semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Puncak Monas, TIM, hingga Pesta PMKRI

Jumat malam, 21 Januari itu saya merenung-renung siapa lagi yang saya datangi besok, untuk mengisi hari sabtu ahad di akhir pekan kedua di Jakarta. Beberapa senior dan teman saya sms, menanyakan kesediaannya untuk didatangi, menit-menit berlalu, sms terbalas, seorang senior punya kesibukan lain besok, dan sms berikutnya dari senior yang dulunya aktivis intelektual dari Fak. Hukum Unhas bernama Fajrul Rahman Jurdi, alhamdulillah beliau mengiyakan. “Besok kita ketemu di Jakarta Pusat, Pasar Senen atau di Atrium Dam,” jawabnya.


Jakarta adalah negeri ketiga Fajrul, di samping makassar tempatnya menimba ilmu dan Kab. Bima kampung halamannya. Setamat dari Unhas, ia melalang buana di Jakarta, cukup lama juga hingga ia bergulat, sekitar dua tahunan, sampai-sampai Kak Fajrul berhasil diterima menjadi seorang staff Ahli anggota DPR Pusat. Sebuah prestasi bagi lulusan Unhas yang merantau ke Jakarta, memang kalau saya amati, anak-anak cerdas dari Makassar yang sebelumnya aktif mendialektikakan kampus, mencurahkan segala raga dan pikiran untuk kebaikan kampus dan nuansa akademisnya, entah berkecimpung sebagai kader HMI, KAMMI, atau pun IMM, ketika keluar kandang selalu mendapat prioritas. Apalagi tempat baru itu adalah Jakarta, tempat berkumpulnya segala bakat dan gen-gen cerdas, yang diculiknya dari daerah-daerah, termasuk Makassar. Di sini saya pernah mendengar nama Kak Boge, aktivis mahasiswa ekonomi yang sekolah di UI, juga menjadi staff ahli, Kak Nurhan Tabau yang seniornya HMI Perikanan Unhas, sembari menyelesaikan studi di IPB Bogor juga terlibat dalam dunia perpolitikan sebagai staff ahli DPD Sulbar.

Saya tidak melebih-lebihkan staff ahli yang berkecimpung sebagai intelektual politik ini, dimana kata “politik” negeri ini sering kali saya hinakan sendiri dalam diri. Persoalan benar salah dan baik buruknya itu tergantung personnya masing-masing, dan.. saya kenal beberapa dari mereka, saya berkesimpulan bahwa mereka tidak sekadar cari makan, tapi juga cari peluang untuk saling berbagi dengan kaum-kaum lemah kelak. Atau dengan menjadi seperti itu, mereka dapat belajar lebih dekat dengan para pengambil kebijakan, setidaknya teori-teori yang berbau idealisme mendapat arenanya untuk dieksplorasi, walaupun begitu sulit dipisahkan dari tarik-menarik realitas yang bernama kepentingan, keberpihakan yang identik dengan mengejar kekuasaan. Entah kedepannya mereka berpaling, itu urusan masa depan yang masih misteri, tentang yang misteri ini, Tuhanlah yang maha Tahu. Ya.. itulah dilemanya, sekali lagi, tak apalah berbangga terhadap teman yang bergabung dalam dirinya “kecerdasan dan idealisme”, kedua kata kunci inilah yang saya fikir dapat merubah haluan bangsa ini kelak, yaitu para pemuda-pemudi yang berfikir kritis, tajam dan tidak tergoda oleh nafsu ingin cepat kaya.

Kembali ke Kak Fajrul yang saya kenal telah menulis tujuh buku ini, yang berbau politik, hukum dan politik agama. Lama tak berbincang dengannya lagi, dulu ia sering menyambangi toko buku Papirus Pusdam Tamalanrea pada sore hari untuk melihat-lihat buku, di tempat itulah saya sering mendengar ocehannya dengan beberapa cecenguk lainnya. Mendengar nada bercanda, tapi diselubungi pesan-pesan serius. Tema-tema pembicaraan berbau politik, dimana ia sering mengkritik partai-partai yang berselubung agama. Makanya ia mengaku dimusuhi oleh sebuah partai yang berlambang kabbah dan sabit kuning, yang menjadi bulanan-bulanan ketus politiknya. Sebelumnya juga, ia sering menulis di koran kampus identitas Unhas, lembaga pers kampus yang pernah saya pimpin.

Sabtu pagi, 22 Januari saya siap-siap untuk berpetualang lagi. Pukul 09.00 saya berangkat dari gudang menuju perempatan cengkareng, menumpangi busway menuju Senen. Bulan November lalu saya ke Senen, bersama kakak kandung yang sudah dua tahun di Jakarta ini. Saat itu Halik mengajak ke Senen sesaat sebelum saya balik ke Bandara untuk ke Makassar. Ia tahu saya suka buku, maka diajak lah saya di toko-toko buku yang begitu melimpah itu. Buku tersusun rapi dalam lemari-lemari toko-toko buku yang letaknya di samping lampu merah, dekat bioskop, dekat jembatan layang. Jadi, ke makassar, selain membawa oleh-oleh beragam pakaian untuk keluarga, juga membawa pulang buku-buku, yaitu “Catatan Kang Jalal, Manusia Sunda-nya Ajip Rosidi, Catatan Seorang Demonstran-Soe Hok Gie, Fabel-febel Politik-nya-Kuntowijoyo.

Pukul 10.30, tiba di Senen, berjalan kaki menyusuri Mall Senen dan deretan penjaja pakaian di pinggir jalan Pasar Senen. Berkali-kali saya menghubungi kak Fajrul, tapi selalu tidak aktif. Saya terus jalan saja, hingga menemui terminal senen dan mendapatkan deretan penjaja buku baru dan bekas di sisi terminal. Saya hanya memandang menyisir sekilas, tak ada niat beli buku waktu itu. Saya shok melihat kesan memaksa penjual-penjual itu. “Cari buku apa Mas?” tegurnya dengan nada memaksa. “Cuma liat-liat bang,” kataku. ”bilang, nanti saya carikan”, ”emm... buku sastra ada Bang?” nyeleneh ku. Saya mengangkat sebuah karya klasik Buya Hamka, ‘Di Balik Lindungan Kabbah’ sembari menanyakan harganya. ”itu 25.000 Mas,” jawabnya. Saya menawar boleh sepuluh ribu bang, soalnya saya lihat merupakan bajakan dan kualitas kertasnya rendah. Eh, dia langsung menimpali, ”Harga 10 ribu itu harga buku anak SD Mas, kalo buku SD saya beri,” dengan nada tinggi mengejek. Saya begitu tersinggung, dan meninggalkannya pelan-pelan. Nuansa jajanan buku ini tidak mengenakkan, saya pun balik lagi untuk mencari pengisi perut, waktunya santap siang. Tempat makan yang terletak di pojok luar pasar Senen itu lumayan nyaman. Saya memesan nasi ikan bawal dan es jeruk, pas lah dengan rasa haus dan lapar pada terik siang hari.

Saya kembali mengontak kak Fajrul, akhirnya nyambung juga. “Dam, agak sore ya kita ketemunya, di Atrium,” katanya lewat telpon. Sehabis makan saya kembali lagi ke halte busway, menyusuri pinggir jalan yang berdebu. Terik kian menyengat, matahari sudah di atas kepala. Sesampai di halte, saya berfikir, dimana saya bisa menghabiskan waktu untuk menunggu sore hari. Satu-satunya alternatif yang ada di benak adalah Monas. Monumen ini sudah dua kali saya datangi, sebenarnya bosan juga, tapi Jakarta belum saya dalami seluk beluknya, jadi langkah taktis dalam kondisi begini adalah mendatangi ulang lokasi yang pernah disambangi, sembari mengenang-ngenang masa lalu.

September 2006 itu, saya pertama kali ke Jakarta, balik dari Medan dalam rangka Diklat Jurnalistik Lanjut. Tiba di Jakarta, saya, muhlis (identitas Unhas) dan seorang teman utusan Univ. Trisakti Jakarta bernama Adiet langsung ke Grogol, kampus Trisakti untuk istirahat malam hari itu. Senang rasanya kala itu, dapat istirahat di sekretariat KGB, majalah Pers Mahasiswa Trisakti. Dimana tengah malam harinya kami kelaparan dan terpaksa cari makan di luar kampus. Sehingga sempat makan bareng dengan mahasiswa-mahasiswa mabok di dekat warung. Kami berbincang seadanya. Berusaha untuk terlihat santai.. walau sebenarnya, hati diliputi was-was. Alhamdulillah, makan tengah malam itu tak ada pristiwa heboh.. kami pun istirahat malam pertama di sekret persma trisakti yang sempit. Pagi harinya kami bangun telat, sudah pukul 08.00, dimana sudah banyak mahasiswa yang nongkrong di koridor-koridor menuju kamar kecil untuk cuci muka. Waduh.. saat itu, terpaksa, kami keluar dengan muka bantal.. hehehe..

Esoknya, Anastasia, teman kami asal Universitas Lampung datang juga ke kota ini, ia meminjam mobil pamannya untuk berkeliling seharian di Jakarta. Beruntung, Adiet ternyata mahir menyetir, dannn.. kami pun berpetualang. Ya.. mobil melaju pertama ke kota tua di utara Jakarta Pusat, ke Museum Fatahillah. Di museum itu kami lebih kebanyakan main dibanding belajar seperti anak sekolahan mengunjungi situs sejarah. Saya dan Muhlis tak punya kamera, sehingga Anas-lah yang mengabadikan moment-moment itu, yang belum pernah saya lihat hasilnya. Kami berfoto di samping meriam, di dekat terali-terali kaki, penjara bawah tanah, dekat batu yang ada jejak kaki Mulawarman raja Tarumanegara. Baru dari museum fatahillah, kami menuju Monas..

Di Monumen dengan puncak tugu yang katanya berbalut emas ini kami bermain-main. Berlari mengusir burung-burung merpati, keliling-keliling museum Monas. Saya tak hafal gerak sejarah yang ada dalam replika dalam museum itu, tapi saya menikmati bentuk dan warnanya, kreativitas para pemahat yang membuatnya. Kami hendak ke puncak Monas, tapi harus bayar lagi, sementara uang di kantong waktu itu sudah sangat tipis.. jadi terpaksa kami urungkan niat. Begitulah Monas dalam bayanganku waktu 2006 itu. Hingga saya kembali lagi ke monumen ini pada Agustus 2007. Bersama 13 kawan Aquatic Study Club Makassar (ASCM) yang sudah lelah berpetualang menyusuri pulau Jawa-Bali. Jakarta adalah persinggahan terakhir waktu itu, yang sudah dibaluti momok dan perasaan boyak, kata lain kami sudah tak sabar hendak pulang. Apalagi saat itu melihat kondisi jakarta (Pasar Minggu) yang jorok, keriuhannya, dan kendaraan yang sibuk berlalu-lalang, membuat kepala ku saat itu pening. Dan di Monas inilah kami melingkar di atas rerumputan, pada suatu malam yang lembab, di halaman monumen ini kami merenungi kisah-kisah perjalanan yang telah ditempuh selama lebih 20 hari itu. Disertai isak tangis beberapa diantara kami, termasuk ketua kelompok yang bernama Irwansyah..

Ya, dua kali ke Monas, dan ini yang ketiga kalinya, tak ada Muhlis atau pun kawan-kawan ASCM. Saya berjalan sendiri di tengah hari. Mencoba untuk tersenyum sendiri di dalam bantin. Tak banyak yang berubah. Saya kembali menapaktilasi moseum Monas, yaitu replika dalam ruang berkaca di dinding-dinding, menyusuri satu persatu, seperti anak SD yang lagi menghafalkan sejarah.. tentu sejarah dalam di balik kaca ini sudah dikotakkan pula, oleh penguasa dalam rangka memperkuat citra dan hegemoni. Aneh juga berkeliling sendiri, ada kenikmatan berupa keterasingan itu sendiri. Tak ada dialog terbuka, tapi justru membuka dialog dengan diri sendiri. Dan memaksa kita menjadi pengamat, ya.. mengamati orang lain yang jalan berbarengan, bergandengan. Mengusir dialog diri itu, saya mencoba menelpon beberapa kawan, yakni Sasli dan Erni, alhamdulillah kami berbicara cukup lama.. ini mi yang mungkin disebut mencari kesibukan.. hehehe

Penasaran dengan puncak Monas, akhirnya niat yang terurung dulu saya lampiaskan. Namun, lantaran hari itu adalah hari Sabtu, dimana begitu banyak pengunjung yang datang, terpaksa saya harus ikut antrian yang cukup panjang. Kasihan juga melihat anak-anak SD dan TK juga ikut antrian di samping ku, yang memakan waktu hingga sejam, hanya sekadar untuk menyaksikan pusat jakarta dari ketinggian. Tubuh berdesakan, kaki melangkah bak siput, hingga sampai di pintu lif pun harus antri lagi. Bahkan dalam lift juga berdesakan.. huuuhh... setibanya di menara Monas, muka diterpa angin, cukup menghibur. Di menara ini terdapat empat penjuru yang menandakan empat arah mata angin, utara, barat, timur dan selatan. Suasana kota Jakarta dari ketinggian betul-betul dapat sarinya di sini. Masjid Istiqlal, gereja bergaya istana Prancis, gedung pramuka, gedung Pertamina, Gedung Perikanan, Mahkamah Konstitusi, dan banyak lagi gedung yang tak saya hafal namanya. Dalam tubuh dewasa saya, pikiran kekanak-kanakan muncul, walau saya tahan sekuat tenaga. Di samping sekumpulan anak-anak yang berkejar-kejaran dan saling berebutan teropong, saya menikmati sendiri terpaan angin itu, memuaskan mata mengamati lekuk Jakarta, keindahan arsitektur gedung-gedungnya, jalanannya yang di lintasi mobil seperti semut yang saling sapa dalam garis lintasan kerjanya, kereta api jurusan gambir yang melintasi jembatan gantung, panjang dan tampak seperti mainan anak-anak dan rel-relannya. Kuteliti pula gerik pelan orang-orang yang ada di taman Monas, yang sementara main layang-layang, yang bermain futsal, dan tukang foto yang mencari pelanggan.

Tak lama saya di puncak, sekitar 30 menit saja, lebih lama antrinya tadi. Kembali beranda monas, saya bingung membuang waktu dengan cara apa. Saya melihat beberapa ibu guru TK yang duduk-duduk di tangga beranda, tak jauh dari mereka saya pun duduk sendiri. Menepi diantara keramaian. Kembali lagi saya mengamati aktifitas orang-orang, sekadar menikmati dengan mengosongkan pikiran. Biarlah suasana itu masuk dengan leluasa, tanpa saringan sudut pandang. Seorang ayah tampak mengajar anaknya yang gemuk bermain layang-layang, anaknya capai dan melenggang ke ibunya. Tinggal ayah sendiri yang memainkan layang-layang itu, dengan begitu luwes, sabar, dan begitu dinikmati.. senang melihat keluarga bahagia itu..

Lama berselang, saya berinsiatif menelpon kawan Makassar, namanya Findra, perikanan 2005. Cukup panjang perbincangan kami, tentang pristiwa-peritiwa ‘kebetulan’ yang hadir dalam hidup yang singkat ini. Sesuatu yang datang menawarkan hal baru, yang memancing kita untuk mendalaminya lebih curam. Saat menelpon, sms Kak Fajrul masuk, katanya ia sudah berangkat dari Cakung, Jatim. Bersamaan dengan itu, Rony Sinagula, teman baru asal STF Driyarkara juga bersedia bertemu. Oke, kita ketemu di Atrium jam 4 sore. Saya bergegas ke halte Gambir, transit lagi di Harmoni hingga tiba di halte Senen. Menyeberang ke Mall Atrium, di beranda mall, berdirilah kak Fajrul mengamat-amati gelisah. Dari kejauhan saya melambaikan tangan, memanggilnya setelah berteriak..

Rony belum datang juga, kak Fajrul ajak ke Taman Ismail Marzuki (TIM), katanya disana kalau malam minggu banyak pentas-pentas seni budaya. Rony pun saya arahkan agar segera ke TIM saja. Ok katanya. Sore hari, kak Fajrul mengajak masuk di Cafe ........, nongkrong aja katanya.. pakaiannya necis saat itu, begitu pula busana-busana tamu lainnya. Yang agendanya seperti berkumpul santai. Pada pojok sana, terdapat tante-tante dan pemuda berambut gondrong sementara asyik berbincang, disertai cengengesan. Asap mengepul dari mulut-mulut mereka. Perempuan menghampiri paru baya itu pun bahkan bersandar pada pria gondrong tegar yang masih dibilang muda. Pada sudut lain, terdengar semampai derai tawa jeng-jeng, yang lagi nongkrong asyik di blok kursi khusus. Saya pikir, mereka-mereka ini adalah golongan jetset yang sementara melepas lelah, mengejar keinginan yang belum terlampiaskan, mumpung duit mereka masih menumpuk.. begitu mungkin ya..

Kami pun duduk tenang, saya lebih ‘ngaji’ di sini.. dalam artian menambah pemahaman tentang dinamika masyarakat kota, yang selalu diputarbalikkan, tergantung tempat, dan waktunya. Rony datang, rambutnya gimbal bergelombang ke atas, kulit matang. Tawanya renyah. Gayanya sangat berbau mahasiswa, kaus oblong, levis, dan tas punggung kecil. Ia mengeluarkan buku, “Gaya Berfilsafat Aristoteles” dari dalam tasnya. Wah.. betul-betul anak filsafat, kesini pun ia seperti pergi kuliah. Saya melirik-lirik sepintas, lalu menyimpan lagi ke dalam tasnya, “Nanti saya pinjam Ron,” kataku.

Bersama kak Fajrul kami merenungkan sepotong nasib bangsa ini. Satu poin yang saya simpan baik-baik, bahwa Indonesia masih punya kelebihan, yaitu kelebihan penduduk, berarti kelebihan talenta kelak. Tapi, talenta ini haruslah diarahkan sedini mungkin. Sementara negeri-negeri barat, banyak yang guncang memikirkan nasib masa depannya, karena pemuda-pemudanya kini sudah terpapar budaya pop, yang lebih mementingkan pergaulan dibanding kemajuan bangsa. Setidaknya, virus pergaualan asal-asalan itu, belum terlalu akut di negeri ini. Artinya, masih ada harapan. Seperti lilin-lilin kecil yang cahayanya menjadi penerang kelak. Perbincangan yang lain, seputar kabar diri, aktivitasnya sebagai bekas staff ahli, dan mengincar-incar anggota DPR lagi untuk dijadikan staff ahli. Sementara Rony banyak mengangkat tema penulisan sastra, karya-karya yang telah ia buat. Saya mendengarnya dengan saksama.. magrib menjelang, kami keluar cafe dan nongkrong di halaman TIM, dekat pintu gerbang. Ternyata banyak anak muda yang juga lalu lalang disekitar situ. “kesempatan untuk cuci mata ini Dam,” celoteh kak Fajrul..

Perut mulai meminta jatah, saya tahan sambil tersenyum. Angin malam pun semakin dingin. “Dam, lain waktu kita ketemu lagi nah, hati-hati di Jakarta,” kata kakak yang sementara menjalani studi S2 Hukum Unhas ini. Saya mengangguk, iya kak.. Malam ini saya menginap di kosan Roni di Matraman. Kosan yang kamar-kamarnya di isi oleh kawan sekampung Roni, mereka berasal dari NTT, tentu dari beragam sukunya pula. Dan, tengah malam, saya ikut rombongan Roni untuk merayakan Pesta Natal PMKRI Mahasiswa NTT Jakarta di gedung PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik RI) Cawang. Ajakan itu sungguh menggembirakan, ini kesempatan tak lazim untuk saling kenal mengenal sesama mahluk tuhan.. oke Ron.. “Asyik Dam, kita akan berdansa sampai pagi, hee”, tawanya berderai.. saya balas dengan tawa juga.. hahaha..

Jadi, malam itu, termasuk dalam malam berkesan. Diiringi lagu asal Nusa Tenggara Timur, puluhan mahasiswa menari dengan irama khas timur, hingga keringat mereka bercucuran.. saya sekadar minum kopi saja, sambil ‘mengaji’ di sana..

Jakarta Barat, 4 Maret 2011



0 komentar:

Puncak Monas, TIM, hingga Pesta PMKRI