semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pemandu di Dunia Sastra, Karya Dick Hartoko dan B Rahmanto 1986 (I)

I
Ideologi: Istilah ini diciptakan oleh Destutt de Tracy (Prancis, 1796), guna menunjukkan suatu ilmu baru yang meneliti ide-ide manusia, asal mulanya, sifat-sifat dan hukum-hukumnya. Menurut arti yang umum, ideologi menunjukkan ide-ide yang mendasari sebuah sistem filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok tertentu. Dalam kalangan Marxis, ideologi berarti sejumlah keyakinan yang dianut oleh suatu golongan tertentu dan dianggap tidak perlu dibuktikan lagi, tetapi yang sebetulnya menghalalkan kepentingan golongan tertentu itu. Di sini ideologi berari ideologi yang sedang berkuasa, tetapi keliru dan menyesatkan. Alam pikiran yang ditentukan oleh hubungan ekonomis menggunakan sarana-sarana ideologis yang melestarikan dan meneguhkan ideologi tertentu itu. Kaidah-kaidah dalam dunia seni, norma estetik yang dianut, dan sebagainya. Citra manusia ideal yang dianut oleh Cicero dan kaum humanis juga mengandaikan suatu ideologi.
Sastra pun dapat dijadikan sarana untuk mewujudkan atau mencerminkan suatu ideologi. Tetapi sebaliknya, demikian kaum Marxis, sastra dapat juga menelanjangi ideologi yang sedang berkuasa. Tetapi mau tidak mau kritik ideologi juga berpangkal pada suatu ideologi tertentu.

Ilusi : sesuatu yang kelihatannya seolah-olah nyata. Efek yang dihasilkan oleh teks-teks drama dan cerita. Gayanya misalnya demikian hidup dan memesonakan, sehingga pembaca atau penonton terhanyut olehnya dan tidak sadar lagi, bahwa apa yang dibaca (atau ditonton) hanya sebuah cerita atau drama.

Imagisme : gerakan dalam puisi dan kritik sastra di Inggris dan Amerika Serikat menjelang Perang Dunia I. Dipengaruhi oleh T.E. Hulme dan dikembangkan oleh Ezra Pound. Reaksi terhadap kesamar-samaran romantik dan unsur emosionalitas pada puisi waktu itu. Ada pengaruh dari simbolisme Prancis dan puisi Cina dan Jepang (Haiku). Puisi hendaknya merupakan ”a direct treatment of the thing”. Gambaran (image) hendaknya bersifat tajam, tepat dan mampu menimbulkan kontak dengan “the thing”. Bahasa yang dipakai seorang penyair supaya biasa saja dan bebas dari paksaan metrum. Apa saja dapat digarap oleh seorang penyair. Gerakan ini membuka jalan bagi para pembaharu dalam puisi Inggris, seperti misalnya T.S Eliot, W.B. Yeats, James Joyce dan D.H. Lawrence.

Imitatio : Mengikuti secara kreatif karya-karya sastra yang agung, misalnya dalam hal gaya, kosakata, metrum dan sebagainya. Pada zaman klasik di Eropa Kuno imitatio dianggap dasar setiap kegiatan literer. Dalam sastra latin sastra Yunani dianggap sebagai contoh bahkan sebagai tantangan. Demikian Vergilius berusaha menulis lebih indah daripada Homerus. Pada zaman renaissance dan klasisisme, ide tentang imitatio tetap dominan. Baru pada zaman romantik digeserkan oleh orisinalitas ; pengarang harus menciptakan secara orisinal, sekaligus sebagai metateks. Kadang-kadang imitatio masih berpengaruh, misalnya dalam karya Ezra Pound.


Implied author : Istilah dari naratologi, teori tentang cerita. Diperkenalkan oleh W. Booth. Yang dimaksudkan ialah sebuah instansi yang tersembunyi, diandaikan oleh cerita dan yang lain daripada juru cerita. Setiap cerita merupakan hasil sebuah seleksi, evaluasi dan merupakan perpaduan dari unsur-unsur sosial, moral dan emosional. Implied author berdiri di tengah-tengah si juru cerita dan pengarang sendiri. Juga disebut persona poetica yang lain daripada persona practica (pengarang sendiri).


Impresionisme: istilah dari seni lukis, aliran di Prancis antara 1874 – 1895. Pelukis ingin menampilkan kesan, impresi, mengenai warna dan cahaya, khususnya keadaan cuaca dan suasana. Ia tidak melukis dengan tajam, melainkan samar-samar (seurat, bahkan hanya melukiskan titik-titik berwarna, 1895). Eksponen utamanya Manet dan Degas. Perhatian diarahkan kepada nuansa dan detil, lukisan merupakan perpaduan dari warna dan cahaya.
Dalam dunia sastra impresionisme juga mempengaruhi beberapa pengarang, seperti Maupassant, Verlaine, Proust, Wilde, Rilke dan Gerakan 80. Tidak seluruh karya mereka bersifat impresionisme, hanya bagian-bagian, deskripsi-deskripsi yang merupakan rangkaian kesan inderawi, tanpa urutan logis atau alur. Kalimat-kalimat sering tidak utuh, yang pokok ialah menampilkan suasana. Nama untuk warna-warni diperbanyak. Beberapa tokoh Pujangga Baru juga memperlihatkan impresionisme dalam beberapa fragmen.


Informasi: Istilah ini berasal dari teknik telekomunikasi modern. Dalam ilmu sastra dioper istilah-istilah sebagai “informasi”, “entropi” dan “redundansi”. Yang dimaksudkan dengan informasi ialah derajat ketakterdugaan, unsur yang tak dapat diramalkan. Pengertian ini bersifat nisbi, karena untuk sebagian ditentukan oleh keadaan subjek yang menerima informasi dan cakrawala harapan kolektif. Tetapi, ada juga unsur objektif. Sesuatu tak dapat diramalkan; ini tergantung pada kode yang dipakai; jumlah informasi yang terkandung dalam sebuah tanda (kata, kalimat, bagian teks) berimbang balik dengan probabilitas (frekuensi) tanda itu dalam sebuah kode tertentu (sistem bahasa atau sistem sastra). Demikian kadar informasi yang terkandung dalam huruf X lebih banyak daripada kadar informasi dalam huruf e yang sering dipakai dalam sistem bahasa Indonesia.
Pengertian informasi dikaitkan dengan “entropi”, sebuah istilah yang berasal dari termodinamika. Yang dimaksudkan kadar ketakteraturan. Demikian misalnya entropi gas lebih besar daripada entropi benda beku. Entropi sebuah teks sebanding dengan ketidakteraturannya. Bila unsur-unsur sebuah teks lain, maka entropi teks itu rendah dan dengan demikian juga kadar informasinya. Dalam kasus terakhir ini dikatakan, bahwa teks itu banyak dedundansinya. Dalam teks itu ada unsur-unsur yang dapat dihapus saja, karena tidak mengandung sesuatu yang baru, sudah dapat diramalkan sebelumnya. Sampai tingkat tertentu redundansi memang perlu, supaya teks dapat dimengerti dan dapat dikomunikasikan.


Intentional fallacy : istilah ini berasal dari New Criticism. Kesalahan yang dibuat pembaca kalau bertanya mengenai maksud pengarang dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah teks.

Interlude: Musik yang dimainkan sewaktu istirahat sebagai selingan.

Intermezzo: adegan sisipan/selingan, atau opera jenaka yang pendek.

Interpretasi: dari kata latin “interpretatio” yang berarti penafsiran.
1. Pada umumnya sebuah analisis yang menerangkan sebuah teks menurut satu atau berbagai pendekatan (ideologis, perwujudan bahasa, kebenaran historis, dan sebagainya. Interpretasi seolah-olah menerjemahkan teks A menjadi teks B yang sepadan dengan membuat parafrase yang menerangkan, memaparkan ide-ide (“inilah yang dimaksudkan”). Juga cara seorang deklamator membawakan sebuah sajak, cara seorang musikus membawakan sebuah ciptaan musik (keras atau lembut misalnya).
2. Dalam sejarah kritik sastra, istilah ini khusus dipakai bagi analisis yang menerangkan dan mengartikan sebuah karya sebagai kesatuan antara bentuk dan isi. Dari satu pihak interpretasi mengakui otonomi sebuah karya, tetapi di lain pihak mengakui juga pentingnya kemampuan seorang kritikus berbakat untuk menghayati karya itu secara intuitif. Interpretasi berusaha untuk menunjukkan arti sebuah karya, entah sebagai intensi entah sebagai realisasi.
3. penelitian ‘resepsi’ melukiskan sebuah teks sebagai sebuah struktur terbuka yang baru memperoleh arti sesudah interaksi dengan pembaca. Pembaca mengkonkretkan sebuah teks, tetapi tidak setiap konkretisasi dapat disebut interpretasi. Realisasi spontan yang terjadi sesudah kontak pertama disebut ”resepsi”, tetapi di sini pun sudah terjadi semacam seleksi. Resepsi itu sering tidak memadai, bahkan melawan maksud teks, bila misalnya pembaca bersikap konsumtif belaka.
Interpretasi merupakan realisasi teks yang ilmiah dan metodis.


Intertekstualitas: 1. Sebuah istilah dalam penelitian sastra dewasa ini. Maksudnya, sebuah teks hendaknya ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain. Teks lain itu sering mendasari teks yang bersangkutan (lihat juga metateks). Pendekatan intertekstual (seperti misalnya dilakukan dalam studi sastra perbandingan dan sejarah sastra) hendaknya dibedakan dari pendekatan (intra) tekstual (yang terbatas pada teks yang bersangkutan sendiri, seperti misalnya dilakukan dalam kritik sastra) dan pendekatan kontekstual (menurut konteks masyarakat).
Dalam alam pikiran intertekstual yang diilhami oleh ide-ide M. Bakhtin, seorang filsuf Rusia, sebuah teks dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks lain (tradisi jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan). Dalam kerangka keseluruhan itu, teks yang bersangkutan memperoleh artinya sendiri. Sifat teks yang otonom dan yang tak dapat diulangi disangkal. Setiap teks berakar pada titik silang antara teks-teks lain. Teks yang bersangkutan merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan dst.
2. dalam semiotik istilah ini dipergunakan menurut arti yang lebih luas. Segala sesuatu yang melingkungi kita (kebudayaan, politik, dan sebagainya) dapat dianggap sebagai sebuah “teks”. Teks yang berbahasa ditempatkan di tengah-tengah “teks-teks” lain itu. Proses terjadinya sebuah teks diumpamakan dengan proses tenunan. Setiap arti ditenunkan ke dalam suatu pola arti lain. Teks merupakan sebuah simpul yang menunjukkan ke arah kode-kode kebudayaan yang berbeda-beda. Keseluruhan kode itu mewujudkan kebudayaan, menjadi tenunan (texture). Teks-teks sastra, musik, politik, ilmiah dan piktural bersama-sama mewujudkan tenunan yang disebut “kitab kebudayaan”.

Invokasi: seruan terhadap seorang dewa pada awal sebuah karya. Dalam puisi kakawin disebut “manggala”, tetapi istilah ini juga menunjukkan kepada dewa atau raja yang diharapkan memberi restu kepada penyair.

Ironi: dari kata Yunani “eironeia” yang berarti pura-pura tidak tahu. Gaya yang bersangkutan dengan kontras antara apa yang rupanya dikatakan (diperlihatkan atau samar-samar ditampilkan) dengan arti sesungguhnya sebuah ungkapan atau situasi. Ironi sering mempergunakan gaya hiperbola (melebih-lebihkan), litotes atau understatement atau pemutarbalikan (antifrasa). Supaya gaya penulisan ini berhasil maka ungkapan ybs. harus mengandung indikasi-indikasi yang menyadarkan pembaca, bahwa ia berhadapan dengan ungkapan ironis. Arti yang sesungguhnya dapat disimpulkan dari konteks, situasi wicara, nada atau mimik pembicara. Contoh, dalam dramaShakespeare, Julius Caesar, pidato Marcus Antonius mengulangi kalimat yang berbunyi “Brutus adalah seorang yang terhormat”. Dari konteks serta dari perubahan-perubahan kecil kita lalu menjadi maklum, bahwa ungkapan tsb harus ditafsirkan secara ironis, Brutus sama sekali tidak pantas kita hormati.
Dengan mempergunakan gaya ironi seorang penulis atau pembicara mencemoohkan bahan yang dibahasnya, sidang pembaca atau pendengar, atau dirinya sendiri. Yang terakhir ini tidak selalu disadari oleh pembicara sendiri, misalnya bila ia menjadi korban kepolosannya sendiri.
Dibedakan antara:
- Ironi ala Sokrates: dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang pura-pura polos, pembicara menelanjangi sikap ”sok tahu” atau sikap munafik seseorang yang teramat sadar diri.
- Ironi Romantik: dengan sengaja pengarang menulis dengan gaya ironis, sehingga menisbihkan ungkapan-ungkapan sendiri. Misalnya bila ia memberi komentar mengenai ceritanya sendiri.
- Ironi dramatis atau situasional; ironi tidak diungkapkan dengan kata-kata melainkan dengan perbuatan. Para penonton atau tokoh-tokoh lain tahu lebih banyak daripada apa yang diketahui oleh tokoh utama misalnya. Dalam Oedipus Sang Raja, pelaku utama memerintahkan, supaya dilacak si biang keladi yang mengakibatkan penyakit sampar di kota Thebe, padahal ia sendiri yang mengakibatkan penyakit itu.

Isotopi: keberkaitan semantik dalam sebuah teks, berdasarkan kategori-kategori arti yang umum, misalnya segala sesuatu yang hidup, dunia kehewanan, erotik, sosial, dan sebagainya. Bila sebagian teks membahas keadaan di rumah, maka bagian berikut jangan melompat, tetapi masih ada kaitan dengan bagian sebelumnya. Dalam sastra absurb, pedoman ini diabaikan.

Iteratif: istilah ini dipakai dalam penelitian modern mengenai susunan cerita, bagaimana hubungan antara peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita dan cara penyajiannya. Peristiwa yang sering terjadi dapat diceritakan satu kali saja dengan mempergunakan kata-kata seperti “tiap kali”, “sering”, “selalu”.



0 komentar:

Pemandu di Dunia Sastra, Karya Dick Hartoko dan B Rahmanto 1986 (I)