semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Gadis Gila

Subuh hari, Mardi membuka pintu kontrakannya, debu-debu melekat di beranda lantai keramik, udara sejuk berhamburan masuk ke dalam kamar, sementara uap panas berputar keluar. Betapa kagetnya ia saat melihat ada orang yang menempel di ujung terasnya, berselimutkan kain sarung. Mardi mendekatinya, dan mengintip, kepala orang asing itu gundul, keningnya kotor, sepotong wajahnya tertutup sarung.

Ia masuk lagi ke kamar dan berleyeh-leyeh, menyalakan radio, memanaskan air dalam galon, dan bersiap pergi kerja. Setelah mandi dan berpakaian rapi, dari luar kamar ia mendengar percakapan. Beberapa ibu-ibu terlihat iba terhadap orang asing itu.

“belum bangun orang gila ini, kasihan.. semalam ia mutar-mutar berteriak, mencari aa’-nya, Bu”, ujar ibu yang menggendong bayi.

“Ia Bu, mungkin dia kelelahan berteriak. Dia gila barangkali gara-gara ditinggal pacarnya, kasihan.. umurnya masih muda, tapi dia sudah bertingkah seperti ini.. hemm... nasib-nasib,” kata ibu yang lain.

Anak-anak pun turut memantau, ada yang menggunakan sepeda roda dua, ada juga sepeda roda tiga yang tentu anak balita. Mereka bolak-balik, mutar-mutar gang dan ketika melewati tempat orang gila itu tidur, mereka mengintip.. sembari berteriak-teriak riang.. “Duh aduh, Aa’”, mengolok-ngolok.

Mardi keluar kamar dan ia harus bergegas, tak ada waktu untuk menengok orang aneh itu. Yang ia tahu, bahwa orang itu adalah orang gila, dan mungkin sebentar sore sudah hilang. Dalam langkah cepatnya itu, ia justru terbayang kekasihnya di kampung, yang sudah lama tidak dikabarinya. Ia takut dan betul-betul takut, karena di kota yang ganas ini ia tak menjadi apa-apa. ia Hanya menjadi tunggangan perusahaan, menjadi mesin untuk menggerakkan mesin yang hampir otomatis. Penghasilannya pun hanya untuk makan, transportasi, sekali-kali hiburan keliling kota. Tak ada sisa untuk tabungan. Di kota ini, Mardi merasa bahwa hidup itu hanya untuk mengisi perut.

Sebentar-sebentar imajinasinya berbiak lagi. Bukankah dulu ia sudah berjanji untuk pulang jika sudah setahun? Pulang dengan membawa uang banyak untuk meminang kekasihnya. “Tapi, sanggupkah Asih menunggu?” tanyanya sendiri. Sekarang sudah lebih dua tahun, tapi uang tidak cukup-cukup. Tenaganya tak cukup mampu mengimbangi arus deras perputaran uang di kota ini. Gajinya di bawah Upah minimum, harga kontrakannya sudah sepertiga gajinya. Makanan, lebih dahsyat lagi. Ia tak bisa sering-sering makan asal-asalan di warung-warung pinggir jalan. Penyakit maagnya sering kambuh, belum lagi penyakit diare. Sehingga ia harus makan di warung yang agak bersih, dan biasanya harganya lebih mahal. Boleh dikata manja, tapi tidak juga. Kesehatan adalah segalanya. Kalau badannya sakit, tentu uang tidak akan mengalir lagi kan?

Pabrik tempat kerjanya sudah dekat, Mardi mempercepat langkahnya. Dalam pabrik, ia bekerja seperti biasa, menggerak-gerakkan mesin pemanas untuk mencetak plastik. Ia istirahat setiap satu jam, untuk minum kopi atau merokok. Setelah itu melanjutkan lagi pekerjaan yang melelahkan tangan itu. Tangannya bergerak lincah, otot-otot yang sebelumnya datang ke kota ini berguna untuk mencangkul berganti fungsi untuk memutar mesin. Namun, hari ini Mardi terlihat murung dan pendiam. Teman di sebelahnya lalu menegur:

“Lagi kurang sehat yah Mas..? istirahat saja dulu, nanti saya ngomong sama mandor..!” tegurnya.

“Sehat bang, cuman lagi pusing saja, pikiranku lagi dikocok-kocok oleh kenangan di kampung..”

“hehehehe... lagi pikirkan anak gadis orang ya Mas?”

“hehe.. abang tahu aja.. sekarang saya berpikir, apa jadinya kalau saya tidak memutuskan ke kota ini dua tahun lalu. mungkin, kehidupan saya akan lain. Saya akan meminangnya Bang.! Saya akan mengolah sawah bapak mertuaku yang mungkin cukup untuk kami berdua.. tapi, tapi sudahlah.. saya tak bisa melawan takdir.. dan saya sudah malu pulang dengan kondisi seperti ini,” ucap Mardi resah.

“Yo wess.. semoga tuhan mendengar keluhanmu anak muda. Memang, aneh juga kalau memikirkan semua ini. Apakah kita ini sudah betul-betul gila? Kemerdekaan kita di kampung dulu, yang damai itu, kita jual hanya untuk menyegarkan mata kita dengan pesona gedung-gedung tinggi. Beginilah nasib kita yang tidak berpendidikan, pilihan kita terbatas di kota ini. Justru, bagi kita, yang ada hanya kesempatan untuk menjadi buruh.. dan bagi sebagian orang, itu sudah mewah bung..”

“Iya bang.. sepertinya hidup saya akan habis di rutinitas pabrik seperti ini. hemm.. apakah ini yang disebut hidup? Mungkin.., inilah hidup, saya tak dapat mengelak”.

“Menurutku, itu kuncinya Mas, hidup ini harus disyukuri. Kita masih beruntung. Masih terhormat karena memiliki kerja. Banyak di bawah kita yang terlunta-lunta mengemis, mengais-ngais sampah. Kehidupan mereka lebih jorok Mas”..

Mardi mengangguk melanjutkan kerja. Iya menghias harinya dengan membayangkan wajah Asih, yang sering dilumuri senyum. Iya, tak ingin waktu dan kelelahan ini menghapus kenangannya itu. Begitu kejam dunia ini jika kenangan pun hendak ia lenyapkan. Dari pagi hingga sore hari, dalam kesibukan tangannya yang sudah seperti mesin itu, pikirannya justru semakin sibuk untuk mengingat, dari episode ke episode. Juga impian-impiannya yang sudah terkubur, tentang keinginannya untuk pulang segera dan membawa uang. Pikirannya yang sibuk itulah mungkin yang membuatnya tegar, untuk terus bertahan memutar-mutar mesin.

Mardi menyelesaikan tugasnya seperti biasa, ia pun berpamitan dan keluar pulang bersama ratusan buruh pabrik lain. Hari sudah magrib. Kendaraan tersendat oleh buruh-buruh yang menyeberang jalan. Ia melangkah gontai, menyapa kawan-kawannya yang bergerak berlawan arah. Mardi singgah di pinggir jalan, membeli sebungkus rokok, memesan nasi ayam dua bungkus. Mardi berpikir, siapa tahu orang gila itu masih di terasnya. Dan mungkin belum makan.

“Oh Asih.. apakah kamu masih mengingatku... mengingat akangmu yang hampir gila memikirkanmu ini..” Mardi menumpahkan lagi rindunya dengan kenangan senyum di pematang sawah itu. Batu-batu kecil ia hempaskan ke parit sembari tertawa-tawa kecil, membayangkan wajah lucu Asih..

Tiba di teras kontrakan, ia melihat gadis gila itu bersandar menyamping di dinding kamarnya. Ia iba dan ingin berbagi rasa kenyang. Mardi mendekatinya dari samping, lalu menyapanya: “sudah makan belom... nih nasi ayam”.. gadis itu berbalik, mukanya yang penuh debu itu berubah merah.. bola matanya berkilau.. iya menghempaskan nasi bungkus itu, memegang tangan Mardi erat. Iya tertawa senang, entah apa..

Melihat senyum bercampur tawa dengan gigi yang sudah menguning itu.. Mardi kaget, terkejut. Iya menyentak tangan gadis gila itu lalu terbata-bata menghindar.. mukanya pucat. Ia berlari dan berlari jauh..

Orang gila ini juga berlari mengejar namun tersendak-sendak, ia berteriak memanggil, suaranya keras mengalahkan bising-bising kendaraan.. “duh aduh aa’... .duh aduh aa !’..” ia pun menangis histeris. ”Akangg.. saya tidak gila, saya mencarimu akang.. lama ku menunggumu akangg.. kamu lama tidak pulang akang.. saya mencintaimu akang.. saya tidak gila.. orang-orang di kota inilah yang gila akangg.... saya gila hanya untuk numpang makan.. untuk mencarimu akang..” iya terus berteriak.. “duh aduh aa...’’..

Dengan kebingungan, Mardi terus menjauh, bajunya basah oleh keringat. Dalam desahannya ia terus mengumpat, “aneh.. gila! Asih gila.. oh.. gusti.. ternyata penantian bisa lebih menyedihkan..”

Sabtu, 14 Mei 2011



0 komentar:

Gadis Gila