1 minggu yang lalu
Mau dibawa Kemana?
Adakalanya kita mesti menengok ke belakang, ketika kondisi masih begitu genting, ketika kaki masih belum tegak berdiri di tanah sendiri. Saat itu, perang begitu merongrong, memaksa para pendahulu menumpahkan darah tanpa ada tendensi material, membuat para pemimpin hidup dengan urat syaraf kencang setiap hari, dengan makan yang tak enak dan tidur tak nyenyak. Hingga tiba pada detik-detik menggembirakan, serentak bangsa kita merayakan sebuah bentuk fisik dari kata abstrak nan menggugah, yang disebut “kemerdekaan”. Istilah inilah yang kita pertahankan, dengan melewati masa-masa sulit seperti agresi militer, pembrontakan-pembrontakan, gonta-ganti parlemen, hingga pengalihan kekuasaan yang boleh dikata sangat “kasar”.
Pada sebuah moment, para perumus berkumpul untuk merembukkan dasar negara, yang kini masih dikenal dengan sebutan Pancasila. Bung Karno, tokoh eksentrik nan jenius itu dengan suara lantang menderet dasar negara, yang berangkat dari persatuan, kemanusiaan universal, demokrasi, keadilan sosial, dan ditutup dengan ketuhanan. Tapi, Kenapa Bung Karno memulainya dari Persatuan? Yang kemudian beralih menjadi ketuhanan. Kita kemudian tahu apa yang ada di benak Sukarno, bahwa Indonesia adalah negara bangsa, bukan negara tuhan. Indonesia tersusun dari ribuan pulau, ratusan suku dan bahasa. begitulah jiwa Bapak asal Blitar itu, yang selalu mengedepankan nasionalisme, bahwa untuk memulai sesuatu kita harus bersatu dulu, bermusyawarah dulu. Dengan bersatu, kita dengan mudah mengusir penjajah, lalu menegakkan ekonomi. “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” gertaknya.
Toh, tak lama setelah itu, Soekarno legowo dengan perubahan fundamental menjadi “KETUHANAN YANG MAHA ESA” itu, ia tidak ngotot, walau tetap bergelora. Ia mengerti bahwa Islam juga turut berperan besar mengusir penjajah, Ia paham bahwa Islam sudah jati diri Indonesia, antara Indonesia dan Islam sudah melebur, sulit dikategorikan lagi. Begitulah cara pemimpin-pemimpin kita bertarung dalam meja perumusan. Selalu mencari yang terbaik, menemukan titik tengah yang mengarah pada persatuan, bersama-sama, gotong royong. Walau perkembangan berikutnya, retak-retak juga, dimana perang dingin berlangsung antara kaum kiri dan kanan, antara pemuda dan orang-orang tua, antara hijau loreng dan merah menyala. Perjalanan sebuah bangsa bukanlah seperti isian Teka teki silang yang jawabannya selalu muncul pada edisi pekan depan!!
Dari sini kita sadar, bahwa Indonesia dibangun dari keluwesan berpikir para pemimpin, saling menghargai pendapat masing-masing hingga betul-betul menemukan benang merah yang tepat, bukan dari gontok-gontokan, debat kusir, lempar kursi, dengan wajah muram bernama demokrasi yang kita kenal sekarang. Demokrasi kita kini mungkin sekadar menjadi sapi perah, tunggangan untuk merebut posisi, melakukan manuver politik, seraya berkacak pinggang.
Demokrasi yang muncul semakin tidak bertujuan, tak ada tahapan, tak punya indikator. Kita sulit melacak gerak perubahan yang telah dihasilkan. Sepertinya, selalu kembali pada titik Nol. Kita selalu mendapat angka merah setiap raport dibagikan. Demokrasi tak beda jauh dengan kondisi ekonomi kita, yang tidak jelas mau kemana. Mungkin, Soekarno dulu sudah merumuskan dengan blue print yang jelas, bahwa ekonomi berdasar pada kerakyatan, yang berangkat dari persatuan, nasionalisme, keadilan social, walau pada awalnya terseok-seok digempur neoliberalisme. Namun, rezim berganti, fundamental ekonomi pun bergeser 180 derajat sejak saman Soeharto, menuju ekonomi pasar. Zaman Reformasi lebih dahsyat lagi, dengan pelaku ekonomi yang dengan bebas mengobrak abrik pasar, kebutuhan domestic kian dikuasai oleh barang-barang impor, pun dengan para birokrat yang tidak malu-malu melakukan korupsi. Harga sembako turut meningkat, inflasi terus-terusan terjadi.. rakyat kecil kian tercekik.. tak ada penyelesaian.. kata orang, mending kembali ke zaman Soeharto, dimana ekonomi lebih stabil.. Apa yang harus dilakukan..?
Yang hadir adalah sebuah pentas, dimana para aktor dengan ciamiknya memainkan perannya masing-masing, ada yang menjadi pahlawan, penjahat dan ada sebagai korban. Sementara rakyat dengan asyiknya menggeleng-geleng kepala menyaksikan tontonan itu, yang sebentar-sebentar berganti episode, yang tampaknya tidak selesai-selesai. Setiap cerita bergulir, seringkali ditutup dengan penyelesaian hipokrit, melambung begitu saja. Dimana sang pahlawan tidak pernah betul-betul menjerumuskan si penjahat. Toh, para penonton terlihat santai saja, tak ada riak, mungkin cuma mendengus, “Ah, gini lagi-gini lagi.. kok koruptor itu tidak di bunuh saja, payah !!”.. sembari tertawa nyengir. Episode berganti, ingatan pun turut berganti. Kita tiba-tiba lupa peristiwa besar sebelumnya.. Gayus menghilang, dan dengan cepat digantikan perannya oleh Nasaruddin !! hehe..
Apakah yang ingin dicapai negeri ini? sulit menemukan jawabannya, dan terus terang saya tak tahu. Mungkin jawabannya ada pada dasar negara yang gemilang itu, lalu dijabarkan lewat undang-undang. tapi, adakah para wakil kita mengerti hal itu? dimana kita sering dikagetkan oleh keinginan mereka, yang sebentar-sebentar minta gedung, sebentar-sebentar minta jalan-jalan ke luar negeri. Kita pun tak mengerti kenapa negara begitu sulit memanggil si Nunun yang amnesia itu, si Nasaruddin yang tiba-tiba melancong itu.. negara ini seperti disetir oleh supir taksi yang culas, kita tak langsung diantar ke tujuan, tapi diajak berkeliling-keliling dulu untuk meningkatkan angka argo.. namun, parahnya, kita tak pernah betul-betul sampai ke tujuan.. malah kita pun tak tahu, negara ini mau dibawa kemana?
Para pemimpin kita dulu sudah sepakat bahwa sila pertama dasar negara kita adalah Ketuhanan.. tapi mungkinkah tuhan akan memberi jawab? Adakah tuhan berkenan turut campur dalam persoalan pelik ini ??
Selasa, 14 Juni 2011
Cengkareng Timur
0 komentar:
Posting Komentar