semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (6)

Mengenai kawan tadi, setelah lima hari bersama, aku mulai sedikit curiga. Rasa skeptis muncul ketika kupikirkan bahwa sejak ia menemukan aku di tengah hutan, aku tak pernah lepas dari amatannya. Matanya selalu mengintai, jarak aku dengan Gogol tak pernah lebih dari lima meter. Kalau malam ia pun minta tidur di sampingku. Jika aku ingin keluar jalan-jalan sendiri ia pasti menyuruh bawahannya untuk mengikutiku. Ia pun melayaniku dengan sangat ramah. Jika aku mengeluh sedikit atau merasa kesakitan. Ia langsung memanggil dokter dari koloni Surya, tempat keberadaan Bram, satu-satunya dokter yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Pada sebuah malam. Aku menguping pembicaraannya dengan seorang prajurit dari rumah panjang.
”Bagaimana keadaan tamu kita, Nikolai itu, baik-baik saja kan,” kata prajurit itu.
”Untuk sementara baik-baik saja, sepertinya ia mulai suka dengan negeri kita,” jawab Gogol.
”Jaga dia baik-baik, karena ia akan dipanggil raja untuk menjadi penasehat bagian ilmu tanaman,” kata prajurit.
”Ya saya akan menjaga otaknya agar tetap segar, tuan kan tak mau tahu ada yang lebih pintar dibanding dia. Dan peneliti ini tak lama lagi akan di cuci otaknya kemudian dijadikan pelayan dalam hal eksploitasi pohon pinus pada bagian utara hutan hujan ini,” lanjut Gogol dengan meraba-raba jenggotnya yang licin.

Mendengar percakapan itu aku kemudian membatin. Selanjutnya ia menuju ke kamar jerami untuk kembali melihat aktivitasku.

Lama aku merenung. Memikirkan kekeliruannya dalam memahami kehidupan di negeri Ribu. Ternyata di negeri ini penuh dengan intrik politik. Padahal aku tak terlalu percaya bahwa negeri para orang-orang yang mirip purba ini suasana konstalasi politik lebih hangat dibanding di kotaku, negeri Pasir.

Esok paginya aku tak lagi bergelantungan dari pohon-ke pohon. Aku diam-diam memanjat pohon tertinggi. Dari sana akan kuamati suasana negeri Ribu dari atas. Tujuh koloni yang tergabung dapat terlihat di atas pohon ini. Lokasi rumah panjang, istana Raja libu adalah yang paling nampak lantaran di sekelilingnya tak ada lagi pohon-pohon. Di sekitarnya yang ada adalah kolam ikan, taman-taman, kebun tanaman sereal, serta bangunan bata yang mengelilingi kediaman terbesar di negeri itu.

Namun, ada keganjilan pada pojok timur jauh. Keadaan yang mendebarkan dan menimbulkan gejolak, bagaimana tidak, hutan arah timur itu sudah gundul.. Fatamorgana pun membayangi permukaan tanah. Nampaknya terjadi penebangan besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir

”Sialan, keganasan juga terjadi di sini.. betul-betul tak sangka bisa seperti ini..!!!!
Deru redam, emosiku betul-betul tersulut.

”mulai sekarang, saya harus hati-hati sama keramahan penduduk negeri ini.. juga pada raja yang ada di rumah panjang itu..” dengan geraman dan kepalan tangan yang hendak dipukulkan kemana..

”akan aku cari apa yang terjadi di negeri ini, negeri yang masih di selimuti misteri..”

Ternyata kehidupan harmonis di negeri Ribu yang kurasakan selama ini cuma ilusi, bayang-bayang. Pohon-pohon rindang, suasana gelap lantaran dedaunan yang menghalangi mentari adalah penjara kenyamanan. Aku seperti dininabobokan, dibius oleh kemegahan hutan belantara yang rimbun.


***
Pada pagi hari yang dingin, menusuk kulitku yang bening. Aku ke luar dari rumah ranting. Menyelinap sendiri dan berharap tak ada yang membuntuti. Aku ingin menelusuri koloni sekaligus mencari potongan-potongan informasi tentang negeri yang kian aneh ini.

Mengenai rumah raksasa itu sampai kini masih terasa misterius. Pada pagi itu, aku mendengar sumpah serapah kekesalan yang ditujukan pada kepala suku, Raja Limbu. Hal itu kudengar dari perbincangan istri-istri yang mencuci di pinggir sungai, atau para pemuda yang sementara membuat api untuk memanggang seekor babi. Pemahamanku masih terpotong-potong, aku hanya memungut-pungut informasi dari perbincangan orang-orang di kali, di sekitar serabut pohon, atau di pasar jati. Kalau tak salah, masyarakat suku Ribu, ingin mengadakan kudeta terhadap kepala suku. Mereka sepertinya sudah mengumpul-kumpulkan kekuatan dari berbagai pihak. Mereka ingin menjatuhkan seorang penguasa yang sudah berkuasa dua dasawarsa lebih.

Karena penasaran, aku sengaja mengunjungi sebuah koloni di tepi sungai. Dari jauh tampak beberapa penduduk asli dari Koloni Bangau yang dulunya berasal dari negeri Matahari, serta satu dua orang dari koloni tetangga berbincang-bincang dalam rumah pohon. Pohon Ek yang ranting-rantingnya menjulur ke tengah sungai yang airnya menguning. Kalau tak salah hitung jumlahnya 12 orang. Aku tak dapat naik ke rumah pohon tersebut lantaran batangnya yang licin dan berlumut. Tapi, aku tetap dapat menguping percakapan mereka dengan merapatkan kupingku ke batang pohon. Aku beruntung karena dapat memahami apa yang mereka bicarakan lantaran saat itu mereka menggunakan Lingua Franca. Setidaknya ini yang dapat saya terjemahkan:

”Tuan, apa yang mesti kita lakukan? Sungai di bawah kita ini sudah tercemar oleh darah kawan-kawan kita. Sudah hampir seperempat warga dari koloni bangao yang tak diketahui jejaknya,” tanya seorang pribumi suku ribu yang tubuhnya bongsor dengan suara sedikit melengking.

”Ya.. kesatria perak semakin gencar. Ia bisa menyelinap ke koloni-koloni kita. Ia bisa menyamar, merubah wajah dan tubuhnya seperti wajah kawan kita. Teman-teman harus hati-hati bergerak sekarang,” jawab tuan itu yang suaranya bergetar. Tubuhnya kurus, kecil dan wajahnya berjanggut.
”Tapi tuan, kalau dibiarkan terus, koloni dan rakyat Suku Ribu akan musnah. Hutan kita sudah seperduanya ludes, di jual ke negeri-negeri yang jauh. Keuntungannya tak pernah kita nikmati. Malah, rakyat makin melarat, ia tak dapat lagi menikmati babi hutan yang lezat, atau mengerat getah karet dengan bebas. Kita ini sudah terjajah tuan,” tanggap pribumi yang lain.

”Betul, kawan dari koloni merpati. Kita harus melawan penjajahan ini hingga titik darah penghabisan. Kita harus konsolidasikan perjuangan ini ke semua koloni sebelum hutan kita gundul dan anak cucu kita tak dapat melihat warna hijau lagi. Teman-teman perwakilan koloni, saya harap kalian menyampaikan pesan saya ke kawan-kawan kalian yang mendukung pergerakan bawah tanah ini. Raja Limbu harus turun!!” teriak pribumi tua yang tampaknya sebagai pimpinan.

Tiba-tiba panah sudah tertancap di lengannya. Ia jatuh tersungkur ke sungai. Tak disangka seorang peserta diskusi tertutup itu ternyata adalah kesatria perak. Wajahnya seketika berubah menjadi mahluk aneh bermata besar dengan gigi taring yang melengkung panjang. Ia mencabik jantung pribumi lain satu persatu dengan kuku-kuku tajamnya. Bunyi bedebug mereka yang menghujam tanah terdengar nyaring. Wajah para pribumi itu hancur berantakan, batok kepalanya berlubang. Otaknya berhamburan di tanah. Darah pun mengalir pelan menuju pinggir sungai, terlarut dalam aliran berwarna kuning tua.

***



0 komentar:

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (6)