Gejolak berpetualang kembali menggedor pintu hati pada Sabtu pagi itu, 29 Januari 2011. Pikiran kembali tersedot ke zona tak bertuan, untuk segera menentukan tujuan perjalanan dua hari ke depan. Dorongan ini berlandas pada ayat ‘demi waktu’, mumpung ada waktu luang di Sabtu-ahad, tak boleh saya sia-siakan begitu saja. Pikiran tiba-tiba tertuju ke Paramadina dan ICAS (Islamic Center Academic Studies), dua lembaga ini sering kali saya dengar waktu masih di Makassar dulu. Lembaga yang satunya mengusung tema pluralisme dan kebebasan bertindak dalam kerangka Islam, satunya lagi bernuansa kultur Islam Iranian.
Langsung saja saya mengontak kakak untuk menanyakan alamat Paramadina ini, tak lama kemudian ia memandu bahwa letaknya di jalan Gatot Subroto. Setelah beres-beres, kaki melangkah keluar dengan senyum terkembang, menikmati keriuhan pagi di Jalan Kapuk Kemal Raya, dimana udara yang mengandung karbon menghempas tubuh, bising kendaraan terdengar bak melodi Mozart. Pikiran tak lagi berkecamuk, tapi justru jiwa lah yang meradang. Meraba-meraba keterasingan dalam gudang, menandai gerak tawa pekerja yang selalu berbahasa Jawa. Sendiri dalam gerombolan mahluk asing. Ada tapi tak ada.. bergerak dalam diam.
Dalam busway, juga timbul hal serupa, keberadaan dalam ketiadaan, namun tetap dalam kondisi umum lantaran kami tak saling mengenal sejumput pun asal usul. Justru dalam keramaian tanpa identitas itu kita merasa ada, berdiri tegak untuk dengan tegar melampaui dunia dan zaman ini kelak. Ah.. bulshit dengan semua itu, keberadaan di dunia kerja ditentukan oleh karya dan kreativitas, ketakmampuan menembus komunikasi yang rumit juga bukan sepenuhnya kesalahan. Bukannya saya narsis dan melebihkan diri, tapi begitulah keadaan di sini, jiwa-jiwa yang lain terselubung rahasia yang tak menghendaki kehadiran sesuatu yang baru.. yang baru akan merusak tatanan, menambah beban kerja, menambah seorang yang akan membuat tangan tambah sibuk, keringat kian mengucur. Atau yang baru itu akan mengancam eksistensi diri, sebagai yang lama, yang mapan dan kuat. Padahal, bisa justru kebalikannya, yang baru memberi semangat dan energi baru, lebih memudahkan kerja, memunculkan ide-ide segar yang sebelumnya tidak terpikirkan, yang baru bisa saja memecahkan problem laten yang diidap perusahaan selama ini.
Dalam keramaian jalanan, kebebasan itu hadir, kecemasan melempem. Kepala plong dari ‘mumet’, bebas dari keluhan dan dengus ratapan. Tak tahulah, apakah saya termasuk orang yang ego dan hendak lari dari persoalan ? membiarkan laju kendaraan menghapus cemas, menguatkan jiwa untuk bertahan dalam keterasingan, mengembalikan kata semangat dalam kamus sehari-hari, agar telaten lagi saat balik dari perjalanan singkat ini. Kata Mbah Dedi, titih, telaten, teliti, adalah rumus untuk menemu, mencapai puncak. Tidak menyerah pada kondisi remeh temeh, tapi mengembalikan kondisi menjadi cair, lembut dan bersahabat.
Setelah berkali-kali transit halte, akhirnya tiba di depan Kampus Paramadina, lembaga yang kini dipimpin oleh Anies Baswedan, tokoh muda yang dielu-elukan lantaran langkah taktisnya mendirikan ”Indonesia Mengajar ”. bangunannya dari luar tampak seperti SMA elit. Gedungnya tak besar, Sederhana tapi bergensi. Di sini kita tak membicarakan bangunan fisik, cukuplah ketakjuban akan kemewahan bangunan pupus saat semester dua S1 saja, penghargaan lebih dituju pada kualitas pribadi-pribadi di dalamnya, dalam mengolah idealisme, kreativitas, dan kemampuan untuk melakukan perubahan sosial.
Sayang, Paramadina memasuki libur panjang, yang ada hanya pengurusan administrasi saja. Jadi orang yang lalu lalang bisa dihitung jari. Pun aroma yang menyeruak bukan bercitarasa kampus, tapi serasa perusahaan. Entah apa yang menyebabkan hidung batin saya merasakan hal itu. Di sebuah ruangan digelar seminar, namun pesertanya terbatas, dan mesti membayar uang sekian ratus rupiah.. pesertanya juga gagah dan cantik-cantik, menggunakan pakaian necis, kemeja harum dan bersepatu. Sementara waktu itu saya hanya mengenakan kaos oblong dan memakai sendal.. hehehe.. tak pantaslah gabung-gabung seronok begitu..
Sedikit kecewa dengan kampus mentereng itu, lahir dari ketakseimbangan antara pikiran dan kenyataan. Perasaan ini sementara saja, karena yang saya tangkap hanya sepotong realitas, masih banyak irisan-irisan realitas lain yang belum terbuka. Dan besar kemungkinan bahwa teori cocok dengan kenyataan. Semoga saja ide-ide yang diusung tentang kebebasan, keadilan dan pluralisme itu tercermin betul dalam langkah dan gerak laku mereka, tidak sekadar berbasa-basi di bibir saja.
Lelah menghampiri juga, tapi semangat tak patah sebegitu jua. Saya menghubungi Kak Supa, senior di Makassar, direktur iranian corner Unhas untuk meminta nomor kontak senior yang ada di ICAS. Sekejap ia mengontak balik nomor kak Nur, yang kini sudah menjadi dosen di pusat studi budaya persia itu. Dari Gatot Subroto saya bergerak ke Kampung Melayu, lalu mengambil angkot jurusan Pasar Minggu dan Pejaten. Perjalanan cukup jauh, memakan waktu hampir dua jam. Seharian ini waktu terperas di perjalanan. Dari pemberhentian satu ke pemberhentian lainnya. Tak lain sebagai upaya untuk mendalami pola hidup warga Jakarta, yang dibuntuti macet tiap harinya. Saya tak kesal dengan penyakit kota itu, karena mungkin masih baru, sehingga waktu tak begitu berharga di kendaraan, karena jiwa dan pikiran disibukkan dengan menghayati dan menikmati pemandangan baru, jalanan baru, gedung-gedung baru. Baru dalam artian ini adalah hal baru yang saya saksikan seumur hidup.
Angkot tiba di Pejaten, Jakarta Selatan. Alamat yang diberikan kak Nur masih samar. Informasi tambahannya hanya didekat gedung Republika. Supir pun menurunkan saya di pinggir jalan utama Pejaten, kemudian dari situ saya mencocok-cocokkan nomor alamat dengan alamat di sekitar tempat saya singgah. Ternyata nomor alamat di jalan ini sangat acak, nomor antar gedung yang bersebelahan kadang melompat-lompat. Sehingga saya pun berjalan lurus saja, sambil terus mengamati nomor gedung. Setelah berjalan sekitar sekiloan meter lebih, akhirnya gedung itu tampak di depan mata. Tampak depan, gedungnya mirip jejeran pertokoan bergaya mediterania.
Waktu sudah pukul 15.30 sore. Pada resepsionis saya mohon ketemu dengan Pak Nur, tak lama kak Nur muncul di bibir pintu lobi dalam. Kami bersalaman dan berbincang di ruang dosen. Saya memperkenalkan diri, dan menginformasikan orang-orang yang beliau kenal di kampus Unhas. “saya muridnya Pak Husnul kak, juniornya Kak Supa juga di identitas Unhas,” kataku. “Oh.. ya, beliau sehat-sehat kan? Lama tak mendengar kabar makassar lagi.. kehidupan jakarta begitu sumpek, rasanya saya ingin kembali ke makassar saja, Dam,” ungkapnya. Mukanya cerah, senyumnya ramah, walau tampak segan, dan saya merasakan keseganannya yang rasanya sama dengan kesegananku, tapi kesegenannnya bersahabat, keseganan Bugis..
Setelah memperkenalkan diri dan berbicara sedikit tentang aktivitas saya di Jakarta ini, saya minta ditunjukkan lokasi perpustakaannya. Setelah melepas alas kaki, saya masuk ke perpustakaan di lantai dua itu. Penghuninya beberapa pegawai, gadis yang masih muda-muda, menyapa dengan senyum manis dan logat Jawa-nya. Buku-buku tertata rapi, sesuai dengan wilayah temanya masing-masing. Sangat berbau filsafat dan teologi, tema lainnya adalah budaya, politik, tasawuf, perempuan, sastra. Tapi dominan bacaan filsafat, terkhusus lagi filsafat islam. Mata saya segarkan hanya dengan melihat judul-judulnya, waktu di Makassar, bulan-bulan terakhir sebelum ke sini, tema-tema inilah yang menghiasi hari-hari saya, bersama kawan-kawan di Papirus, Tamalanrea. Membicarakan konsep wujud, ketiadaan (nisbi), kebebasan, takdir, keteraturan, ketidakteraturan, pola gerak, dan hukum... berbicara begitu bebas, dengan menculik ide dari siapa saja pengarang yang pernah kita dengar dan baca bukunya. Entah itu dari negeri Prancis, Inggris, Jerman, Iran, ataupun pengarang besar dari Indonesia sendiri. Waktu itu, saya lebih banyak menyimak, lantaran belum juga terlalu lama mengenal tema-tema itu..
Saya mengambil sebuah buku, temanya tentang perjalanan Sekh Siti Jenar. Tak banyak halaman yang saya baca, lantaran waktu yang tipis. Namun saya merasa bahagia bisa ke tempat ini. Minimal, omongan orang tentang tempat ini sudah saya lihat dengan mata sendiri. Penasaran pun lenyap seketika. Jam 4 lewat, saya janjian dengan kakak untuk mengunjungi kakak sepupu di Bekasi. Saya mengakhiri membaca dan minta pamit ke Kak Nur. Saya berangkat lagi ke Stasiun Pasar Minggu, singgah istirahat sejenak sambil makan pangsit. Saat itu menelpon juga senior wartawan Metro tv asal makassar yang baru seminggu di Jakarta. Kataku saya hendak ke bekasi lagi kak, “wah.. jalan-jalan terus di’,” jawabnya. Hehee..
Hari sudah mendekati magrib, tubuh tiba-tiba meriang, mungkin karena kelelahan. Halik menginstruksikan untuk ketemu di depan stasiun Cikini saja. Oke, saya mengambil tiket kereta api ekonomi seharga dua ribu rupiah menuju Cikini.
Badan berdesakan dalam kereta, bergantungan di sela-sela penduduk Jakarta yang beragam. Ada bapak ibu yang lusuh, para pekerja kantoran yang perlente, pemuda-pemuda pekerja kasar, dan pedagang-pedagang asongan. Cikini adalah pemberhentian ke empat, setelah Tebet dan Manggarai, saya pun menghitung setiap pemberhentian dalam stasiun, karena pintu masuk kereta ini super cepat, jadi tak boleh kalah waktu untuk turun ke Stasiun Cikini nanti. Cukup setengah jam kereta tiba di Cikini, saya turun menyusuri penjual bunga dan kerajinan tangan.
Halik belum datang, saya menunggunya di sebuah kedai teh, sembari menyeruput teh susu. Lega rasanya, kelelahan sedikit menguap. Sms masuk, saya disuruh menunggu di depan KFC, dekat pompa bensin. Oke. Saya berjalan ke sana, dan nongkrong di depan warung lesehan yang luas. Perut pun mulai keroncongan lagi. Setengah jam saya duduk di bangku milik tukang parkir, yang malu-malu berdiri lantaran tempatnya saya pinjam sebentar. Tapi beliau sebentar-sebentar melangkah, mengarahkan mobil masuk di tempat parkiran. Tiba-tiba halik datang, kami naik ke gedung di belakang warung lesehan itu. Ternyata ruangan dalam gedung itu adalah sekretariat LSM kesehatan yang ditempati kakak kandung ku itu. Ia sekadar mengambil buku, yaitu tiga buku tokoh perjuangan Indonesia, Bung Hatta, Bung Sahrir, dan Tan Malaka. Triumvirat Minang yang menggores sejarah pergerakan Indonesia.
Kami berangkat mengendarai motor menuju Pondok Gede, lokasi Klinik Dr. UFA, tempat Halik sebelumnya bertugas. Singgah di lesehan pondok gede untuk santap malam. Pada menit-menit itu, sms teman kkn dari Makassar terus datang, capai juga membalas sms-nya. ‘Ia menawarkan dirinya’, pusing..!! ayam bakar di hadapan pun dilahap hingga tuntas. Halik menanyakan penghargaan kerjaku di gudang kepiting, kataku tidak seberapa, tapi cukup untuk uang makan bagi peneliti gadungan ini. Perbincangan itu berlanjut hingga di Pondok Gede, “Sedikit itu gajimu Dam, cost waktumu juga mesti dihitung,” katanya. Saya hanya menjawab, “iya, nanti kalo penelitian sudah menampakkan hasil, saya minta dinaikkan sedikit”. Kami hendak ke Bekasi mengunjungi kakak sepupu yang sudah bertahun-tahun kerja di Jakarta. Tapi ke Bekasi agak malam, lantaran kalau jam-jam delapan masih macet. Sambil menunggu jam sepuluh, saya istirahat di sofa tamu yang empuk. Tak ada mimpi, ternyata saya begitu kelelahan seharian di kendaraan. Tidur pun menjadi pelampiasan sesaat.
Pukul 10.00, kami melaju mengendarai motor, di pinggir jalan kami singgah untuk membeli helm. Cukup jauh juga. Masuk wilayah Bekasi ternyata kendaraan masih ramai, motor pun terdendak-sendak. Sementara mata saya masih terserang kantuk. Beberapa kali tubuh tersentak lantaran tersadar dari tidur kilat. Jam 11 malam kami akhirnya tiba, rumahnya terletak di sebuah kompleks yang saya lupa namanya. Maklum jalan tengah malam yang diliputi kantuk. Penghuni rumah membuka pintu, yaitu Oma yang masih terlihat ngantuk. Ia sendiri di rumah, yang lainnya dalam perjalanan pulang dari Bogor..
Alhamdulillah, kami disuguhi teh hangat oleh Oma yang berasal dari Bugis itu. Logat bugisnya masih tampak, walau ia berusaha berbincang ala Jakarta. Kami berbaring di kasur depan tivi, menyaksikan laga final fiala Asia antara Jepang dan Australia. Di Gudang saya jarang menonton tivi, maka saya puaskan dengan menonton pertandingan bergengsi ini. Untung Asia-lah yang menang, yakni Jepang. Australia kan cuma numpang, lantaran ia tak punya kawan dan lawan. Hehee..
Dini hari baru rombongan keluarga itu datang, kak Lina, suaminya, seorang istri yang lain dan dua orang anak. Terus terang saya masih tak tahu urutan keluarga ini, kak lina di posisi mana, apakah ia istri atau ... . saya tak mau menanyakan urusan lingkar keluarga. Enjoy aja, dapat dekat dengan keluarga di Jakarta. Mereka membawa banyak penganan, kami diminta untuk menyantapnya.. kue bolu pun saya sikat sebuah. Sehabis laga final, kami menonton film laga, bapak rumah tangga terlihat asyik menonton. Saya menemaninya berbincang, temanya lagi-lagi tentang pekerjaan saya, sesekali tentang kejanggalan kehidupan di Jakarta. Pukul 02.00 dini saya pun tertidur lelap di kamar depan.
Esoknya, kami bersantai lagi di ruang tamu, bersama anak-anak mereka yang masih kecil-kecil. Anak pertama masih gadis kelas 5 SD, tapi cerewetnya minta ampun.! Kata ibunya, ia selalu juara di kelasnya. Tengah hari, kami pun pamit, halik mengajak saya singgah di asrama mahasiswa kedokteran Unhas di Bekasi. Kami melenggang ke sana. Di asrama itu saya tak banyak ngomong, cuma asyik sendiri menonton film di tivi. Anak-anak kedokteran itu juga tak ada yang ajak diskusi, ya sudahlah..
Sore baru saya balik ke jakarta, menumpang Patas menuju arah Cawang. Dari situ naik Patas lagi menuju Grogol, lalu lanjut naik angkot 03 arah jembatan tiga lalu angkot 06 arah kapuk. Akhirnya tiba dengan sangat kelelahan, sekitar jam 11 malam.. selalu pulang jam-jam segitu. Di Jakarta ini, waktu dihabiskan dalam kendaraan.. menikmati suasana kota, keramaian, aura kesibukan, stress atau semacamnyalah.. tapi saya, enjoy aja lagi.. hee
Kontrakanku, 19 Maret 2011
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar