semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (2)

Negeri yang dihuni oleh sekelompok manusia yang punya dua bahasa. Pertama adalah bahasa pribumi, bahasa yang dipahami hanya penduduk negeri itu. Bahasa dengan memainkan jemari-jemari tangan disertai gerakan bibir yang mengelurkan bunyi berdesis. Kedua adalah bahasa antar bangsa, lingua franca yang dipelajari dari manusia-manusia pendatang yang menawarkan kain dan berbagai perhiasan.

Mereka hidup bekoloni, membentuk kelompok-kelompok kecil. Pada negeri yang belum punya nama itu terdapat tujuh koloni, tiap koloni dibatasi oleh sebaran pohon ek atau pohon sejenis lain yang menyerupai jalur membentuk pagar. Dalam satu koloni terdiri dari belasan kepala keluarga. Tiap kepala keluarga mendiami sebuah pohon kastanye, ek, mahoni atau pohon-pohon akasia yang tinggi.

Ketika memasuki negeri itu, tampak belasan rumah yang bertengger di atas pohon. Rumah yang terbuat dari potongan-potongan kayu yang tertutup dedaunan lebar, semacam daun talas yang diawetkan dan telah dilapisi lilin. Rumah yang berpintu satu dan sepertinya tak akan pernah tertutup. Rumah yang di dalamnya terdapat ranjang jerami, perkakas dari batu gamping, peti dari batang pohon yang dilubangi serta beberapa helai daun yang dikeringkan.

Pada pusara koloni, terdapat rumah yang begitu megah, berupa rumah panjang yang terbuat dari kayu-kayu pilihan macam bayam, jati dan pernis. Rumah dengan bilik sambung menyambung. Kediaman dengan selusin jendela, beratap batang-batang bambu kuning yang dilapisi jerami. Pada bagian atap, nampak kepala singa dengan gigi-gigi putihnya. Kepala raja hutan dengan darah yang mengering pada lingkar lehernya. Bangunan yang berdiri di lahan lapang, dikelilingi bunga dan rerumputan aneh ini adalah milik Raja Limbu, kepala Suku Ribu. Rumah yang di dalamnya terdapat belasan wanita dari berbagai bangsa, berbagai warna kulit.

Kalau dilihat dari atas awan, koloni itu membentuk persegi lima, pentagram pada lahan hutan hujan, hutan yang diberi nama Kora, sesuai dengan nama pemimpin awal perhimpunan koloni awal itu. Pada sisi kanan kiri negeri terdapat dua sungai berwarna hijau terang. Sungai yang bagian tengahnya lebar, tapi mengerucut tepat pada pertemuan sungai, bertemu menjadi satu sungai yang mengalir jauh. Menyerupai sebuah tanda kuno milik persaudaraan penentang gereja, iluminati.

Nampak pula orang-orang aneh yang bergelantungan pada ranting-ranting Kastanye. Pohon yang mengelilingi rumah panjang itu. Mereka Bermeditasi dengan damai di atas jaring-jaring serabut. Manusia dengan rambut berwarna keperakan serta mempunyai ikat kepala berwarna merah darah. Mereka mirip kelelawar yang tidur di kala siang. Ada juga yang bersemedi dengan menegakkan badan, melilitkan tangannya pada ulir-ulir rambut pohon raksasa. Badannya mengkilat, seperti sudah dilumuri minyak kasturi. Kedua tapak tangannya bersedekap, satu kakinya menelikung kaki yang lain. Menikmati keheningan hutan, larut dalam perenungan.

Mereka adalah para prajurit negeri Ribu, para pemuda pilihan dari setiap koloni yang sengaja dipersembahkan untuk menjadi kesatria, pelindung raja Limbu. Sebelum menjadi kesatria, mereka terlebih dahulu dibaptis pada kolam minyak kasturi, kemudian badan mereka dilumuri dengan darah singa. Setelah itu mereka dibacakan mantra, diperkenalkan sama dewa serigala, raja mistis, mahluk yang mampu membersihkan pikiran, mencuci otak lantas menyisipkan watak kepatuhan dan kebengisan. Para kesatria ini pun melupakan masa lalunya dan cita-cita masa depannya. Melupakan kekasihnya, keluarga hingga namanya sendiri. Mereka tak punya nama, kesatria ini dipanggil berdasarkan nomor yang ada di jidatnya. Mereka menjadi mahluk baru yang punyai insting membunuh disertai kecakapan memanah, mencakar dengan kuku-kuku tajamnya. Mereka gemar mencabut jantung atau menbongkar otak lawannya.

Mereka disebut-sebut sebagai kesatria perak, lantaran rambutnya yang dicat berwarna perak. Perangainya terkenal di seluruh negeri, sebagai pembunuh berdarah dingin, perampas harta, pemusnah koloni yang membangkang. Jika saja terdengar penduduk yang membentuk konsensus untuk melawan raja, kesatria yang mampu terbang dan menghilang ini langsung menciduk, membelah kepala mereka kemudian memakan otaknya mentah-mentah.

***



0 komentar:

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (2)