semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tembok Berlin


Mata Zainal tiba-tiba memicing, di kejauhan ia melihat gerombolan jubah putih bergerak menyusuri pematang sawah, menuju ke arahnya, wilayah pekuburan desa Bonto Jolong. Penjaga kuburan itu menyingkir mencari pohon lebar, agar ia tak terlihat oleh pembawa mayat yang berasal dari dusun sebelah itu. di sampingnya terbaring Agus, yang sementara asyik menikmati hembusan angin sepoi-sepoi.. Zainal mengajaknya bicara:

“Gus, warga Dusun putih datang, mau bantu tidak?

“Ah... bodoh amat, suruh saja mereka gali kubur sendiri..!”

“Ia Gus, kita jangan bantu mereka lagi, mereka tahunya mengaji saja, kalau warganya mati, warga dusun kita yang disuruh gali kubur.. ah, bodoh amat.. yuk ke alun-alun kumpulkan warga..”

Mereka berdua mengendap meninggalkan kuburan, berangkat mencari warga lain untuk menghadapi gerombolan pembawa mayat itu. hari-hari sebelumnya, Zainal dan Agus selalu menggalikan kuburan buat warga Putih, namun siang itu mereka ogah. Tampaknya, garis pembatas antara dua dusun itu kembali tegak.. dan akan memanas pada siang itu, di tepi pekuburan Desa Bonto Jolong.

Tak lama kemudian, warga dusun Merah sudah berkumpul di pematang sawah di bawah deretan pohon kelapa. Diantara mereka ada tukang kebun, penjual sayur, penyabung ayam, penjual tuak, dan beberapa pemuda penjaga poskamling. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang menikmati hari-harinya dengan bekerja, meskipun beberapa diantara mereka bekerja dengan bau jorok di pasar-pasar ataupun pelelangan, tapi, mereka tak memilih-milih seperti warga dusun putih itu, yang maunya hanya mengajar ngaji, jadi penceramah, atau tukang-tukang doa.. apa yang terjadi? Pasar di dusun mereka selalu ramai, orang-orang terlihat ceria menonton sabun ayam, bermain gaple sembari meneguk tuak, walau masjid selalu sepi menonton.. inilah yang selalu dibenci oleh Dusun Putih.. Dusun Putih dan Dusun Merah adalah tetangga dekat, mereka berada di bawah naungan Desa Bonto Jolong..

Mereka duduk-duduk merokok sambil menunggu warga dusun putih tiba.

Pengantar mayat pun muncul dengan iring-iringan pemuda berbusanah putih. Doa-doa dilantunkan dengan nyaring.. Maklum, dusun ini dikenal taat agama, di perkampungannya banyak berdiri pemondokan-pemondokan santri, hampir semua warga tamat mengaji, dan mesjid-mesjid diwaktu magrib selalu penuh. Mungkin, karena menganggap bahwa dunia sudah tidak penting, pemuda-pemuda daerah itu hanya fokus mengejar akhirat, dengan belajar ngaji serta menjalankan sunnah-sunnah. Apa yang terjadi, sawah-sawah banyak terlantar, pasar-pasar selalu sepi, dan mulai timbul kejahatan, ternak-ternak tuan-tuan tanah tiba-tiba menghilang satu-satu, tanpa diketahui siapa pencurinya. Penjaga keamanan sulit untuk melacak pencuri, karena, hampir semua pemuda dusun adalah orang yang taat ibadah.. siapa yang pantas dituduh?
“Tetanggaku warga Dusun Merah, sudilah kiranya kalian menggalikan kubur buat warga kami, kami akan mendoakan dusun kalian akan selalu makmur dan subur.. percayalah doa kami pasti mujarab,” bujuk Haji Rusli, si guru ngaji..

“hehehe...” warga dusun Merah tertawa serentak.. lalu mereka kembali membisu.. dibiarkanlah angin-angin menyapa kulit dan debu-debu menempel di baju mereka yang lusuh..

“Apakah kalian tidak percaya sama doa kami? Atau kah kalian tidak percaya sama tuhan?”

“Hemm.. Kami percaya pada tuhan, kalau tak ada tuhan tak adalah dunia ini.. tapi, tuhan kami menyuruh kami untuk ceria, untuk bekerja memperbaiki nasib.. tuhan kami bukan tuhan yang manja dan pencemburu, yang sebentar-sebentar minta dipuji, sebentar-sebentar minta disebut, sampai lupa sawah dan ladang..” jawab, pemuka adat Dusun Merah.

“hehe.. disinilah letak kekeliruan kalian, yang selalu merendahkan Tuhan. Apakah kalian lupa bahwa tuhan kita adalah sang Maha, yang memang pantas untuk dipuji.. kita ini adalah si lemah yang harus tunduk dan menyerahkan diri sepenuhnya.. bukan dengan menunjukkan diri dan ego kita, itulah yang tidak disuka oleh tuhan, yaitu menyombongkan diri.. ”

” kami sadar Pak Haji bahwa manusia itu adalah mahluk yang lemah dan selalu lupa.. justru begitulah disebut manusia, yang tak pernah jadi, tak sempurna.. kalau kita ini tak pernah salah, kita ini apa? Malaikat, nabi, atau tuhan? Karena kekurangan kami itulah kami isi dengan bekerja keras, agar kami dapat menghargai potensi yang telah diberikan oleh tuhan, seperti otot dan otak untuk berpikir.. bukan kah itu juga sebagai bentuk dari rasa syukur? Mungkin, syukur kita berbeda pak Haji, kami bersyukur dengan bekerja, kalau dusun bapak bersyukur dengan berdoa.. dan tuhanlah yang maha tahu yang mana yang akan diterimanya di sana..”

“wah,, sudah pintar kalian berunjuk pendapat. Walau di tengah-tengah pandangan kalian tercium aroma maksiat. Tuhan tak sudi bertandang di desa kalian yang berbau alkohol dan meja judi.. mungkin, ternak di dusun kami menjadi korban judi pula.. hehee... !”

“Pak Haji, tak pantas pak haji menuduh tanpa menunjukkan bukti,” ucap Zainal berang..

“Ah Pak Haji, bukan begitu maksud Pak Haji.. kami ke sini untuk menguburkan sanak kami.. bukan untuk berdebat sedemikian rupa.. tolonglah, warga kami tak biasa menggali kubur.. jadi maafkanlah kata-kata pak haji tadi, kita datang bermaksud baik-baik..” kata Sabir, keluarga almarhum..

Suasana hening, kedua belah pihak berbisik-bisik, sepertinya mencoba mencari jalan keluar, apakah tetap bertahan pada posisi semula ataukah akan berbaur.

“Okelah, kami sepakat untuk membantu menggali kubur, tapi dengan syarat: pertama, pak haji harus ikut menggali juga, kedua, warga kami boleh berjualan dengan bebas di dusun kalian, ketiga; kami berhak untuk mengusut pencurian ternak di dusun kalian, disamping kami juga mengusutnya di dusun kami..”

Wajah Pak Haji terlihat kecut dan merah, ia betul-betul marah dan tidak menerima. Ia adalah seorang guru dan tak pantas bergumul dengan bau tanah..
“bolehkah saya digantikan oleh murid-murid saya,” dengan suara terbata-bata..
“kami tak sudi menggali kubur kalau pak haji tidak ikut, dan biarlah murid-murid Pak haji yang menonton”..

Wibawa Pak Haji dimata para santri jatuh tergelonjor, santri-santri itu pun tak ada satu pun yang menyahut ingin membantu. Mereka beramai-ramai ingin menghakimi kecongkakan gurunya itu. Tapi, kalau ia tidak memenuhi permintaan, warga dusun merah tidak akan membantu menggali kubur lagi nanti, dan mungkin warga desanya akan ikut arus oleh pengaruh setan dusun merah. Ia ragu, lama ia tercenung khawatir..

Sebenarnya, ini adalah persoalan sepele, hanya tentang siapa yang mau menggali kubur. Penduduk dusun putih juga kuat-kuat dan mampu menggali, tapi karena terbiasa hidup dalam padepokan sederhana dan mengandalkan hidup dari ceramah yang posisinya dianggap cukup tinggi, walau juga tetap hidup miskin, mereka terlihat enggan. Apalagi, pemuka agama mereka telah ngotot untuk membiarkan warga dusun sebelah saja yang menggali, maka terjadilah peristiwa memalukan ini..

Hari sudah sore, kedua kubu masih berhadap-hadapan, beberapa diantaranya duduk di dinding kuburan, ada yang merokok, dan bahkan ada yang membagi-bagi air minum. Lantaran terlalu lama menunggu keputusan pak Haji, mereka saling bercengkrama mengatasi kebosanan, bahkan sebagian melintas batas, pemuda warga dusun merah bercanda dengan warga dusun putih. Melihat itu, pemuka membiarkan. Mereka pun kelelahan, beberapa terlihat mengantuk dan ada yang berbaring di tepi kuburan. Sementara keranda mayat tetap menjadi pembatas antar dua kubu itu.

Pak Haji akhirnya kalah, dan ia rela. Tapi, ia juga kelaparan dan tenaganya sudah tak ada lagi. “Anak muda, ada baiknya kita gali bersama-sama, santri-santriku, ayo kita gali, mari kawan-kawan dusun merah, maafkan keangkuhan saya.. kasihan melihat mayat ini terlalu lama terbengkalai.. saya sangat takut kalau besok-besok desa kita dikutuk tuhan..”.

Maka beramai-ramailah mereka menggali kubur, di antara gurat senja.. diantara bunyi jengkrik dan angin laut.. kesedihan yang semestinya hadir, tiba-tiba menghilang di acara pemakaman itu. yang muncul adalah keramaian, seperti pasar di pekuburan.. sang Mayat menjadi saksi runtuhnya tembok berlin, pemisah dua golongan itu, antara golongan putih yang taat ibadah nan pemalas dan si merah yang pekerja keras namun lupa tuhan..

16 Juni 2011
Idham Malik
Kayu Besar, Cengkareng Timur




2 komentar:

Hana Nuraini mengatakan...

crita yang menarik....
dan yang terbaik tentu saja yang taat beribadah sekaligus rajin bekerja. smoga kita termasuk golongan orang2 yang demikian...^^

Idham Malik mengatakan...

iya teman,, semoga kita termasuk dalam golongan tersebut..

Tembok Berlin