalu gampang terintimidasi, dipropagandai, merekah, atau dramatisir namun yang tampak hanya kekakuan, no expression. Jujur saja, lantaran kelemahan itu, saya pun menyimpulkan bahwa saya belum dapat menapaki fase itu. Untuk saat ini, hingga waktu yang belum ditentukan saya kemungkinan besar hidup sendiri dulu. Hei… kenapa mengarah ke hal itu!!

Tahap demi tahap terlalui, tetap dengan perasaan yang asing. Psikotes hanya melibatkan diri sendiri, sehingga dapat dengan mudah terlalui, masuk ke Focus Group Discussion (FGD) saya merasa kewalahan mencerna informasi tentang langkah-langkah pengembangan perusahaan motor. Meski pada dasarnya argumentasi saya tepat, dimana saya memilih langkah awal yang harus ditempuh adalah dengan meningkatkan sumberdaya manusianya, serta memperbaiki manajemen pemasarannya. Argumentasi lainnya hanya berlaku jangka pendek dan memakan ongkos besar. Sebenarnya ada beberapa usulan yang juga menarik, seperti pelaksanaan riset terkini mengenai kebutuhan pasar, sehingga dapat ditetapkan produk yang sesuai.

Tahap berikutnya adalah persentase mengajar, saat itu kami dibagi tiga kelompok, dimana kelompok simulasi mengajar terdapat 6 orang dan saya seorang diri yang berjeniskelamin laki-laki. Seru juga simulasi ini, masing-masing mendapatkan kondisi mengajar yang berlainan, yaitu ramai aktif, ramai ribut, dan pasif. Hermi Ria mendapat kehormatan untuk tampil perdana, gadis ini telah menamatkan studinya di ITS, dari ceritanya ia pernah menjadi nominalis olimpiade biologi tingkat nasional. Pada saat itu ia membawa pelajaran biologi, pembawaannya menarik, iya tampaknya cocok menjadi guru, sebab ia sudah pernah mengajar biologi untuk mahasiswa (asisten dosen), sehingga sudah tidak kaku lagi. Peraga yang ia gunakan berupa tetumbuhan hidroponik, mantap!.

Saya mendapat kesempatan ke dua, perasaan tenang namun hampa tiba-tiba menghampiri, kali itu saya memilih topik Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) untuk kelas 4. Tak ada tema khusus, saya hanya ingin memberikan gambaran mengenai fenomena alam yang begitu mengesankan. Namun, kondisi kelas yang ramai dan ribut membuat saya kewalahan, belum masuk ke tema, saya disibukkan untuk menenangkan anak-anak yang saat itu dilakoni oleh para penguji. Mereka betul-betul lihai berperan, saling melempar kertas satu sama lain, saling membisiki, bertanya ngolor ngidul, serta ada yang hendak pulang atau keluar kelas.

Merasakan hal yang di luar kendali itu, saya betul-betul hilang akal.. hehehe.. pengalaman berbicara di hadapan mahasiswa seperti menjadi pepesan kosong menghadapi anak-anak berusia 30 –an ke atas. Celakanya, persiapan menghadapi hal itu betul-betul minim, konsep awal saya sekadar bagaimana merangsang rasa ingin tahu anak dengan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap fenomena alam yang dihadapi, padahal, tes yang dihadapi membutuhkan konsep yang matang, jelas, singkat dan memikat. Saat itu, saya sadar belum bisa menampilkan hal itu, kosong pun menghampiri. Setelah itu, dengan perasaan sedikit kecewa dan kesal saya kembali ke tempat duduk semula, merefleksi pengalaman barusan, rasa kecewa pun timbul dan berakibat pada rasa malas merespon kawan-kawan yang bergiliran mengajar, saya pun seperti keluar dari ruangan itu, ingin lari, menepi di pinggir danau sambil bertanya ulang, pantaskah saya bergabung di IM?

Tapi, meski tampak mengecewakan, tes IM telah memberi warna tersendiri dalam dialektika bersentuhan dengan yang lain. Dimana, segala sesuatu harus dipersiapkan dengan baik, belajar untuk terbuka terhadap orang Jawa serta mencoba bersahabat dengan mereka. Dari ketegangan itu, muncul semangat untuk selalu tampil percaya diri, bahwa kita yang berasal dari Timur juga bisa bersaing pada event-event nasional. Serta berupaya mensyukuri apa yang telah diperoleh, menghargai kerjakeras yang dilakukan selama ini dan legowo terhadap ketidaklususan dalam tes kedua IM. Pun, melihat penampulan peserta yang lain betul-betul mengesankan, seperti teknik mengalihkan perhatian anak didik dengan menggunakan boneka, pelajaran tentang sampah, serta pelajaran tentang kata, saya merasakan derajat yang jauh lebih rendah dalam hal penampilan dan kemampuan berinteraksi. Dalam lubuk pikiran, sempat terpincut kesan bahwa ini bukan duniaku..

Tahap berikutnya adalah wawancara prilaku, tahap ini juga membuatku sedikit lepas konteks. Ia menanyakan teknik atau strategi yang diterapkan jika terjadi masalah dalam kehidupan organisasi. Saya tidak bisa menjelaskannya dalam betuk ringkas, soalnya manajemen itu bukan soal solusi tepat waktu, tapi pembangunan karakter dan loyalitas dari awal. Kalau langkah taktisnya selama ini sederhana saja, yakni pendekatan psikologi, penggunaan wewenang hirarki (Sangsi dan hadiah), serta mencari akar masalahnya dengan mengajak berbincang antar dua pihak yang bertikai.. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul lebih mengarah ke manajemen, sementara manajemen yang saya terapkan adalah manajemen tingkah laku dan penularan semangat. Mencurahkan pikiran sebesar mungkin untuk organisasi, dengan melibatkan diri sebesar-besarnya bersama mereka. Dan memberikan kepercayaan penuh pada job mereka masing-masing, seraya menghargai hasil kerja keras mereka. Dengan memperlihatkan keseriusan dan semangat kerja, para anggota kita pun akan bekerja dengan sangat antusias, untuk mengimbangi kerja ritme kita. Itulah rumus dasar saya, tidak muluk-muluk.

Tes yang terakhir adalah problem solving. Lagi-lagi, persoalan manajemen perusahaan robot. Pada fase ini tidak terlalu menyulitkan, sebab kita tinggal mencari akar-akar permasalahan, menyusun logika dasarnya, memetakan strategi penanganan problem, dan menentukan solusi konkrit dan utama terhadap permasalahan dasar perusahaan tersebut. Saya melihat bahwa perusahaan mobil tersebut gagal membina hubungan dengan karyawan, kurang mengedepankan riset mengenai inovasi-inovasi terbaru, kurangnya penghargaan terhadap kesehatan dan ancaman bencana terhadap karyawan. Kemiskinan inovasi dari karyawan menghambat perkembangan perusahaan, karena perusahaan yang besar adalah perusahaan yang dikelilingi oleh ide-ide, sementara perusahaan itu hanya dirubungi oleh karyawan-karyawan yang mengalami defresi, kurang puas, dan bekerja seakan mesin tanpa sentuhan informasi. Yah.. lagi-lagi, solusinya adalah pembenahan mental karyawan, perbaikan kesejahteraan, serta pelatihan-pelatihan terhadap teknik terbaru dan bagaimana memunculkan ide cemerlang untuk mengembangkan perusahaan. Dan lembar jawaban saya tampak kurang meyakinkan, jawaban-jabawan essai dalam lembaran itu betul-betul semrawut, dimana terlihat beberapa coretan-coretan kasar..

Rasa-rasanya, saya meninggalkan lokasi tes, ITS dengan perasaan kehilangan, dimana rasa menjadi hambar, dan pikiran melayang-layang tak jelas. Sementara teman se universitas saya, Yuni, tampak tenang-tenang saja, ia terlihat begitu optimis. Saya pun senang berdiskusi dan berbagi semangat dengannya. Tak ada ruginya ke Surabaya ini, minimal saya mendapat teman sehebat Yuni.. kami berjalan berdua di daerah sekitaran Gayung Sari, sembari mencari warung untuk mengisi lambung tengah, kami pun memilih warung lamongan. ‘saya yakin, indonesia timur juga bisa bersaing dengan barat,’ ucapnya.. saya mengiakan, “Iya, kita tak kalah hebat dengan mereka”.

Esok hari, Yuni pun balik ke Makassar, kegetiran hadir lagi. Kegelisahan ini harus diobati dengan mencari kawan lain, untuk berbagi kabar, entah gembira atau sedih. Ya, sepulang Yuni, seorang kawan sesama kuliah dulu hendak bertemu pada siang hari, Namanya Ilham Latif, sudah setahun lebih ia di Surabaya, bekerja di Dinas karantina ikan pada Pelabuhan Tanjung Priok Surabaya. Tak ada perubahan berarti pada diri kawan ini, ia tetap rendah hati, perawakannya pun tak banyak berganti, cuma pengalamannya saja yang lebih banyak, sehingga pemikirannya lebih dewasa dan sudah berjangka panjang. “Hidup sendiri di kampung orang betul-betul sulit, tapi apa mau dikata, kita harus pintar-pintar adaptasi,” katanya. Sejenak saya merasakan aura pengalamannya itu saat ia mengajak berkeliling kota Surabaya menggunakan motor.

Sepanjang jalan ia bercerita tentang suka duka di Surbaya, serta sesekali memperkenalkan tempat-tempat khusus yang ada di sepanjang jalan kota yang ramai dan padat itu. Setengah hari yang terik itu, kami menyusuri jalan-jalan ramai Surabaya, melaju dari Gayung Sari hingga ke Tanjung Perak, jarak antar dua wilayah itu tak sempat aku hitung, yang jelasnya kesan megapolitan Surabaya sudah begitu terasa, dimana begitu padatnya pemukiman, begitu banyaknya kendaraan, dan begitu memesonanya suasana kota, tentu, begitu derasnya arus perekonomian di kota terpadat kedua di Indonesia ini.. kami pun melalui pusat hiburan malam yang saat itu lagi istirahat lantaran menghormati bulan ramadhan, melewati jembatan merah yang terkenal oleh sejarah perjuangan rakyat surabaya pada awal-awal kemerdekaan negeri ini, yang terkenal dengan terbunuhnya jendral Malabby pada 10 november 1945, yang hingga kini diperingati sebagai hari pahlawan. Yah.. agenda siang itu, yakni membeli tiket untuk pulang serta membeli jajanan oleh-oleh khas Surabaya, jadi setelah kami beristirahat sejenak di kosan Ilham di Tanjung Perak, kami menuju pusat jajanan kas surabaya di sekitaran mall Ramayana. Saat itu, saya membeli Paket Sambal ibu Rudi dan keripik-keripik. Nyam.. nyam...

Sore hari, saya merencanakan hal lain, yakni berkunjung ke Kabupaten Malang untuk bertemu dengan sahabat dekat yang bernama Supariono. Berat juga rasanya berpisah begitu cepat dengan Ilo, tak cukup setengah hari saya bercengkrama bersamanya. Namun, waktu telah memaksa saya untuk tetap kukuh pada rencana awal, yaitu berkunjung ke Malang pada sore hari. Akhirnya Ilo pun mengantar hingga ke terminal Bungorasi.. terimakasih kawan..

Perjalanan ke Malang Menikmati suasana Kawah Bromo
Perjalanan ke Malang membutuhkan waktu sekitar 2 jam, mengendarai bis AC dengan ongkos perjalanan sebesar 15.000 rupiah saja. Berbagai kenangan melintas dalam perjalanan itu, menembus ruang waktu tepat sekitar setahun lalu, di bulan yang sama pada pagi buta dimana Saudara Supariono mengantar kami, para peneliti kepiting lunak menuju rumah Bu Aslam di Banjar Baru dengan mengenakan mobil pick up biru. Suasana haru hadir, meski hanya dalam diri yang diselimuti senyum lepas. Kami berpisah dengan masing-masing menyimpan sehimpun kenangan, saat-saat berbarengan ke warung kopi sembari berbincang dengan ibu penjaga warung yang asli Banjar, saat-saat di pinggir kolam sambil mengukur kualitas air atau memberi pakan kepada kepiting, hingga saat malam menyelimuti tambak, dimana kami menyaksikan bejibun bintang serta merasakan hembusan angin malam yang begitu dingin. Hemm.. Takisung tak lengkap tanpa Bapak Supariono, orang Malang yang akan saya temui saat itu.

Dua jam berlalu, melintasi jalan dengan deretan toko serta nama-nama, melewati dinding tanggul yang kian besar untuk menghalangi luapan lumpur di Porong yang masih saja mengalir. Sekitar pukul 19.30 Wib mobil tiba di terminal Malang, tak lama kemudian saat saya menelpon seorang kawan yang ada di Luwuk Banggai ada yang menepuk punggung dari belakang. Alhamdulillah pak Supar sudah ada, kami bersalaman dengan akrab lalu berjalan berbarengan, tentu dengan ketawa lepas.. hahahahaha... tak menyangka dapat ketemu secepat itu, setahun rasanya begitu cepat..

Malam yang mengasyikkan, dengan menggunakan motor, kami mengelilingi kota Malang, melihat keindahan tata kota yang begitu apik, gedung-gedung di pusat pertokoan yang di hamburi cahaya temaram. Sayang, Saya tak sempat mengabadikan momen itu, namun meski sudah begitu kabur di memori, suasana dan gambaran kota Malang di malam hari itu masih terkesan di ingatan. Malam itu, kami singgah santap malam di warung tepi jalan, santapannya cukup lumayan, seekor ikan kerapu goreng.. ma’nyus, sepotong waktu juga kami sempatkan untuk singgah di pusat toko buku loakan, sempatkan waktu untuk mencari buku langkah, alhamdulillah dapat sebuah, “renungan sufistik, karya Kang Jalaluddin Rahmat.

Puas keliling kota, kami meneruskan ke Kec. Wajak yang tak lain merupakan kediaman Pak Supar. Malang yang dingin, menembus jalan sunyi yang sisi-sisinya dirimbuni lahan rumput dan tanaman sayuran. Setiba di Wajak, kami singgah terlebih dahulu di Warung Begadang, menyantap nasi ikan dan minum segelas kopi. Wah.. ternyata mujarab, tubuh pun kembali menghangat saat perut kembali penuh. Akhirnya, tengah malam kami tiba di rumah Pak Supar, yang saat itu disambut oleh Ibu Supar yang terlihat rindu kedatangan suaminya.. hehehe.. malam yang panjang melelahkan sekaligus terindukan..

Getir dingin Subuh, sahur menyambut. Alangkah nikmatnya subuh hari itu, melahap sayur entah ketimun buatan istri Pak Supar, sembari turut merasakan nuansa harmonis kekeluargaan ini. Sehabis shalat subuh, kami menyiapkan diri untuk ekspedisi seharian ini, soalnya cuma sehari itu saja ada kesempatan untuk berwisata di Malang, esoknya saya harus balik lagi ke Surabaya untuk terbang sore harinya ke Makassar. Pagi itu, saya menunggu tawaran tempat yang akan dikunjungi, sehingga tak mengajukan tawaran, padahal dalam benak, saya ingin sekali berkunjung ke Bromo. Tahun 2007 lalu, saya sudah pernah di Malang, tapi saat itu cuma dapat mengunjungi pusat perkebunan apel dan jeruk di Daerah Batu. Jadi, target kali ini adalah ke Bromo.

Mulanya kami ke sentra perkebunan Apel di kota sebelah Kec. Wajak, kalau tak salah daerah Kretosari/purworasi. Saat itu saya mengamati para petani yang tengah menyuburkan lahan dengan menggali-gali tepian pohon apel. Putar-putar di kawasan kebun, kami singgah cukup lama di rumah kawan pak Supar yang juga merupakan kepala desa sekitaran itu, yah.. membincangkan problematika masyarakat pedesaan, rencana-rencana yang akan mereka terapkan ke depan untuk memakmurkan masyarakat pedesaan. Lanjut dari situ, kami menyusuri tepi hutan yang begitu rimbun dengan pohon-pohon raksasa.. sayang, saya tak sempat mencatat nama pohon itu, yang jelasnya sejenis pohon di kawasan dataran tinggi, yang daunnya mirip pohon pinus. Di pinggir bukit penuh pohon itu mengalir sungai yang penuh batu besar.

Ujung telusuran itu, kami turun landai ke pinggir sungai.. miris, saat itu tampak beberapa pria sementara memukul-mukul batu gunung/sungai.. suara gemuruh bertalu-talu mendesing. Batu sungai pun retak-retak, terpisah-pisah, bersama derasnya keringat yang mengalir di pori-pori mereka. Mereka sehari-hari mengais rezeki dengan menjual batu itu untuk bahan bangunan. Dalam benak pun terpecik pernyataan: pendidikan betul-betul harus menyentuh warga pedesaan, jika tidak, mereka akan selalu menjual tenaga kerasnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.. tenaga yang kuat kasar menjadi sumber pencari makan, yang mestinya dapat dipolesi dengan sedikit keahlian dan kehalusan dengan tambahan intervensi pikiran.. hemm.. begitu rumit riwayat kemiskinan di negeri ini.. menanggulangi hal itu, satu-satunya jalan yaitu menggiatkan pendidikan lagi, menambah keahlian supaya tidak lagi tergerus oleh persaingan hingga terjerambab dalam linkar pekerjaan buruh yang menggetirkan..

Dari situ, kami hendak balik ke Wajak untuk mempersiapkan rute baru, tiba-tiba saya menyeletuk. “Bang, ayo ke Bromo,” kataku. “Ke Bromo, ayok, ayo berpetualang....!” kami berseringai lagi.. melewati kawasan apel lagi, lalu masuk ke pemukiman bukit, melewati begitu banyak likukan dan terus mendaki. Hawa semakin dingin sementara pemandangan kian memesona, alam bukit dengan sedikit diselimuti kabut. Lama juga perjalanan menggunakan motor, kami tak merasakan sedikitpun kelelahan, padahal saat itu kami masih berpuasa.. luarbiasa kesan saat itu.

Tiba juga kami ke perkampungan suku Tengger, suku yang pernah saya amati pada sebuah sinetron di layar tivi. Sungguh menakjubkan komunitas suku pegunungan itu, penampilan mereka begitu khas, dimana tak pernah terpisah dari sarung mereka. Yang megesankan lagi adalah kekuatan mereka hidup di daerah yang begitu dingin, yang hanya dihangatkan oleh bara api di tungku dapur yang tak pernah mati.. terus hidup untuk menghangatkan mereka yang baru saja lepas dari aktivitas luar rumah. Yaitu bercocok tanam kentang di sepanjang hamparan bukit-bukit. Namun, sedih juga melihat hamparan bukit yang tak lagi ditumbuhi pepohonan liar, tapi sudah tergantikan oleh deretan pepohonan sayur.. hemm...

Dingin merinding, kami pun tiba di jalan masuk ke Bromo, sepintas kami singgah tetirah untuk memandangi hijau lembah dan bukit, serta serunya embun yang menyamarkan pepohonan. Kami turun lembah, menelusuri jalan liat berkerikil, hingga menemui jalan yang di hamparan rerumputan dimana di hadapan timbul bukit-bukit teletabis.. putus dari sabana, kami menemui hamparan pasir, motor pun berkelok-kelok melintasi padang pasir. Seru sekali!!!, seperti berada di alam lain, padang pasir yang dikelilingi gunung-gunung, menuju gunung bromo yang jalurnya tak jelas, kita meraba-raba saja jalan yang ditempuh, hingga akhirnya tiba di pintu masuk ke wisata alam Bromo yang dijaga oleh dua warga Tengger.. asyikkk...

Kami melihat dua orang bule mengunggang kuda, pengen juga rasanya, tapi nantilah itu.. saya sementara menikmati susana tepi bromo, melirik-lirik sepintas candi hindu.. lalu sembari berbincang dengan Pak Supar, kami mulai mendaki gunung, lalu menapaki tangga menuju puncak, cukup tinggi dan melelahkan. Tapi sungguh puas saat tiba di atas. Bersama sekawanan turis asal Prancis, kami menikmati pemandangan kawah dari sumbuh gunung bromo. Aroma belerang menyeruak, sayang tak punya kamerea untuk mengabadikan momen itu. Saya hamparkan pandangan ke sekeliling, dahsyat pesonanya.. padang pasir, padang rerumputan, deretan gunung, dan relik-relik dinding gunung yang mengulik... terimakasih sebesar-besarnya ke pada tuhan lewat Pak Supar yang telah setia mengantarkan saya ke tempat ini.. tempat yang tak terlupakan.. tempat yang saat ini sedang bergemuruh, mulai bereaksi dengan hembusan kawahnya.. yang membuat warga sekitar bromo mulai ketakutan dan sebagian mulai mengungsi..

Cuma sejam kami di atas, lalu turun lagi untuk perjalanan pulang, mengingat waktu yang sudah sore hari, jangan-jangan kita kemalaman dan tak dapat pulang. Kami menyusuri padang pasir lagi dengan jalur tempuh yang berbeda. Pak Supar membalap motor, hingga ban motor terpleset dan kami jatuh.. muka dan rambut kami pun berpasir, tegang sempat menghampiri, tapi segera lenyap setelah memeriksa bahwa kami tak apa-apa dan siap lanjutkan perjalanan pulang.. tangan pak supar sedikit lecet.. aduh.. sedih juga..

Pengalaman menakutkan mulai membayangi setelah lepas dari gurun pasir, memasuki gurun rumput, kami tak menemukan jalur jalan, kami melewati sebisanya rumput-rumput itu, melewati batu dan lubang-lubang, cukup lama dan jauh hingga kami menemukan jalur umum yang tak ditumbuhi rumput. Selamat sudah.. tantangan berikutnya adalah menembus malam dengan lampu motor seadanya.. perjalanan pulang diliputi perasaan tegang, soalnya motor harus betul-betul waspada terhadap jurang-jurang di tepi dan hadapan, sesekali Pak Supar ngantuk atau ceroboh, kita bisa masuk jurang dan akan kehilangan kabar.. ngeri juga mengingatnya.. sebelum turun bukit, kami singgah dulu di rumah warga Tengger untuk menyantap Bakso Tengger.. Ma’nyoss..

Perjuangan untuk menemui jalan tak berjurang pun usai.. kami mengulas dada dan pikiran kembali normal, tubuh yang diliputi dingin pun kembali mengalirkan darah secara normal untuk bersabar hingga tiba di Wajak.. wuss... kami tiba dengan perasaan sungguh bahagia..

Setelah membeli jajanan oleh-oleh asal Malang, saya meninggalkan Malang pada tengah hari. Perpisahan kembali menyapa kami tentu dengan haru yang menyeruak.. Surabaya, saya datang, menepi sebentar untuk menyapa makassar pada magrib itu.. enam hari di Jawa Timur, mulai dari keluarga yang sakinah di rumah Mbak Irma, Adek Dalmas yang menyenangkan, Teman Yuni yang penuh semangat, tes IndonesiaMengajar yang mengagetkan dan tentu Pak Supar dengan segala kebaikannya dua hari itu. Sungguh, kalian tak akan terlupakan. Dan hanya inilah yang saya persembahkan, tulisan untuk mengabadikan kalian-kalian dan Insya Allah akan dipertemukan lagi kelak.. aminn..

Di lanjutkan pada Setengah Malam, hingga Dini Hari..
Warkop Mammiri, Tamalanrea.
7 Desember 2010
Idham Malik




0 komentar:

Tes Indonesia Mengajar, hingga Menikmati Kawah Bromo