1 minggu yang lalu
Perbedaan
Siapakah yang dapat menebak kemunculan perbedaan? Ketika yang berbeda sudah dianggap jijik, ketika yang ‘lain’ dicap sebagai nila yang merusak susu sebelanga, ataukah sebagai racun ular berbisa. Soal ini tampak begitu ruwet dan meluber ke rongga hati, menyesakkan. Nafas seakan berhenti ketika menyaksikan ada orang yang menghakimi tanpa dasar hukum negara, sementara yang di hakimi tak tahu kenapa mesti diburu.. akhir cerita, mereka mengalah, rela dan menyingkir, karena sudah tak yakin, apakah negara akan memberi perlindungan? Apakah orang-orang yang bermuka seram ini akan mengerti perbedaan?
Mungkin, perbedaan yang tipis itulah yang mengancam, yang menusuk-nusuk seperti belati ke ulu hati persatuan. Lantaran begitu tipis, sesuatu yang terang bisa menjadi kabur, lalu berakhir gelap (kafir). Namun, Itu satu persepsi, dimana terdapat persepsi lain dan mungkin melintas batas kekuasaan, semacam kenapa hal itu tidak dijadikan bahan untuk saling tukar perasaan, sembari mencari kebijaksanaan dari tiap-tiap perbedaan, bukan menjadi sebuah momok yang menakutkan dan menebar teror!! Namun sayang, anggapan ideal ini menjadi lengkingan sumbang di antara gertakan mayoritas. Sekadar terselip dalam kolom media, dalam suara-suara pemuka, atau dalam celetukan-celetukan mahasiswa..
Kenapa perbedaan berakibat teror? Apakah yang berbeda itu yang meneror ataukah yang merasa tersakiti oleh yang beda itulah yang menerror? Kita tak tahu betul.. peneror dan yang diterror sudah tak jelas lagi. Yang kelihatan benar adalah ada teror besar dan ada teror kecil. Mungkin, si pelaku beda itulah yang melakukan teror besar, yakni “teror pemikiran”, “teror Keyakinan”. Sedangkan, lempar batu, bakar rumah yang merupakan perwakilan mayoritas hanyalah teror kecil. Memang, dalam dunia yang bising ini, sesuatu yang besar kadang dianggap kecil, dan yang kecil dianggap besar. orang pada semau-mau ‘gue’, melontarkan pemikiran, melakukan pemojokkan. Sementara yang lain sudah bosan dengan pekik, jenuh dengan getar, mending mengurusi arus masuk barang, urus istri simpanan, urus anak-anak yang besok minta jalan-jalan..
Kita tak mengerti betul kenapa bisa muncul gerakan pengusiran, yang terjadi tiba-tiba, Menggebrak seperti angin puting beliung. Mungkin dulunya tak terjadi apa-apa, bahkan masyarakat setempat sangat rukun antar tetangga. Namun, siapa yang menyangka bahwa di suatu tempat telah berkumpul lelaki bersongkok, memakai selempang, dengan semangat menyeru-nyeru nama tuhan, lalu tiba dengan wajah garang, sontak mengajak berkelahi, kalau bukan dibilang mengeroyok.. lucunya, manusia-manusia ini tak jelas dipungut dari mana, dari pesantren mana, dari kolong jalan layang mana?
Pun, kita tak tahu apakah mereka mengerti betul tentang seruannya, tentang niatnya, tentang lontarannya? Yang kita mengerti bahwa di sana terdapat nasi kotak, air aqua yang dengan cepat dibagikan, dan mungkin juga uang bensin untuk beberapa hari. Hilang sudah hilang, ikatan, nilai lenyap sudah. Antara keyakinan dan kebutuhan menjadi absurb, ‘ya’ dan ‘tidak’ menyatu, dan saya tak tahu kenapa. Kenapa orang dengan gampang dihasut? kenapa orang dengan mudah berwajah garang? Toh itu bukan kepentingannya, yang dibelanya pun tak betul-betul ia pahami..
Tampaknya, sekarang, Kata bang Iwan Fals “sudah tak perlu ada rasa sedih, tak perlu ada rasa gelisah.. toh kehidupan begitulah adanya, Hadapi saja”, “Relakan yang terjadi, tak akan kembali”.. dunia ini bukan milik kita.. Lantas, adakah kata menyerah, adakah kata pasrah.. teruntuk pada mereka yang teraniaya, yang rumahnya di bakar itu, yang anaknya sudah ketakutan itu..?
Mereka ingin melawan, protes akan kesewenang-wenangan, tapi, di negeri yang mendewakan mayoritas ini, negeri yang dasar hukumnya jelas namun tak pasti ini, apakah itu mungkin??
Cengkareng Timur,
31 Mei 2011/Hari anti tembakau Dunia
0 komentar:
Posting Komentar