semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Bertemu Senior di Mampang, Nonton ”King Speech” di Episentrum


Sabtu dalam sejarah agama berasal dari kata Sabat, hari suci kaum Yahudi. Musa menitiskan titah untuk fokus menyembah Yang Maha Tahu, Yehovah/Yahweh di hari itu. Pasar diliburkan, akademi-akademi rahib hidup dengan lantunan kidung-kidung Zabur dan Torah, merenung peringatan-peringatan Yusuf tampan, meratap kesedihan Yaqub, meneguhkan kemuliaan Sulaiman. Pada hari itu, tuhan beriak di sel-sel darah manusia. Dan pada hari Sabtu dua bulan terakhir, saya pun punya ritual tersendiri, yaitu berjalan dan berjalan. Mencari kawan dan saudara, mengunjungi tempat yang belum pernah dilihat, dan utamanya untuk menenangkan pikiran yang dihempas angin pengap selama lima hari di sekitaran gudang kepiting.

Sabtu pagi, 19 Februari 2011, Kak Gunawan Mashar tiba-tiba sms, ”Dam, ke Mampang mi, saya ada waktu lowong”. Langsung saja saya balas, “oke kak, sebentar saya dan kak Yunus ke Mampang”. Sembari mempersiapkan diri, saya berkali-kali menghubungi kak Yunus, namun tak diangkat, mungkin masih terlelap. Hati di pagi itu mekar lantaran dapat bertemu senior di Koran Kampus identitas Unhas itu. Kak Gun sudah empat tahun bergulat di Jakarta ini, sejak tahun 2007. Ia ditarik oleh pimpinan pusat media online www.detik.com untuk meliput kawasan Jakarta saja, tepatnya nge-pos di istana wapres, Jusuf Kalla waktu itu. Lantaran ngepos di situ, beliau dapat dekat dengan Pak JK, juga dekat dengan lingkar dalam jagoan asal Sulawesi Selatan itu, seperti Pak Husein Abdullah (pimpinan Celebes Tivi Makassar/Dosen Unhas). Buah dari kedekatan itu, Kak Gun pun diperbolehkan nginap di apartemen yang dititipkan pemiliknya yang lagi ke luar jakarta. Apartemen yang terletak di Kuningan, blok Taman Rasuna, kawasan Bakrie Group.

Kali ini rutenya baru lagi, tidak ke mampir di Harmoni, tapi singgah di Grogol, lalu jalan ke halte sebelah, arah Pinang Ranti. Busway pun melaju menelusuri jalan S. Parman, melewati Semanggi, Slipi, hingga tiba di Kuningan Barat. Saya transit di situ, untuk ambil busway arah Duren Tiga, setelah Mampang Prapatan. Perjalanan memakan waktu 1,5 jam. Lumayanlah..

Saya mengontak Kak Gun waktu tiba di Duren Tiga, “Kak, saya sudah sampai di halte Duren Tiga,” kataku via telepon.. “Oke Dam, tunggu nah, saya jemput.. “.. tak lama kemudian, Bang Gun yang mengenakan baju santai berwarna putih, dan training hitam sudah mondar-mandir di tepi halte, melihatnya sibuk mencari sesuatu, sontak saja saya teriaki dari atas.. Kak Guunnn.. hehehe... iya pun tertawa, sambil bergerak seperti orang gelisah, padahal ia sebenarnya lagi senang.. gitu kah.. hehe.. saya diboncengnya hingga di depan rumah tempatnya nge-kos. Kamarnya di lantai dua, pada pintu depan tertempel nomor, 22, atau Kamar 22.

“Luar biasa kau Dam, dapat dengan cepat tahu tempat ini, padahal informasi yang saya kasi ko cuma sedikit,” ungkapnya. “heheh.. kan naik busway kak, tinggal nanya-nanya sama petugasnya,” jawabku singkat. “Hehe.. betul juga. Tapi Jamal dan teman-teman yang lain harus nelpon berkali-kali baru bisa tiba di sini, artinya mentalmu kuat Dam..,” katanya lagi.. ah bisa aja, saya hanya mengiyakan, “ndak segitu ji kak”..

Kak Gun termasuk orang yang berjasa dalam perjalanan dunia penulisan saya. Kala Agustus 2005 itu, Kak Gun memimpin proyek penggodokan magang identitas, yang saya juga termasuk di dalamnya. Sebulan lebih ia menohok kami dengan kritik-kritik pedas nan tepat tentang gaya penulisan, ide, dan konten berita. Saban tiga hari kami harus menyelesaikan tugas peliputan, yang melandai tinggi tingkat kesulitannya. Saban koreksi itulah wejangan dan ilmunya masuk dalam kepala saya, dan bertahan hingga kini, saya kembangkan sendiri lewat referensi saja. Tak ada lagi guru menulis setelah itu. Saya belajar dari pengalaman, dari perenungan, dari kait-mengait makna dan realitas. Gaya penulisan berita saya waktu itu pun bergeser ke episentrum, menjadi kian detil, jelas, imajinatif, kreatif, penuh konten memiliki sudut pandang. Persoalan ini persoalan cita rasa, dan cita rasa kak Gun lumayan dahsyat.. sehingga menular ke kami-kami ini,, benih reporter identitas waktu itu.

Saya duduk termangu di karpet kamar lantai 2 itu, mengamati foto-foto di dinding, berupa gambar demonstran yang membakar ban, foto buruh perempuan yang menggelar spanduk, serta gambar “Good Father”, film fenomenal tentang jaringan mafiaso di Italia. Pada dinding itu, terpajang juga wajah budha, gambar soekarno di kalender. Pada sisi dinding yang lain terpampang lukisan alam pedesaan dengan sungai mengalir pelan di tengahnya. Melirik ke atas meja kaca berduduk ban truk, terdapat banyak miniatur, yang paling saya senangi adalah relik wajah sultan hasanuddin, raja terakhir kerajaan Gowa Tallo. Terdapat juga minatur bumi berbahan kaca, jam pasir, serta tali bola bandul. “Wah.. luarbiasa kamar ta ini kak,” celetukku.. “Ah biasa ji ini Dam, belum pi berkonsep,” sanggah kak Gun.

Kak Yunus menelpon, katanya ia baru berangkat, oke, kita tunggu dulu kak Yunus baru jalan-jalan. Sembari menunggu, kak Gun masih asyik melanjutkan permainan Football Manager-nya, dalam permaianan itu, pemain dilatih menjadi pelatih tim sepak bola. Dimana kita harus jeli memilih pemain, merancang strategi permainan, menyusun pemain sesuai bakat dan posisinya masing-masing. “Kalau kau bisa kuasai ini permainan Dam, kamu bisa dengan gampang menyusun strategi dimana pun medannya, termasuk starategi di kancah politik,” ucapnya takjub dengan permainan dia sendiri.

Kak, Gun menampakkan perubahan postur tubuh, ia sedikit bertambah tambun, langkahnya pun gontai, sudah mirip langkah bos-bos, sepertinya itu menjadi simbol kesejahteraan di kota ini. Kata Kak Gun, di Jakarta ini yang dinilai adalah simbol-simbol yang tampak luar, seperti kebugaran dan kelebihan daging tubuh, kebersihan wajah, serta style pakaian. “kalau badanmu sudah agak naik, dan pakaianmu Bagus, yakin Dam, kamu akan diberi brosur setiap saat berkunjung ke Mall,” celotehnya. Dan, itu betul-betul terbukti, setiap saya jalan di samping kak Gun di Mall mana saja, kak Gun selalu ditawari brosur, sementara saya dilirik pun tidak.. bagaimana tidak, gayaku masih gaya mahasiswa, mengenakan kaos oblong, memakai sandal, kurus, hidup lagi!! hahaha..

Masyarakat jakarta adalah masyarakat simbol. Orang dinilai dari penampilan luarnya, orang akan mudah diajak kenalan jika punya mobil, rumah mewah, atau apartemen. Kalau sekelas saya yang gaji hanya untuk makan dan transportasi saja, waduh, temannya pun dari golongan itu juga. Tapi, beruntung saya di sini punya banyak senior, dan rata-rata kelas menengah ke atas, sehingga tetap saya bisa jalan kemana saja, masuk ke pusat-pusat perbelanjaan dan rekreasi ternama, walau saya cuma numpang cuci mata dan sesekali menikmati penganannya. Dan, dalam setiap perjalanan itu, saya berupaya menangkap kesan.. menyimpan-nyimpan dalam memori. Karena yang menghidupkan saya hingga kini berangkat dari kesan, pesona dan ingatan.. bagaimana jadinya kalau ingatan sudah diambil, tak ada lagi yang dapat direnung-renungkan kan?

Setelah kak Gun puas dengan Football managernya, kami keluar mencari makan, warung makan jaraknya cukup jauh, motor harus masuk keluar lorong, menyusuri pemukiman hingga dua kilometer. Warung yang dimaksud adalah warung Yogyakarta, warung yang selalu diramaikan oleh karyawan media Trans TV (kantor Trans TV tak jauh dari situ). “Pesan Dam, di sini makanannya cukup segar dan terjamin,” tawarnya. “saya minum saja kak, saya sudah makan tadi sebelum ke sini,” jawabku.. kak gun menimpali “ah.. kamu Dam, oke ndak apa-apa ji..”. Kak Yunus sebentar lagi tiba, dia masih di S. Parman. Sehabis makan, kami mengunjungi mini market Giant, kak Gun belanja kebutuhan akan buah-buahan dan hendak membeli beras merah.

Sehabis makan, kak Yunus sms bahwa ia sudah di Duren Tiga, saya pun segera menjemputnya di dekat halte. Sementara kak Gun juga pergi menjemput kekasihnya yang bernama Achi. Cukup lama menunggu Kak Gun dan Aci tiba di rumah.. Setibanya di kamar bersama Achi, kami pun bercanda dulu, yang menjadi obyek pembicaraan adalah Kak Yunus, tentang pekerjaannya, tentang masa depannya. ”Kak, masa kerjaku di Jakarta diperpanjang, hingga dua bulan. Dan ditawari juga untuk pindah tugas di sini,” ungkapnya. Kami tercenung, asap rokok kak Yunus membumbung.. ”kalau saya coba-coba mi dulu di Jakarta, kalau cocok ji salary-nya, ambil saja.. di sini banyak hal baru yang bisa dilihat yang tidak ada di Makassar,” kata Kak Gun. Saya pun mengiyakan dalam hati.

Pukul 16.00 kami keluar kandang, Kak Gun membonceng Aci, saya dan kak Yunus naik Busway menuju Halte Gor Sumantri, halte depan kawasan apartemen Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan. Kami pun bertemu di dekat Pasar Festival dan mengendarai motor ke apartemen. Tiba di sana, kak Gun memandu seperti guide memperkenalkan sekilas tentang apartemen ini. ”Apartemen ini punya orang penting, tapi ia jarang di Jakarta. Jadi saya dititipkan untuk menginap di sini. Tapi, biasanya saya pakai pada hari sabtu minggu saja. Atau ada tamu yang datang dari jauh, dan untuk menambah kesannya akan jakarta, saya nginapkan di sini,” ujarnya. Apartemen ini terletak di salah satu blok/tower, jumlah tower di kawasan apartemen ini berjumlah 19, dimana masing-masing tower saling terhubung, yakni pada lantai empat, yang kita bisa lari-lari pagi di tanah buatan itu. Kawasan hiburan pada lantai 4 ini terdapat kolam renang dua tempat terpisah, taman bermain untuk anak-anak, lapangan bissbol, tenis, futsal, penjaja penganan juga ada di sini.

Kamar kak Gun terletak di lantai 11, kami naik lif yang super cepat. Masuk ke dalam, kita seperti berada dalam rumah kelas atas. Sofa yang empuk, televisi lebar beserta tape recorder, meja makan yang eksotik, peralatan dapur yang lengkap, serta dua kamar yang menyejukkan. Dan yang terindah adalah pada balkonnya, dimana kita dapat memandangi gedung-gedung indah, termasuk Bakrie Tower yang berwarna hitam, gedungnya berkelok indah, serta sungai buatan yang berwarna hijau, jarak pandang jauh hingga keluar kawasan. “Dam, jangan terlalu lama di situ, lama-lama kamu terusik untuk melompat ke luar balkon,” candanya. Banyak cerita naas di Jakarta ini, cerita tentang orang kesepian atau orang kelas atas yang diliputi masalah besar, berakhir tragis menutup kesepiannya dengan melompat dari apartemen tinggi. Memang sih, kalau berada di balkon itu, apalagi saat angin menghempas tubuh, laju imajinasi berlalur sepi, obyek yang berpijakkan angin itu begitu memikat untuk dilewati dan diraih, hendak menikmati kebebasan sejenak bersama angin dengan terjun ke bawah. “ah, jangan berpikir yang tidak-tidak,” batinku.

Tak lama di situ, kak Gun mengajak jalan ke Gedung Episentrum yang terletak depan tower. Yang menakjubkan dari Episentrum ini adalah relik-relik bangunannya. Konsep arsitektur yang tidak biasa, memadukan ketahanan dan kualitas bahan dengan kreativitas desainnya, menghasilkan kemegahan yang menggugah. Mencuatkan imajinasi bahwa sesuatu yang tak lazim itu selalu indah untuk direnungkan. Kemenangan gedung ini adalah kemenangan pola, jaringan-jaringan yang menghubungkan.

Kami pun menuju bioskopnya, dan menonton film peraih Oscar terbaru, yaitu “King Speech”. Memutar ulang sejarah perang dunia dua, saat Jerman hendak menggaduh di Inggris. Raja baru Inggris ini sangat kesulitan untuk ngomong, apalagi berpidato di depan rakyatnya. Sehingga dalam perjalanan yang singkat itu, ia melatih diri untuk bisa lancar bersuara dengan dipandu oleh seorang pakar psikologi. Hingga tiba saat menentukan, dimana ia harus menyampaikan kondisi darurat dan pidato pengumuman perang kepada para rakyatnya. Dan.. dengan syukur pada alam raya, dalam ruang yang tertutup itu, ia bisa dengan memesona membaca teks pidato, tanpa gemetar, tetapi menggelegar dan berkesan. Ketegangan akan dimulainya perang pun luruh lantaran ketegangan akan pidato tertaklukkan. Menuju ke tema ini, nanti kita masuk ke konteks bangunlah jiwanya dan bangunlah badannya. Jiwanya sudah bangun, raga pun akan mengikuti.


Sehabis menonton, kami berputar-putar, melihat arsitektur dan fasilitas gedung yang bersambung-sambung ini. Pada saat itu, di ruang tengah berlangsung konser lagu-lagu daerah yang dibawakan oleh bocah-bocah. Hebatnya, mereka menggunakan alat musik tradisional, seperti seruling, angklung, gendang. Alunan musik yang menggelegar anggun, setelah itu berjalan lagi untuk mencari tempat makan. Di tempat makan ini, sama halnya di halaman ataupun di apartemen, selalu didominasi oleh orang Cina. Tak salah juga, karena orang Cina pantas mendapatkan kemewahan, lantaran kerja kerasnya, usahanya yang pantang mundur, dan mungkin terbentuk dari watak aslinya, Cina (Cinta Dunia). Sementara di keramaian yang lain, seperti di jalan-jalan bising Kapuk, bergumul orang dari beragam suku, seperti Jawa yang identik dengan Jajah Wilayah, Batak dengan banyak taktiknya, serta orang Betawi yang selalu saja Betah di Wilayahnya sendiri. Kalau Makassar, ndak tau mi.. hehee..

Kami pun kembali ke lantai 11 tower dengan suasana menyegarkan, meski kaki sedikit lelah melangkah. Kak Gun mengantar Aci kembali ke Cempaka Putih, saya dan Kak Yunus istirahat di ruang depan. Malam itu, kami masing-masing menimpali diri, kak gun bermain internet, kak yunus entah apa, dan saya cuma memandang-mandang saja. Paginya lagi yang berkesan, kami berkeliling penghubung tower di lantai 5, melihat anak-anak india bermain air di kolam renang, melihat para pengasuh anak setengah mati menjaga anak-anak Cina bermain di taman anak, melihat orang-orang India yang berolahraga santai di lapangan bisbol. Olahraga mereka tidak berkeringat yah.. hehehe

Sekembali dari situ, kami pun bersiap-siap pulang. Kembali ke Kontrakan yang tak kalah hangat dengan apartemen mewah itu.!

Kayu besar, Senin, 28 Maret 2011



0 komentar:

Bertemu Senior di Mampang, Nonton ”King Speech” di Episentrum