semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (1)

Aku ingin bercerita tentang seorang lelaki yang tinggal pada rumah yang tak ada lagi, pada sebuah taman yang tak ada lagi. Pada sebuah negeri yang tak ada lagi. Negeri para saudagar, para pelancong. Negeri bagi orang yang ingin lari dari kehidupan atau ingin mencari penghidupan. Negeri suatu kaum yang tak punya nama, kaum yang bertubuh aneh, berbahasa aneh, dan berprilaku aneh. Pada negeri itu batu dapat menjadi permata, arang dapat menjadi pena.

Lelaki yang sementara lari dari pengejaran panjang. Karena sebuah rencana penghancuran sebuah kaum. Kaum yang tak tahu punya salah dan dosa apa. Ia meninggalkan negerinya bersama orang-orang yang tidak dikenalnya. Hartanya hanya pakaian yang dikenakannya. Menggunakan kendaraan laut melintasi samudra, menyeberang pulau. Sampailah ia pada negeri itu, negeri yang belum pernah ia dengar namanya, negeri yang tak pernah ia lihat dalam sebuah peta. Di negeri itu sepertinya lebih menawarkan ketenangan, karena orang-orang tak tahu siapa dirinya, apa pekerjaannya, agamanya dan dari suku mana ia berasal. Penduduk pada sibuk dengan pekerjaannya, berteriak-teriak kesana-kemari, mengangkut barang dari bahtera bolak balik. Negeri yang nampak kaya dengan kegiatan prekonomian yang lumayan mapan. Ia tak dihiraukannya, ia hanya mendapat tatapan selingan disertai dengan senyum singkat.

Dan.. setelah berhari-hari memandang laut, memandang matahari dan berkawan dengan angin, ia kini bersembunyi dalam lorong-lorong gelap. Ruang yang juga sarang kalelawar, karena itu, ruang tersebut tak lepas dari bau kotoran hewan malam itu. Meski begitu ia tetap harus bersembunyi dari kejaran orang-orang yang berencana menghabisi kaumnya. Sampailah ia pada bangker itu. Disitu ia bersahabat dengan orang-orang yang tak tahu dari negeri mana, dengan berbagai macam wajah, dengan berbagai warna rambut.

Di situ ia belajar berkomunikasi dengan orang-orang aneh. Berusaha mengingat-ingat potongan-potongan kata berbahasa asing. Cukup lama ia beradaptasi dengan bahasa kawan-kawan sepersembunyiannya, menghafal kata-kata itu dari sebuah kamus usang yang juga ia peroleh dari seorang pemulung. Ia berusaha mengerti bahasa tubuh kawan-kawannya, mengerti apa maksud dari perkataannya. Ia kini punya nama baru, hasil karya kawan-kawannya. “Nikolai” sapaannya.

Meski telah meninggalkan negerinya yang jauh, terus bersembunyi dan tak tahu masa depannya akan bagaimana, Ia tetap tak ingin melupakan masa lalunya, ia menuliskan nama-nama saudaranya, nama gadis pujaannya, nama kerabat dekatnya. Dengan sebatang arang pada sebuah kardus.

Ia berusaha menghidupi dirinya sendiri dengan bekal seadanya. Ia minum dari kumpulan air yang menetes dari atas lorong-lorong. Menadah air itu menggunakan kaleng susu. Memanggang kalelawar yang ia petik dari langit-langit lorong. Kalau sudah lapar, ia beranjak dari perbaringannya dan pergi mengumpulkan kayu. Ia pun belajar dari kawan-kawannya cara menghidupkan api dari sebatang kayu. Sekali-kali kalau ia malas membuat api, ia memamah kelelawar itu hidup-hidup dan meminum darahnya. Ia pun menjadikan lumut sebagai santapan selingannya. Ia tak ingin mengingat masa lalunya, yang tiap harinya menyantap makanan enak, meminum air mineral. Kambing gulai sering berputar-putar di kepalanya. Ia pun merubah persepsinya dan kini menganggap kalelawar itu seperti kambing gulai yang sering disantapnya.

Ia melakukan hal semacam itu berhari-hari, berbulan-bulan. Dahulu ia bercita-cita menjadi seorang pengarang. Pengarang hebat, menceritakan kisah orang-orang, kemudian memimpikan memperoleh penghargaan Nobel sastra. Impian itu, kini mulai terkubur. Karena keadaan, ia hanya berusaha untuk merenung dalam remang-remang. Berusaha untuk tak melupakan cita-citanya, olehnya itu, dalam kepalanya berkumpul banyak cerita, namun tak ada cara untuk memyalurkan kisahnya. Kini ia menjadi seorang skizofrenia yang suka berhayal tinggi-tinggi. Ia sering bicara pada dirinya sendiri. Dalam sehari kerjanya hanya berbaring di atas selembar kardus ditemani sebatang rokok yang sering dihadiahkan padanya sama seorang pemulung jalanan. Dengan berucap dalam bahasanya. Yang menjadi pendengarnya hanya sekawanan kalelawar yang bertengger di langit-langit lorong.

Ia sering mengingat gadis pujaannya. Gadis yang dalam bayangannya tetap muda, walaupun ia tahu bahwa sudah tiga tahun ia mendekap dalam lorong itu. Dengan wajah yang sudah tak tampan lagi. Dengan rambut yang mengelilingi lingkar mukanya. Dengan baju lusuh dan bauk apak yang tak pernah digantinya. Ia tak pernah mau berfikir bahwa gadisnya itu telah punah, bersama peluru yang menembus dadanya. Gadis yang sering menjadi sumber inspirasinya, ketika ia menghayalkan sebuah cerita. Bahkan sering menjadi tokoh utama dari cerita itu. Cerita dari hari ke hari terus berganti topik, tentang orang-orang di kampungnya, tentang sepasang kekasih, atau malah meneruskan perjalanan cintanya dalam sebuah cerita. Hebatnya, ia hanya menuliskannya dalam kepalanya, tanpa secarik kertas atau seperangkat komputer.



0 komentar:

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (1)