semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pemandu di Dunia Sastra Dick Hartoko dan B. Rahmanto (K-L)

Kaba : Jenis prosa lirik dari sastra Minangkabau tradisional yang dapat didendangkan. Para pendengarnya jauh lebih tertarik pada cara menceritakannya dibanding isi yang diceritakan. Kemungkinan variasi dan versi sangat besar. Kaba termasuk sastra lisan yang dikisahkan turun temurun. Contoh kaba yang terkenal adalah ‘Sabai Nan Aluih’.

Kabuki: Bentuk pentas yang di Jepang sangat populer. Semula merupakan tarian yang dibawakan oleh sejumlah wanita dengan iringan musik. Karena kelakuan para penari wanita itu makin asusila, maka keluarlah sebuah larangan, sehingga sampai sekarang ini semua peran wanita dibawakan oleh pria. Bentuk pentas ini berkembang menjadi teater sepenuhnya dan mencapai puncak sukses pada bagian kedua abad ke 18 dengan karya-karya yang semula ditulis oleh Cikamatsu Monzaemon bagi teater marionet (lihat ‘bunraku’). Kaitan dengan seni tari dan marionet masih nampak dengan jelas. Kabuki tidak berhaluan realistis. Riasnya fantastik, gerak geriknya kaku, perkembangan alur lamban. Kabuki kadang-kadang mirip dengan opera, kadang-kadang dengan balet, kadang kala bahkan menyerupai semacam upacara, sekalipun lebih merakyat daripada pentas No.

Kakawin: Sejenis puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan yang mempergunakan metrum dari India. Digubah antara abad ke-10 sampai abad ke-15, untuk bagian besar di kalangan kraton Kediri dan Majapahit. Penyair disebut kawi. Beberapa kakawin terkenal misalnya Ramayana, Arjunawiwaha dan Nagarakertagama.

Kanon: Dari kata Yunani “kanoon” yang berarti tolok ukur. Maka berarti pula contoh, norma, hukum, daftar. Dalam agama kristen daftar kitab yang resmi diterima sebagai bagian alkitab, yang diilhami oleh Tuhan. Lawan apokrif, ialah kitab yang tidak secara umum dan resmi diterima sebagai bagian Alkitab. Pada zaman sastra klasik Yunani-Romawi daftar karya agung yang secara wajib harus dibaca oleh para siswa yang juga merupakan contoh untuk ditiru (imitatio).

Karakter: Drama karakter menghubungkan gejolak batin dengan perbuatan lahiriah secara psikologis. Perbuatan lahiriah hanya penting sejauh menghadapkan tokoh utama dengan masalah eksistensinya serta perkembangan egonya. Tema-tema yang ditampilkan ialah kebebasan pribadi, makna penderitaan, kekuasaan masa yang silam. Pada akhir abad yang lalu jenis pentas ini sangat populer (Ibsen, Nora dan Cekov, Paman Wanya).

Katharsis : Kata Yunani yang berarti pembersihan. Dalam Peri Poietikes Aristoteles melukiskan efek yang diakibatkan oleh pementasan sebuah tragedi terhadap para penonton. Penonton turut menghayati nasib yang dialami oleh tokoh utama dan diombang-ambingkan oleh rasa takut dan belas kasih. Penonton mengadakan instrospeksi dan jiwanya lalu dibersihkan dari noda dosa (moral) atau secara psikologis ia lalu merasa lega, tekanan batinnya terurai.

Kawi: Dalam bahasa Sanskerta, kata kawi semula berarti seorang yang mempunyai pengertian yang luar biasa, seorang yang bisa melihat hari depan, seorang bijak; tetapi kemudian dalam sastra Sanskerta klasik, kata kawi memperoleh arti yang khas, yaitu seorang penyair (lihat kakawin).

Kerangka bingkai: Cerita kerangka bingkai (frame story). Sebuah cerita yang mencakup satu atau beberapa cerita lain (story within a story, misalnya cerita Droogstoppel dalam Max Havelaar). Kadang-kadang cerita kerangka bingkai itu hanya berfungsi sebagai titik awal bagi sebuah cerita lain yang dibawakan oleh satu (seribu satu malam) atau beberapa juru dongeng (Decamerone). Kadang-kadang cerita dalam dan cerita kerangka bingkai mencapai suatu kesatuan organik (Canterbury tales).

Kidung: Jenis puisi Jawa Pertengahan yang mempergunakan metrum-metrum asli Jawa. Kata Kidung dan kata-kata yang diturunkan darinya seperti mangidung dan sebagainya, berarti lagu, bernyanyi dan kata-kata ini muncul dalam berbagai prasasti sejak periode paling awal. Kata-kata ini juga dipakai dalam teks-teks prosa awal dam kombinasi angigeliangidung (menari dan menyanyi), misalnya dalam Wirataparwa 19 dan Uttarakanda 3. Kata mangidung juga dipakai untuk melukiskan bagaimana sebuah kakawin dikembangkan. Konon, ketika Arjuna menggubah sebuah kakawin pendek ia merasa demikian terharu, sehingga di tengah-tengah sebuah bait ia berhenti. Tilottama, seorang bidadari yang baru dinikahi dan bersembunyi di belakang sebatang pohon, meneruskan kakawin itu sambil mangidung sebuah baris tamat gubahannya sendiri.

Kitsch: Seni semu, seni yang murah, picisan, yang seringkali hanya ingin menonjolkan kekayaan si pembelinya. Oleh Eco, seorang ahli linguistik Italia, pernah disebut sebagai “sebuah dusta struktural”.

Klasisisme: dari kata “klasik”, sekelompok karya seni yang umum diterima sebagai karya-karya agung yang patut ditiru dan dijadikan contoh dan tolok ukur. Semula terbatas pada karya-karya seni Yunani-Romawi, kemudian juga bagi karya-karya agung dari kemudian hari di Eropa (misalnya musik ciptaan Bach, Handel, Mozart dan Beethoven termasuk musik klasik Barat). Tetapi juga dalam kalangan seni budaya di luar Eropa kita berbicara misalnya mengenai seni tari klasik Jepang, India, Jawa dan sebagainya.
Istilah klasisisme sebagai suatu pengertian dalam ilmu sastra menunjukkan kepada suatu kurun waktu dari akhir abad ke-17 sampai akhir abad ke-18. Zaman Renaissance boleh dianggap sebagai gelombang pertama dalam meniru seni sastra, seni rupa dan seni bangun dari zaman Yunani-Romawi. Klasisisme merupakan gelombang kedua, tetapi sebagai reaksi terhadap Barok lalu menekankan peniruan yang harfiah, beku, kurang lincah, meremehkan kreativitas individu (sebagai reaksi lalu timbul Romantik). Karya-karya agung ditiru, tetapi terlalu formal, kurang kreatif. Pusat klasisisme di Eropa Barat ialah Prancis pada masa pemerintahan Louis XIV dan Inggris (Dryden dan Pope). Pada akhir abad ke-19 awal abad ke-20 muncul aliran neoklasisis. Di Prancis sebagai reaksi terhadap simbolisme, di Jerman sebagai reaksi terhadap naturalisme dan impresionisme.

Klausa: 1. Dalam seni pentas setiap bagian teks yang diucapkan oleh seorang pelaku tanpa selingan apa pun. 2. Kata terakhir dari pelaku A yang merupakan isyarat bagi pelaku B untuk memulai ucapannya.

Klimaks: Susunan kata yang meningkat, baik mengenai arti maupun mengenai panjangnya. Veni, vidi, vici. Puncak ketegangan psikologis dalam sebuah cerita atau pentas. Disusul oleh antiklimaks.

Klise : 1. Dalam seni tipografi dan seni foto gambar negatif yang dapat dipakai untuk mencetak gambar-gambar positif, 2. Dalam bahasa sehari-hari suatu ucapan yang telah usang, basa-basi, 3. Dalam stilistik sebuah kiasan yang telah aus, usang. Misalnya ”kusuma bangsa”, ”malam bulan purnama yang bermandikan cahaya perak”, dan sebagainya.

Komedi: Bentuk drama yang bermaksud untuk menghibur para penonton. Lawan: tragedi. Visi terhadap orang perorangan. Hidup sehari-hari ditampilkan penuh humor. Tak ada permasalahan metafisik, alurnya ringan dan dengan cepat diselesaikan dengan “happy ending”. Dibedakan antara komedi klasik (aristophanes, Plautus, Moliere) dan komedi ala Shakespeare. Dalam kelompok pertama kekurangan diperbaiki, maka dipergunakan satire dan ejekan. Dalam kelompok kedua, pandangan terhadap kekurangan bersifat toleran. Lain daripada tragedi, maka komedi tidak begitu terikat akan hukum-hukum tertentu.

Komparatisme: ilmu sastra perbandingan. Cabang ilmu sastra yang secara metodis (dengan mencari analogi, kaitan, kemiripan dan pengaruh) membandingkan sastra dan seni-seni lainnya (komparatisme interaristik) atau membanding-bandingkan teks-teks sastra, mencari kaitannya agar dengan demikian teks-teks itu dapat dipahami dengan lebih baik. Teks-teks yang dibandingkan dapat berdekatan atau tidak menurut ruang dan waktu.
Yang hendak dibandingkan tergantung pada visi si peneliti terhadap sastra, dari objek yang mau diteliti dan dari sasaran yang dituju. Secara prinsip segala sesuatu dapat dibanding-bandingkan menurut taraf-taraf yang tersusun secara hierarkis (leksikal, stilistis, struktural, semantis).
Sifat hubungan dibedakan menurut pengaruh dan kemiripan. Bila ada pengaruh, maka dibedakan antara pemancar dan penerima. Bila tiada pengaruh, namun kelihatan ada kemiripan, maka gejala ini disebut paralel. Kemiripan yang timbul, bila dua karya berakar dalam lingkungan kebudayaan yang sama, tanpa adanya pengaruh dari karya yang satu terhadap yang lain.

Komunikasi: hubungan antara pemancar, pesan dan si alamat. Dalam studi sastra menunjukkan relasi antara pemancar, pesan dan si alamat. Dalam studi sastra menunjukkan relasi majemuk antara pengarang, teks dan pembaca. Menurut Roman Jakobson maka dalam setiap ungkapan bahasa terdapat sejumlah fungsi (referensial, emotif, konatif, puitik...) yang berkaitan dengan beberapa faktor (konteks, pemancar, juru bicara, pengarang) penerima (pendengar, pembaca) dan berita atau pesan bahasa sendiri. Fungsi mana yang dominan tergantung pada faktor yang ditekankan, sekalipun selalu harus disadari bahwa faktor-faktor lain pun turut berperan, sehingga setiap ungkapan bahasa bersifat polifungsional.

Konotasi : Keseluruhan asosiasi yang ditimbulkan oleh sebuah kata, tetapi yang tidak termasuk arti dasar atau arti kognitif (= denotasi) kata itu. Arti denotatif ”perak” menunjukkan semacam logam mulia tertentu dengan rumus kimia tertentu, tetapi dalam kalimat ”Di bawah sinar bulan purnama alam raya bermandikan cahaya perak”, maka ”perak” di sini berarti ”bagaikan perak, mengkilap keputih-putihan”.
Konotasi sebuah kata sering ditentukan oleh perasaan individual seorang penyair, tetapi kadang-kadang juga oleh lingkungan kebudayaan. Misalnya bendera putih dapat merupakan tanda bahwa musuh menyerah, tetapi juga dapat menandakan adanya kematian, jadi supaya kendaraan berjalan perlahan-lahan.

Koor : Paduan suara, sebaris orang yang menyanyi dan menari sambil mengiringi pelaku (pelaku) di atas panggung. Dalam tragedi Yunani koor semula merupakan satu-satunya antagonis dramatis bagi tokoh utama dan tunggal. Baru di kemudian hari tampil dua atau tiga pelaku. Koor menyuarakan komentar, renungan atau mewakili para penonton. Fungsi koor dapat diumpamakan dengan fungsi ”suluk” dalam pementasan wayang.
Dalam teater modern koor jarang muncul lagi, sekalipun T.S. Eliot (Murder in the Cathedral, 1935) masih berusaha untuk menghidupkannya. Demikian juga dalam drama ekspresionistis koor mewakili rakyat jelata. Di Indonesia Rendra pernah juga menampilkan koor dalam ‘perjuangan suku Naga dan Mastadon dan Burung Kondor’.

Kuatrin: Dari kata Prancis “quatre” yang berarti empat. Sebuah bait atau sanjak yang terdiri dari empat larik atau baris. Dalam sebuah soneta kedua bait pertama merupakan dua kuatrin dengan skema rima abba. Yang disebut kuatrin Parsi merupakan sebuah sanjak yang utuh dengan skema rima aaba. Mengandung butir kearifan hidup. Umar Khayam (th 1100 M) menggubah kumpulan kuatrin yang berjudul Rubayat.

L
Larik: dari kata Inggris “verse”. Satu baris dalam sebuah sanjak yang secara tipografis dapat dikenal karena tidak membentang selembar halaman. Selain dalam puisi juga dipakai dalam epik dan dramatik. Asal mula dipergunakan larik-larik mungkin disebabkan kerena keinginan pengarang memberikan relief pada tulisannya, lagi pula untuk mengungkapkan emosi yang kuat. Ada dugaan kuat bahwa pembagian menurut larik-larik juga disebabkan karena adanya ritme. Ritme tersebut dapat berdasarkan metrum atau tekanan. Pada zaman modern, teknik-teknik persajakan dirasakan terlalu menghambat kreativitas bebas seorang penyair, lalu oleh kaum simbolis dan ekspresionis diganti dengan larik bebas.

Latar: sama dengan setting. Penempatan dalam ruang dan waktu seperti terjadi dengan karya naratif atau dramatis. Penting untuk menciptakan suasana dalam karya atau adegan serta untuk menyusun pertentangan tematis. Dalam Ronggeng dari Dukuh Paruk latar seolah-olah masuk dalam alur sendiri.

Legenda: kata latin yang berarti: yang harus dibacakan. 1. Cerita religius mengenai Yesus, Maria dan seorang kudus yang dari saat ke saat harus dibacakan di gereja atau di kamar makan para rahib dengan maksud agar para pendengar makin yakin akan kesaktian tokoh yang bersangkutan sehingga teladan hidupnya diikuti. 2. Legendaris (tokoh legendaris), ajektif dari kata legenda yang lebih luas lingkupnya. Karena tradisi lisan atau tertulis maka sekitar seorang tokoh historis dapat disusun sejumlah cerita yang mengagungkan kepahlawanannya dan yang sifat historis sukar dicek (misalnya: Hang Tuah, Gadjah Mada, raja Arthur, Faust).

Lirik: semula sebuah syair yang diiringi dengan petikan alat lira (dalam sastra Yunani). Lirik secara spontan melahirkan dan mewujudkan perasaan batin seseorang. Bersama dengan epik dan dramatik termasuk ketiga jenis pokok sastra. Sifat-sifatnya ialah mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca atau pendengar. Lirik dibagikan menurut ode, elegi,soneta dan seterusnya. Berdasarkan hubungan antara aku dengan kenyataan dibedakan lirik langsung (suara batin langsung diperdengarkan) dan lirik tidak langsung (aku menyembunyikan diri di belakang lambang-lambang).

Liris: Prosa liris atau lirikal, prosa yang diperkaya dengan gaya lirik, seperti irama, simbolik bunyi, metafora dan dengan demikian menyampaikan perasaan batin pengarang. Contoh, ‘pengakuan Pariyem’, karangan Linus Suryadi.

Lisible: Dalam bahasa Prancis berarti yang dapat dibaca. Istilah ini diperkenalkan oleh R. Barthes, ‘Nouvelle Critique’, tahun 60-an. Lawannya “Scriptible”, yang dapat atau harus ditulis kembali. Sifat lisible terdapat dalam teks-teks yang penafsirannya disodorkan kepada pembaca yang secara pasif menerimanya seperti halnya dengan roman-roman realistis. Tetapi dalam roman-roman avant-gardis pembaca secara aktif harus turut menulis teks roman itu, harus aktif menafsirkan.


Litotes : Kata Yunani yang berarti sederhana. Gaya yang nampaknya memperkecil atau memperlemah sesuatu, tetapi yang akibatnya justru sebaliknya. “Tidak terlalu jelek” sama dengan bagus. “Lumayan juga rumah yang dibangunnya” sama dengan bagus sekali. Sering dipergunakan dengan maksud ironis.



0 komentar:

Pemandu di Dunia Sastra Dick Hartoko dan B. Rahmanto (K-L)