semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Dedikasi tak ternilai, Abdi Guru Suri di Lebani

Suatu petang di bulan November 2010 lalu, saya, Colleng, dan Hadi, serta dua pegawai dinas Bappeda Mamuju berangkat ke kaki pegunungan di Kecamatan Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat. Perjalanan memakan waktu lima jam, yang bermula di jantung kota, melewati deretan pemukiman petani cokelat, sawah-sawah yang menghampar, hingga masuk wilayah pendakian dimana rumah-rumah warga terbuat dari batang kayu dan papan. Di pendakian-pendakian ini, kami dapat melihat hutan yang masih perawan di lembah deretan pegunungan, dan bukit-bukit. Sesekali, panter kami menyeberang aliran sungai, lantaran jembatan kayunya sudah patah, bolong-bolong.

Tiba di Kalumpang, nama yang berasal dari pohon kalumpang, yang berdiri tegak di pinggir-pinggir sungai Karama. Panter langsung menepi di halaman rumah Pak desa yang terletak di dekat lapangan desa. Dengan lelah saya pun bersandar di sofa pak desa, sembari menikmati hangatnya teh buatan istrinya. Saat santai itu, tiba-tiba ada anjing keluyuran di dekat kami, baunya meradang hidungku. Tak ayal lagi, kami kaget campur takut. Tapi, pak desa senyum-senyum saja, sambil mengusir anjing itu keluar lewat pintu belakang. Sebentar-sebentar anjing itu nongol lagi dan diusir lagi. Maklum ada tamu datang!!

Kami menginap di rumah batu yang sudah terbilang istimewa jika dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya di kecamatan itu. Rumah batu di kecamatan ini pun bisa dihitung jari, sebagian besar hanya pegawai negeri saja. Penduduk-penduduk lainnya bekerja sebagai petani sawah, kebun cokelat. Pada malam itu, kami berbincang dengan pak desa dan teman-teman pegawai dinas Kab. Mamuju, dengan diterangi lampu listrik genset. Maklum, di kecamatan ini belum masuk listrik. Rumah-rumah warga hanya diterangi lilin, cuma sebagian kecil saja yang mampu menggunakan genset. Jam 12 malam, kami dipaksa tidur, lantaran genset sudah hendak dimatikan. Gelap merubungi, kami berbaring di atas karpet, menghadap ke layar tivi. Bayang-bayang anjing dalam benak kadang menghantui.. siapa tahu anjing datang ketika kami terlelap, lalu menjilati kaki-kaki kami.. hii..

Besoknya, kami siap bekerja. Tujuan kami ke kecematan ini yaitu untuk menangkap informasi tentang kemisikinan, pendidikan, kesehatan, gender, dan lingkungan daerah yang terbilang sangat sederhana ini. Saya dan kak Colleng bergerak ke Puncak Lebani, lokasi sebuah sekolah terdekat yang gurunya tinggal sebiji. Jaraknya enam kilo, menuju ke sana harus menggunakan sepeda motor besar jenis Honda. Kami menyewa motor seharga 60 ribu rupiah. Kak Colleng membonceng, soalnya dia lebih mahir menggunakan motor besar, saya dengan santai menikmati pemandangan di belakangnya.

Tantangan mulai datang saat menemui pendakian. Jalanan menuju ke puncak ternyata dipenuhi bebatuan seukuran kepala manusia serta sebagian yang lainnya seukuran kepalan tangan. Motor pun joget ke atas, menceng sana menceng sini, motor digas tinggi supaya dapat mendaki, tapi pantatku terbanting-banting ke belakang, tangan pegal menahan tubuh yang selalu ingin terbanting ke samping. Belum lagi ketika berhadapan dengan ranting pohon yang menjorok ke jalan, mukaku sesekali ditampar ranting dedaunan karena tak sempat mengelak. Satu jam kami melalui medan berat itu. Dan memang asli berat !!!!, bagaimana tidak, saya yang hanya dibonceng saja juga kelelahan, pegal-pegal.

Jalanan mulai datar, di puncak bukit terlihat berdiri kokoh gereja dengan arsitektur menawan. Jauh di pinggir-pinggir jalan juga sudah tampak beberapa rumah panggung. Kami lega melihat manusia yang berjalan sambil bongkok mengangkat kayu di pundaknya menyusuri tepi jalan. Beliau tersenyum.. melewati satu dua panggung, kami gembira melihat wajah penasaran warga, gadis-gadis remaja yang mengenakan sarung duduk santai di beranda rumah tingginya. Wajah mereka putih pucat, sedikit kemerahan. Rumah di sini jarang-jarang, pemandangan terbilang permai, lantaran tergurat keindahan pegunungan, pohon-pohon dipinggir rumah, rerumputan dan hewan ternak.

Di sebuah halaman rumah, di samping pohon kelapa, kami menemui penjual karpet yang kemarin juga ada di rumah pak Desa. Wah.. luar biasa tangguh pemuda ini, ia dapat membawa motornya naik mendaki jalan lebani seorang dengan tentengan seberat itu. Tapi, saya menyangsikan banyak warga yang sanggup membeli barang-barang skunder itu, soalnya, penduduk di sini, untuk makan saja susah apalagi mau membeli yang macam-macam.. saya amati saja sebentar, lalu berjalan kaki menanjak ke dataran tinggi, tempat sebuah bangunan sekolah berdiri.

Debu-debu berterbangan, belasan anak mengejar bola dengan saling sepak, dorong dan bertabrakan. Bola lari ke sana, mereka pada lari ke sana.. Tampaknya hanya satu dua anak yang paham tentang seni bola, yang setia menunggu di ujung gawang. Permainan bola di kampung ini bukan lagi soal seni, tapi soal kegembiraan dan kepuasan berlari-lari. Mungkin konsep bola dalam kepalanya berbeda dengan konsep bola di kepala kita. Bola sepertinya permainan tanpa aturan, yang penting masukkan ke gawang, disitulah kepuasan akan kemenangan. Tampak beberapa siswa perempuan turut mengejar bola, bahkan lebih terlihat agresif.

Sebagian siswa-siswa yang tergabung dari kelas satu hingga empat ini tak mengenakan sepatu. Debu-debu menyelimuti kaki-kaki mungilnya, pasir pun menempel di rambut yang tampak kekuning-kuningan, seperti warna bajunya yang tak lagi berwarna putih. Mereka berteriak-teriak, meminta bola dengan logat khas Toraja, kabupaten tetangganya di balik gunung. Pada pukul 10.00 itu, sembari bermain, anak-anak ini menunggu jam pulang sekolah, karena mereka sudah mendapat pelajaran bahasa jam pelajaran sebelumnya. Sekarang yang mendapatkan materi pelajaran adalah kelas 5-6. Di sekolah ini, mereka tak bisa mencicipi pelajaran mulai dari jam delapan sampai jam satu, seperti SD pada umumnya. Penyebab utamanya, karena minimnya guru yang hendak mengabdi di puncak Lebani ini. Bagaimana tidak, guru tetap di sini hanya seorang.

Namanya Suri (40), ia sibuk mengajar di ruang pojok depan itu. Sekolah ini hanya terdiri atas empat ruangan berdinding papan, tiga untuk ruang kelas, sebuah ruang guru sekaligus perpustakaan dan peralatan. Dalam ruangan kelas itu, tampak sepuluh murid yang merupakan gabungan kelas 5-6, duduk tenang menghadap ke papan tulis berkapur. Suara cempreng dengan logat Toraja mengalir dari mulut Suri, yang sementara mengajarkan ilmu hitung-hitungan. Suara itu mengalir hingga ke lembah-lembah bukit yang sunyi.

Murid yang hadir pada saat itu berjumlah sekitar 30 puluh orang. Sebagian besar merupakan anak petani kakao. Kalau dirata-ratakan masing-masing kelas berjumlah lima anak. Dimana jam pelajaran biasanya dibagi tiga, 1.5 jam pada pagi hari untuk kelas 1-2 yang digabung satu kelas, lalu untuk kelas 3-4, dan terakhir kelas 5-6 untuk jam pembelajaran terakhir. Meski tak banyak waktu dan ilmu yang bisa ditularkan, Suri tetap gembira atas semangat anak-anak, “di sekolah ini, anak-anak sangat antusias belajar, sayang waktu betul-betul tak cukup,” ujarnya. Namun, kalau ritmenya seperti itu, tentu waktu istirahat Suri pun tergerus, melempem dan tak tersisa.

Sekolah ini mulai dibangun sejak 1985, namun baru tahun 2010 itu dapat bantuan rehabilitasi berupa tiga bangunan baru lagi, yang saat itu masih tampak pondasinya. SD Lebani terletak lebih dari 500 meter di atas permukaan laut, satu-satunya sekolah dalam kegamangan penduduk yang bekerja di landang sawah dan kebun kakao. Suri yang menamatkan sarjana di kuliah terbuka Universitas Negeri Makassar (UNM) ini mulai mengabdi di Lebani sejak 13 Maret 2009. Belum lama saat itu, tapi perjuangannya sehari-hari begitu berat. Lantaran harus bolak-balik sekolah rumahnya di pusat kecamatan Kalumpang. Setiap hari, pukul 06.30, ia diantar oleh anaknya yang bersekolah di SMP Negeri 1 Kalumpang menggunakan sepeda motor. Artinya setiap hari ibu ini harus mendaki naik motor sepanjang enam kilomoeter melewati gumpalan batu-batu gunung seukuran kepala, seperti yang saya lalui tadi.. ooo.. beratnya.!!!

Suri adalah sosok guru yang tegar, bersembunyi di puncak bukit dengan senyum ramahnya, gelombang rambutnya, dan kacamata gagang merahnya. Ia ditinggal teman-teman gurunya yang sudah pensiun di sekolah itu pada Januari 2010 lalu, sebelumnya guru berjumlah tiga orang. “Di sini saya menjadi kepala sekolah, merangkap guru kelas satu sampai kelas enam, sekaligus menjadi bujang sekolah,” ucapnya lirih. Beban berat itu terasa ringan dengan keseriusan anak-anak belajar, ketigapuluh murid yang berasal dari lima dusun itu selalu datang ke sekolah, meski dengan baju lusuh, dan tanpa alas kaki.

Kekurangan tenaga pengajar menyebabkan materi hanya dapat diberikan satu mater saja perhari pertingkatnya. Sangat berbeda jauh dengan sekolah-sekolah lain di jantung-jantung kota, Sehingga kualitas murid-murid di kampung ini jauh lebih rendah. Meski begitu, saban tahun sekolah ini berhasil menamatkan lima sampai enam anak. Syukur ada yang lanjut ke sekolah menengah di pusat Kec. Kalumpang, sebagian lainnya tidak lanjut karena tak punya biaya dan harus membantu orang tua bekerja di ladang dan kebun cokelat.

Beruntung, pada Juli 2010 itu, Suri berhasil mengajak Murni untuk membantu mengajar. Murni tinggal sekitar 50 meter dari sekolah, dan cukup bisa menghitung dan membaca. “cukup sulit mencari guru bantu, karena masih kurang tamatan sekolah menengah di sini,” keluh Suri. Murni pun mendapat honor perbulan yang tak banyak, 200 ribu rupiah perbulannya. Sekolah ini pun memiliki sebuah cabang di Salubangang, bukit yang lain. Dikelolah oleh Yotam, staff guru yang sehari-hari mengajar di kelas satu hingga tiga di sekolah itu.

Realitas Bu Suri dengan sekolah Dasar Lebani jauh lebih rendah tarafnya dibanding sekolah milik Ikal di Belitung itu. Saya pikir, di daerah-daerah pedalaman, pesisir dan bukit-bukit terjal, masih banyak yang senasib dengan SD Lebani. Sebut saja SD Alpius di Desa Makaliki yang hanya memiliki dua guru, SD Petamunan, Malolo, Salulekke dan Maliuku. Sekolah-sekolah ini berada di kawasan Kalumpang. Kecamatan yang tak ada listrik, pertanian lambat, jalan terhambat, dan balita-balita yang banyak meninggal lantaran kurang Imunisasi dan kurang perawat. Beginilah realitas di Kalumpang, di Lebani. Syukur kita masih memiliki Ibu Suri, sosok guru teladan yang tak terlihat. Ia adalah cahaya yang bersembunyi diantara cahaya pegunungan.

Perjalanan balik ke Kec. Kalumpang tidak seberat waktu pergi, meski tangan masih sakit lantaran harus menguat, memegang erat-erat agar tak jatuh terhempas di batu atau malah tergeser ke jurang. Namun, teringat Bu Suri yang waktu pamit sampai-sampai ingin memberi duit 50 ribu. Mungkin ia mengira bahwa saya seperti wartawan lainnya, yang memeras narasumbernya untuk dipublikasikan di media umum. Tidak bu, saya bukan tipe seperti itu, justru saya lah yang meski berbagi di kampung ini.. cukuplah uang itu untuk biaya transport pulang-balik Kalumpang.

Medan berat, tapi seakan ringan dengan senyum Bu Suri.. Tak ada kata lain yang dapat ku ucap.. terimakasih Ibu Guru...

Terpikir untuk mengabadikan perjalananku di Puncak Lebani 2010 lalu.
Kelurahan Kayu Besar, Jakarta Barat, 23 Maret 2011



0 komentar:

Dedikasi tak ternilai, Abdi Guru Suri di Lebani