1 minggu yang lalu
Mak Ijah dan Kesunyiannya
Mak Ijah duduk manis di beranda, pada sebuah kursi rotan. Matanya menerawang satu-satu setiap orang yang lewat pada gang di depan rumahnya. Orang-orang itu sebagian besar sudah ia kenali, lantaran sudah terlalu sering dilihatnya saban pagi. Sesekali ia melirik kucing yang keluar masuk rumah, tikus got yang sibuk mencari roti basi di bak sampah, lalu kumbang yang berputar-putar di antara bunga-bunga asoka. Bosan dengan itu, ia memindahkan pandangannya pada burung-burung yang bertengger di kabel listrik. Ia gembira mendengar suara burung-burung itu, yang mencericit.
Mulutnya diam, sudah lama Mak Ijah tak banyak omong. Kalau berucap sekenanya saja. Itu pun kalau ia ingin meminta bantuan, misalnya memindahkan kursi atau mengangkat barang-barang. Menurutnya, mengeluarkan kata sudah tidak ada gunanya lagi. Kata-kata adalah racun bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya. Umurnya juga sudah terlampau tua, 75 tahun, dan berbicara dengan anak-anak jaman sekarang, sama halnya membuang-buang energi.
Mak Ijah duduk diam hingga tengah hari, jemarinya bergerak-gerak pada sandaran kursi, mungkin nenek yang tiap hari mengenakan daster itu berusaha menghayalkan lagu era 70-an, dengan Ebiet G Ade sebagai penyanyinya. Mengenang era itu berarti mengenang masa kejayaannya. Ia menggiringi bisnis suaminya dalam pengiriman ekspor kepiting ke negari Cina dan Jepang. Setiap hari ia membereskan data keuangan yang deras keluar masuk. Memang, di situlah keahliannya sebagai alumni studi akuntansi pada masa belajarnya dulu. Sementara suaminya sibuk bergerak ke sana kemari, membangun jaringan dengan para pemasok kepiting dari daerah, para pengusaha lain dan juga pada pasar, para pelanggan. Hingga mendekati satu dekade, perusahaannya itu sudah menempati posisi tertinggi dalam bidang ekspor kepiting. Dan di situlah mulai timbul petaka..
Mak Ijah menutup mata, lama duduk membuatnya mengantuk. Tengah hari itu, cucunya yang paling kecil bernama Susi membawakannya teh hangat. Dengan cucu, tentu nenek akan buka suara, siapakah nenek yang tega membisu terhadap cucu? “Nek, minum teh nek.. ini buatan Susi, gulanya sudah saya kurangi.. coba ya nek”.. “Aduh.. cucuku sayang,, terimakasih ya.. senang nenek dibuatkan teh sama kamu”.. tiba-tiba ibu sang anak datang, “Susi.. jangan ganggu nenek, liat dia mau istirahat.. ayo masuk belajar..” Susi tak langsung masuk ke rumah, ia mengecup punggung tangan Mak Ijah.. “Minum tehnya Nek”.. Mak Ijah memandang cucunya dengan haru, namun tiba-tiba saja di dalam hatinya yang muncul pelan-pelan gemuruh, gelombang amarah. Perasaan ini ingin ia tampik, tapi tak bisa. Perasaan yang sudah tertanam demikian lama, sejak suaminya tiada dan semuanya menjadi seperti barang pecah belah.
Dua puluh lima tahun lalu, suaminya yang lagi naik daun itu, tiba-tiba kecelakaan. Semua anggota keluarga dan karyawan perusahaan tersentak. Sehari setelah kecelakaan, suami tercinta pun wafat, namun tanpa meninggalkan wasiat. Mak Ijah betul-betul terpukul, lelaki yang ia sayangi, yang ia banggakan sudah tak ada lagi. Sepekan berlalu, perasaan sedih itu masih penuh mengisi jiwanya. Perusahaan untuk sementara dalam keadaan lesu. Semua ikut berkabung. Rekanan di luar negeri pun turut berbelasungkawa atas perginya Bapak Kamal (almarhum/50), mereka mengerti keadaan sehingga dengan Mak Ijah mereka berkomitmen akan tetap menjalin kerjasama.
Tenggelam dalam kesedihan, Mak Ijah tak tahu kalau di belakangnya terjadi pertengkaran dingin, oleh anak-anaknya sendiri. Mardi (29) adalah anak pertama, sebelum ayahnya meninggal, sering menemani beliau berkunjung ke tempat pelanggan, pemasok, dan rajin melakukan survei untuk peningkatan mutu produk perusahaan. Sebagai anak tertua, ia mewarisi karakter kepemimpinan ayahnya. Sardi (27) adalah anak kedua, ia baru pulang dari perantauan, Sardi adalah seorang seniman yang tak banyak cincong. Sebagaimana musikus, ia hidup apa adanya, ia pun menjelajah sendiri dan cuma sekali-kali minta bantuan keuangan dari ayahnya. Ia pulang dengan hati yang begitu berat. Ia lah yang sering menemani Mak Ijah, menghibur laranya. Sardi mewarisi sifat bebas dan kreatif mak ijah. Sarah (25) adalah anak ketiga, waktu itu Sarah masih berjiwa muda, ia bisa dengan semena-mena keluyuran kemana saja, mengikuti hasrat dan gelora hatinya. Dengan perusahaan, Sarah belum memiliki keterikatan dan tanggung jawab. Dan yang terakhir adalah Hedi (19), masih berkuliah, dengan kehidupan yang agak mewah dibanding teman kuliahnya.
***
Mak Ijah terbangun dari kursi rotannya, ia ingin berjalan-jalan di gang itu. Langkahnya tertatih-tatih, rambutnya yang putih terurai ke punggung, tampak kemilau ditempa cahaya matahari. Dari raut wajah Mak Ijah, masih tersisa pesona, yang mungkin dulunya begitu memikat. Ia memandangi matahari yang sudah cukup tinggi, namun matanya tak sanggup, hingga mata yang perih itu, ia kedip-kedipkan. Tapi, ada sesuatu pada mata itu.. pada mata yang indah itu, terpantul kenangan, mungkin kesedihan.
Dalam kesunyian itu, rasa cemas selalu muncul, setiap ia memandang ke dalam dirinya, bahwa ia sudah tak tahu lagi apa yang ia inginkan dalam hidup yang sebentar ini. “Untuk apa saya bertahan diusia renta?” Kalau toh hidup hanya berarti mengatur nafas, membiarkan jantung dan organ pencernaan bekerja, sementara jiwa hanya menjadi keranjang kenangan. Kenangan seperti belati yang siap menusuk-nusuk hati setiap ia mengingat priode peristiwa itu.
Gairah hidup sudah seret. Ia tak tahu kenapa ia masih bertahan hidup, kenapa ia mau tinggal di rumah anaknya yang seperti anjing itu. hingga kini, ia tak habis pikir kenapa harta yang menggunung itu bisa merusak segalanya? Dan ia betul-betul tak mengira, bahwa anaknya bisa seperti itu, semunafik itu. Mungkinkah ini akibat keteledorannya sendiri? bahwa sejak awal ia tak betul-betul tahu karakter dan kehendak hati masing-masing? Ia berpikir bahwa hanya dengan memberi mereka kecukupan berarti telah membuat anak-anaknya menjadi manusia seutuhnya. Padahal, ia tak tahu apa yang ada di balik pikiran masing-masing. Mak Ijah tak tahu kalau dunia ini dirubungi purbasangka..
Ia bergerak ke arah tempat penampungan sampah.. di tempat itu ia mengingat suaminya, Kamal yang rajin membakar sampah. Mak ijah mengumpul-ngumpul sampah plastik dan dedaunan kering menggunakan sepotong bambu di tangannya. Begitu terkumpul, ia menyalakan korek api dan membakar tumpukan sampah itu. Api kemudian menggeliat, melahap dengan rakus sampah-sampah, asap membumbung, bergerak-gerak terhempas angin. Mak ijah mengerti, ada rasa damai dengan hadirnya api dan musnahnya sampah. “Api ini adalah emosi yang mendapatkan hadiahnya dengan memusnahkan yang lain.., api ini adalah gairah untuk melahap, menghabiskan..”.. mungkin, begitulah hidup, kita seperti tumpukan sampah yang siap dilahap oleh api. Tapi, kita pun bingung, kenapa kita bisa serta merta menjadi sampah? Dan kenapa ada orang yang betul-betul tega menjadi api, yang menggebu-gebu selalu ingin membakar dan membakar?
Dari hari ke hari, inilah yang dilakukan Mak Ijah, bosan nongkrong di kursi rotan. Ia melangkah ke tempat sampah, ingin membakar.. mungkin dalam dirinya ada sesuatu yang ia ingin musnahkan, entah apa itu.
Mak Ijah melangkah ke dalam rumah, jam makan siang masuk. Kini ia berkumpul lagi dengan keluarga anaknya yang bernama Sarah. Ia duduk di meja makan bersebelahan dengan Susi, di depannya adalah Sarah bersama suaminya, Ivan.
“Ibu ke tempat sampah lagi? Bu, kami sayang ibu.. tolong kenangan ibu itu lupakan saja.. ibu sudah tua.. dan biarlah semuanya berlalu..” kata Sarah. Mak Ijah tidak menanggapinya, dengan cemberut dia mengambil sedikit nasi, sayur bayam dan sepotong ikan Tuna kering.
Kenangan di benak Mak Ijah makin menjadi-jadi. Ia ingat, bahwa Sarah-lah yang meminta terlalu banyak terhadap kakak-kakaknya. Sarahlah pemicunya, yang semakin gila setelah menikah dengan Ivan yang rakus itu. Mardi, yang begitu sayang dengan Sarah, rela membagi kekuasaan perusahaan. Sementara Sardi, dengan cueknya berkelana dari kota ke kota, mengikuti gelora hatinya. Dan Hedi, masih tak tahu apa-apa, dia masih sibuk dengan kuliah tekniknya.
Sejak kekuasaan itu dibagi dua, iklim perusahaan menjadi tak sejuk. Bagian yang dipimpin sarah, tepatnya bersama Ivan suaminya, dialektika perusahaan lebih deras dan menghanyutkan, memang perusahaan melonjak lantaran agresifitas mereka, tapi itu tak lebih karena langkah-langkah curang dan hipokrit. Dengan cepat mereka merubah kebijakan terhadap pemasok, memotong gaji karyawan, dan melakukan tindak sogok menyogok terhadap pihak-pihak yang berwenang. Lama kelamaan, mulai timbul gerutu, celetuk-celetuk dari bawah, dari pemasok kepiting di daerah, juga dari pelanggan eksport. Barangkali, karena terlalu ingin mendapatkan banyak, sehingga nilai-nilai keadilan dalam berdagang tertutupi. Yang ada dalam kamus Sarah cs adalah mengeruk laba sebesar-besarnya, bagaimanapun caranya. Tentu, Ini menggelisahkan Mardi, sebagai kakak dan juga pemilik sah perusahaan.
Mardi hendak memperbaiki citra perusahaan. Pelan-pelan ia menegur Sarah dan suaminya. Tapi, ia kalah oleh kekuatan yang belum ia tahu asalnya dari mana. Pada suatu malam, Mardi tiba-tiba di rampok di pinggir jalan, dan seperti nasib ayahnya, ia mati menggenaskan digorok perampok. Keluarga pun berkabung lagi, bersedih lagi. Kini Sarahlah yang memimpin perusahaan sepenuhnya.
Hedi yang saat itu berumur 27 tahun tak sanggup berhadapan dengan situasi menegangkan ini, si bungsu tak kuat menahan rasa kecewa terhadap Sarah, kakaknya itu telah sewenang-wenang pada siapa saja, termasuk pada ibu dan kakak-kakaknya yang lain. Mak Ijah pun tak dapat berbuat banyak, ia mengatasi sedihnya dengan menangis sendiri di kamarnya yang temaram. Hedi pun menyingkir, ia mengikuti tradisi Sardi untuk berpetualang, tapi kelananya dalam hal pencarian ilmu, sebagaimana sardi mengelana untuk mengenali musik. Ia pun menjadi peneliti sebuah perusahaan konstruksi, dan sejak itu, ia tak pernah menengok-nengok keluarga, jugaa terhadap ibunya. Inilah yang membuat Mak Ijah terpukul, dan memilih bungkam.
***
Mak Ijah memilih bungkam, karena dengan diam sebenarnya ia ingin berteriak. Ia ingin mengadu pada alam, pada tuhan. Baginya, anak-anak adalah harta yang tak ternilai, dan kini anak-anaknya sudah menjadi barang rongsokan. Tapi, sebagai seorang ibu, ia rela, ia sudi menampung semuanya, ia seperti samudera yang menerima kotoran dari beragam sungai, beragam hulu.
Petang hari, sehabis tidur siang, Mak Ijah duduk di kursi rotan dan memandangi gurat senja yang membayang merah. Kali ini ia tak mengingat-ingat sesuatu, dan memang tak ingin mengingat. Pikirannya sudah sumpek dengan ingatan yang berat tindih menindih. Ia membebaskannya untuk menyerap cahaya senja, pergantian warna di langit yang indah itu. Matanya menerawang, dan tanpa sengaja tertutup. Dalam keheningan itu, ia melihat kedatangan anak-anaknya, yang juga membawa menantu dan cucu-cucunya. Sardi terlihat lebih bongsor, dan Hedi lebih tampan, setampan ayahnya sewaktu muda. Keduanya mencium tangan Mak Ijah dan memperkenalkan cucu-cucunya satu persatu. Cucunya itu terlihat lucu, pipinya tembem dan tampak rewel. Dan ia betul-betul senang dipanggil “nenek”..
Seketika ia bangun, hayalan itu betul-betul terjadi. Tuhan mengabulkan, dan mungkin firasat ibu selalu tepat. Sardi dan Hedi sudah ada di hadapannya, bersama istri-istri mereka yang cantik dan cucu-cucu yang meggemeskan. Mak Ijah tak tahu apa yang mendorong mereka kemari, ia masih termangu-mangu heran. Entah karena senang atau tak percaya akan kejadian menakjubkan ini.
“Bu, hari ini adalah hari kelahiran ayah.. apakah ibu lupa ?” kata Hedi..
Mak Ijah terkesiap, ia melihat raut wajah suaminya dalam wajah Hedi. Ia ingin mendekapnya, mencium kening anak bungsunya itu.
“Senang kalau kalian masih mengingatnya.. begitu berdosanya ibumu ini yang tidak mengingat hari besar itu..” bulir-bulir air matanya menggenang, lalu menetes sekenanya.
Sudah lama ia menahan tangisnya, dan petang itu betul-betul tumpah. Sebenarnya, setiap hari ia mengenang suaminya, ia sudah tak memerlukan hari-hari besar, karena baginya, setiap hari adalah kenangan.. tiap hari, suaminya hidup dalam kenangannya.. kenangan lah yang membuatnya bertahan.. kenangan lah yang membuatnya hidup.!! Ia baru sadar akan hal itu..
Dalam gemuruh rasa itu, Sarah tiba-tiba bersandar di pinggir pintu. Kali ini ia tak banyak cincong, melihat adik-adiknya ia menjadi beku. Ia tak siap menghadapi gelombang cinta seperti ini. ia tidak terbiasa, dan kali ini benteng angkuhnya sedikit rusak. Ia ingin memeluk adik-adiknya, gemericik rasa hadir dan ingin mengalir. Tapi.. suaminya datang dan menepuk, Sarah menepis perasaan itu dan.. kembali menjadi batu.
“Sardi, Hedi... kalian betul-betul anak durhaka, baru ingat ibu kalian sekarang..!” bentak Sarah.
“Kakak Sarah.. kakak betul-betul tak berubah.. harta telah membutakan mata kakak.. asal kakak tahu saja, kami pergi karena tak mau bersaing dengan kakak, apa kakak tidak ingat dengan Mardi yang kakak sudah singkirkan itu..” kata Sardi kasar.
Sarah tak tahan, ia menutup wajah, menyeka air matanya yang jatuh. Ia tidak siap menerima hinaan adiknya.
“Hedi, jangan kasar sama kakakmu.. bagaimana pun ia kakakmu.. kalian masuklah dulu di rumah kami ini dan kita bicarakan baik-baik di dalam..” ucap Ivan, suami Sarah.
“Tidak, kami tak ingin menyentuh harta kakak, kami hanya ingin melihat ibu, menyapa ibu..!!”
Mak Ijah hanya termangu, membisu.. terasing di tengah hardikan anak-anaknya. Ia memandang wajah cucu-cucunya.. wajah yang tak mengerti.. yang tak tahu apa-apa itu.. anak kecil itu sama terasing dengan dirinya.
Ia pun berbisik, bukan pada Sardi, Hedi atau pun Sarah, tapi pada Tuhan.. “ya tuhan,, saya ingin mati, tolong cabut nyawa saya sekarang tuhan..” lirih.. begitu lirih.. namun, lagi-lagi ia tak yakin kalau tuhan apakah mau mengijinkan.. ?
Cengkareng Timur, Jakarta
24 Mei 2011
2 komentar:
Kisah yang menarik sahabat
terimakasih sahabat..
Posting Komentar