Tentang pertemuanku dengan seorang kawan. Ketika tenaga tinggal di tenggorokan, cukup untuk menghirup angin saja. Aku mendengar sapaan berat seseorang. Mataku seperti tertindih beban, mengedipkannya saja sangat susah. Aku merasa tubuhku dipapah, dengan kecepatan di luar kemampuan manusia biasa. Tubuh yang memapahku begitu licin, dan bau keringatnya begitu menyengat hidungku, searoma lumut pada musim hujan.
Lalu, aku sudah terbaring di atas ranjang jerami pada kerangka batang pohon meranti. Badan lelah tak terkira, namun saat api sadar terpercik, tubuh sedikit kupaksakan untuk tegak, kepalaku menoleh ke bawah.
”wooouu........ Tinggi sekali, dimana ini....”
Penglihatan buram, syaraf-syaraf masih bekerja keras untuk saling menyapa dan bertukar kabar. Beberapa warga pribumi yang melintas di bawah pohon tampak membayang. Aroma asam pun menyeruak, berasal dari tanah merah yang sedikit mengandung phirit. Bunyi jangkrik melantun siklik, bersama kicauan beo yang melambai. Awan menggelembung terapung pada langit, sinar matahari berpendar menghangatkan tubuh.
. Dari belakang, tiba-tiba seorang bergelantungan pada liana berkayu, liana semacam habitus tumbuhan yang dalam pertumbuhannya memerlukan kaitan agar dapat bersaing mendapatkan sinar matahari. Dalam sekejap orang itu sudah menhentakkan kakinya di gubuk jerami. Ia melakukannya dengan begitu tangkas. Seperti tak ada rasa takut pada ketinggian. Saat itu pula aku sadar bahwa aku telah masuk pada dunia yang aneh, asing dan tak pernah terbayangkan.
Lamat-lamat, kuamati perawakan orang itu, lengannya menggelembung, dadanya membusung yang dihiasi gantungan gigi-gigi babi hutan. Kakinya berbulu dimana selangkangannya ditutup oleh kulit lembu. Pada wajah terdapat coretan merah di bawah mata, mata yang tatapannya lempang. Wajah segi empat, dahi menonjol, namun hidung tak begitu memuaskan. Yang aneh, tubuhnya mengkilat selayaknya telah diolesi minyak tawon. Setibanya, ia tak menyapaku, cuma melihatku sepintas lalu menyibukkan diri menyajikan makanan.
Aku membaringkan tubuh saat raksasa itu datang, terlihat begitu lemah. Tapi telingaku tetap menghayati sekitar dengan seksama. Segala bunyi dapat ditangkap, termasuk percakapan tiga orang aneh yang saat itu berada di bawah pohon Meranti.
”Raja Limbu ingin mengadakan pertemuan sebentar malam, tepat saat matahari tenggelam dan para anjing hutan mengaung kencang,” kata penduduk pertama.
”Katanya ia ingin membahas tentang isu pemberontakan yang hendak disulut oleh kaum matahari,” sambung penduduk dua.
”emm.. yah, kedengarannya penting. Kita lihat saja perkembangan dari keputusan Raja Limbu, apakah isu itu sudah beredar di kalangan warga koloni kita?” lanjut penduduk tiga.
”beberapa warga sudah tahu, tapi mereka cuma mendengus dan menganggapnya sebagai angin lalu semata. Lantaran tahu bahwa raja Limbu akan menumpas mereka tanpa ampun. Tapi, ada jangan salah, mungkin ada beberapa dari warga kita yang berkomplot,” jawab penduduk satu dengan nada suara meruncing.
”Kalian mau datang tidak, kalau kita tidak datang, pondok kita akan dirobohkan. Atau istrimu dan anak perempuanmu akan diambil tuan Limbu,” penduduk dua menganjurkan pada temannya untuk ikut. Ia sangat patuh pada Raja Limbu yang sudah berkuasa lebih dari tiga dua dasawarsa itu. Lalu, mereka bergegas ke arah utara, memanjat pohon dan bergelantungan pada liana dari pohon ke pohon.
Aku mendengar percakapan penduduk rimba itu sepotong-sepotong, yang kutangkap bahwa sebentar ada rapat rahasia penghuni rimba. Aku pun bertanya-tanya siapa yang di sebut tuan Limbu, negeri apa ini, dan apakah aku bermimpi atau sudah sadar.
Saat mataku liar mencari informasi, keluar dari gubuk jerami seorang lelaki yang berkulit licin. Ia membawakanku dedaunan bayam serta semangkuk air dari akar liana yang di tuang di dalam tempurung kelapa.
Ia menyentuh dadaku dengan telapak tangannya, lalu berkomat-kamit. Aku tak mengerti apa yang ia ucapkan. Aku pun berpikir mungkin ia ingin berkomunikasi denganku. Ia ingin membuktikan bahwa aku ini orang yang baru mengenal wilayahnya atau para tamu undangan raja Limbu yang tersesat. Menurut pengetahuannya para utusan itu mengerti bahasa Ribu.
Tanpa kuduga, ia kemudian menyebut namaku, ”Nikolai dari negeri Pasir, negeri yang para pencari ilmu,” sapanya.
Ia seperti dapat membaca pikiran lewat gelagatku yang kebingungan dan penasaran. ”Aku memeriksa tanda pengenalmu, kamu pasti orang yang tersesat. Ini adalah negeri Ribu, negeri yang tak ada dalam peta. Negeri dengan rumah gantung terbanyak, dan punya bahasa rimba. Raja kami bernama Limbu. Ia sudah berkuasa selama dua puluh tahun,” ungkapnya panjang lebar menggunakan bahasa antar bangsa.
”Nama anda siapa,” balasku sedikit gagu.
Ia kembali menyentuh dadaku sambil berucap ”Gogol Nyatayahu, sebut saja Gogol”.
Dari percakapan itu kupahami bahwa orang-orang negeri ini cukup ramah. Ia sangat menghargai para tamu yang masuk ke negerinya. Esok harinya aku sudah bisa berdiri, tenagaku sudah pulih. Aku diajaknya turun dari pohon menggunakan liana yang merambat, mengulir pohon raksasa. Awalnya aku gemetar, tapi ia dengan segera merangkul perutku, mendekapku dengan erat. Dengan cepat kami terjun landai dan sampailah aku berpijak di atas anah.
Dalam beberapa hari ia seperti menjadi guide ku. Ia mengantar ke mana saja dan menemaniku sepanjang hari. Hari pertama aku diajak keliling koloni tempatku bermukim. Pada koloni yang disebut sebagai koloni Surau ini terdiri dari 30 gubuk pohon. Dipimpin oleh seorang pribumi tua bernama Koba, ia diangkat langsung oleh raja Limbu sejak raja itu memimpin negeri Ribu. Koba menggiatkan penanaman jenis sereal baru, khusus didatangkan dari negeri kuning. Katanya, tanaman baru yang berupa butiran-butiran terpisah satu-sama lain itu dapat mengencangkan otot-otot, membuat tubuh sanggup bertahan bekerja bekerja berlama-lama. Lebih lama dari bubur dari tepung kenyal berbahan sagu. yang sudah menjadi makanan utama negeri Ribu.
Hari kedua aku diajarkannya bergelantungan di serabut liana. Setelah seharian belajar, aku mulai mahir tanpa didampingi Gogol. Esok harinya aku dan Gogol bergelantungan kesana kemari, mengamati keanekaragaman hayati di negeri itu. Mataku segar menikmati rimbun hijau. Hijau adalah warna dominan disamping coklat untuk tanah dan kehitaman pada batang pohon. Hijau adalah warna yang hidup, sehidup orang-orang yang bermukim di negeri itu. Tampaknya, hidup di sana aku nampak sehat, makanan alami terjamin, air tak perlu dimasak lagi.
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar